Pamer di Sosmed: Cermin Kekosongan Hati atau Kebutuhan Apresiasi?.
SURAU.CO – Di era digital hari ini, media sosial telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Orang-orang mengabadikan dan membagikan hampir setiap aktivitas mereka kepada publik, mulai dari makan, berlibur, hingga peristiwa kecil dalam kehidupan sehari-hari, melalui berbagai platform media sosial. Namun, apakah semua itu sekadar berbagi kebahagiaan atau justru menyembunyikan sebuah kekosongan yang lebih dalam?
Pamer dan Bahaya dalam Al-Qur’an
Allah telah memperingatkan manusia dalam firman-Nya:
> “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (QS. At-Takatsur: 1–2)
Ayat ini menegur manusia bahwa sifat suka pamer, bermegah-megahan, dan menonjolkan apa yang dimiliki melalaikan mereka dari tujuan hidup yang hakiki, menyadarkan akan bahaya kesombongan dan ketergantungan pada dunia. Kehidupan sejati bukanlah tentang banyaknya like, komentar, atau pengakuan dari orang lain, tetapi tentang bagaimana kita mendekatkan diri kepada Allah.
Pamer dan Kesehatan Jiwa
Dari sisi psikologi, psikolog mengaitkan perilaku narsistik dan kecenderungan suka pamer dengan kebutuhan manusia untuk mendapatkan validasi dari orang lain, mencerminkan keresahan batin dan ketidakpuasan diri.
Ahli kejiwaan menilai bahwa sebagian orang yang gemar menonjolkan dirinya mengalami kekosongan batin, mereka mencari pengakuan luar untuk mengisi kehampaan dalam diri mereka. mereka ingin menjadi pusat perhatian karena merasa kurang dihargai dalam kehidupan nyata, sehingga mereka mengejar validasi melalui pameran diri di media sosial.
Fenomena ini ibarat “pelarian diri.” Saat seseorang tidak memperoleh apresiasi, penghargaan, atau kasih sayang yang cukup di dunia nyata, ia akan mencari pelampiasan di dunia maya. Sosmed kemudian menjadi ruang untuk mendapatkan pujian, meski semu sifatnya.
Bahagia yang Sebenarnya
Sungguh, kebahagiaan sejati tidak bisa dibangun di atas pujian manusia. Kebahagiaan yang hakiki lahir dari hati yang merasa cukup dengan pemberian Allah, hati yang penuh syukur, dan jiwa yang tenang dalam ketaatan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta benda, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kaya hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kaya hati artinya merasa cukup, tidak bergantung pada pengakuan manusia. Orang yang hatinya kaya tidak akan merasa perlu pamer, karena kebahagiaannya bersumber dari hubungan yang kokoh dengan Allah.
Refleksi untuk Kita
Mari kita renungkan: apakah postingan kita di media sosial sekadar berbagi kebaikan atau justru menjadi ajang pamer yang menjerumuskan? Apakah kita benar-benar bahagia, atau sebenarnya sedang menutupi kekosongan batin dengan filter dan caption manis?
Media sosial seharusnya digunakan sebagai sarana dakwah, menyebarkan kebaikan, menebarkan ilmu, dan menginspirasi sesama.
Bukan menjadi panggung pamer diri atau alat mencari perhatian.
Penutup: Sejatinya Semua Untuk Keridhaan Allah
Kehidupan di dunia nyata sering kali tidak sempurna, tetapi solusi bukanlah dengan menutupinya melalui dunia maya.
Sebaliknya, kita perlu memperkuat iman, memperbanyak syukur, dan menata hati agar merasa cukup dengan pemberian Allah.
Sebab sejatinya, orang yang paling berharga bukanlah yang mendapatkan banyak “like” di sosmed, melainkan yang mendapatkan keridhaan Allah di akhirat kelak.
Gotong Royong Merawat Lingkungan: Menanam Kebaikan Bersama.
Di sebuah sudut perkampungan yang sejuk dan asri, tampak sekumpulan orang sedang bergotong royong membersihkan dan menanam tanaman hias di sekitar sebuah bangunan. Pemandangan sederhana ini sesungguhnya mengandung nilai yang sangat dalam: kepedulian terhadap lingkungan, kebersamaan, serta warisan budaya gotong royong yang menjadi ciri khas masyarakat kita.
Aktivitas mencabut rumput, menanam bunga, atau merapikan tanah mungkin terlihat ringan, namun di balik itu ada energi kebersamaan yang luar biasa. Anak-anak, pemuda, hingga orang tua terlibat aktif, bahu-membahu merawat halaman agar indah dan tertata. Setiap tangan yang menanam bukan hanya menaruh bibit di tanah, melainkan juga menanam kebaikan, keindahan, dan harapan bagi masa depan.
Islam sendiri sangat menganjurkan kepedulian terhadap lingkungan. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Jika seorang muslim menanam sebuah pohon atau tanaman, lalu hasilnya dimakan oleh burung, manusia, atau hewan, maka hal itu menjadi sedekah baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadist ini mengajarkan kita bahwa menanam bukanlah sekadar urusan duniawi, melainkan juga bernilai ibadah. setiap daun yang tumbuh, setiap bunga yang mekar, bahkan setiap oksigen yang dihasilkan tanaman itu menjadi sumber pahala bagi orang yang menanamnya, mengalirkan kebajikan yang tak terputus.
Gotong Royong Memperkuat Silaturahmi
Gotong royong seperti ini juga memperkuat silaturahmi. Masyarakat yang terbiasa bekerja bersama akan semakin solid, saling peduli, dan memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap lingkungannya. Tidak ada yang merasa lebih besar atau lebih kecil, karena semua sama-sama memberi kontribusi sesuai kemampuan.
Kini, di tengah gempuran individualisme dan kesibukan masing-masing, kegiatan sederhana seperti ini menjadi pengingat bahwa kebersamaan adalah kekuatan. Kita tidak hanya membangun taman yang indah, tapi juga membangun hati yang saling terikat oleh ukhuwah.
Mari terus hidupkan budaya gotong royong. Mari rawat bumi dengan menanam, menjaga kebersihan, dan memelihara lingkungan. Karena sejatinya, bumi ini adalah amanah dari Allah SWT, yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban.
Setiap bibit yang ditanam adalah doa.
>Setiap rumput yang dicabut adalah pahala.
>Setiap keringat yang menetes adalah saksi cinta kepada lingkungan. Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat (Tengku Iskandar, M. Pd)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
