Ibadah
Beranda » Berita » Bagaimana Hukum Adzan dan Iqamah dalam Islam?

Bagaimana Hukum Adzan dan Iqamah dalam Islam?

Hukum Adzan dan Iqamah dalam Islam. Sumber gambar: canva.com

SURAU.CO – Adzan dan iqamah adalah dua seruan penting. Keduanya menandai dimulainya shalat. Oleh karena itu, setiap Muslim perlu memahami hukumnya. Pengetahuan ini memastikan ibadah sesuai syariat. Artikel ini akan membahas tuntas masalah ini. Pembahasan akan mengacu pada dalil-dalil syar’i.

Sejarah dan Pensyariatan Adzan

Nash syariat mensyariatkan adzan dan iqamah. Kisah Abdullah bin Zaid dan Umar bin Khaththab menjadi bukti. Adzan muncul pada tahun pertama Hijriyah. Sebelumnya, kaum Muslimin berkumpul di Madinah. Mereka memperkirakan waktu shalat sendiri. Tanpa seruan khusus.

Pada suatu hari, mereka membicarakannya. Beberapa usul muncul. Ada yang ingin memakai lonceng seperti Nasrani. Lainnya mengusulkan terompet seperti Yahudi. Namun, Umar bin Khaththab memberi usul. “Tidakkah kalian mengangkat seseorang?” kata Umar. “Ia akan menyeru untuk shalat.”

Mendengar usul ini, Rasulullah ﷺ bersabda:

Wahai, Bilal. Bangun dan serulah untuk shalat.”

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Imam Asy Syaukani menyatakan hal ini. Para ulama menganggap inilah pandangan paling shahih tentang pensyariatan adzan. Imam Ibnu Hajar juga merajihkan pendapat ini. Jadi, umat Islam menetapkan adzan. Itu menjadi cara unik memanggil shalat.

Hukum Adzan dan Iqamah: Wajib atau Sunnah?

Ulama berselisih tentang hukum adzan. Mereka mengemukakan beberapa pendapat mengenai ini. Pendapat yang kuat adalah kewajiban. Dalilnya, hadits Malik bin Al Huwairits menjelaskan.

Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama beberapa orang dari kaumku, kemudian kami tinggal di sisinya selama 20 hari. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang yang dermawan dan sangat lemah lembut. Ketika Beliau melihat kerinduan kami kepada keluarga, maka Beliau berkata : “Pulanglah kalian dan tinggallah bersama mereka, dan ajarilah mereka (agama Islam) serta shalatlah kalian. Apabila datang waktu shalat, maka hendaklah salah seorang dari kalian beradzan. Dan orang yang paling dituakan mengimami shalat kalian”.

Rasulullah ﷺ juga bersabda:

Tidak ada tiga orang di satu desa yang tidak ada adzan dan tidak ditegakkan pada mereka shalat, kecuali setan akan memangsa mereka.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh Ibnu Al Utsaimin, dan Syaikh Al Albani merajihkan pendapat ini. Artinya, adzan hukumnya fardhu kifayah. Jika sebagian orang sudah melaksanakannya, gugurlah kewajiban bagi yang lain. Akan tetapi, jika tidak ada yang adzan, semua menanggung dosa.

Pandangan Para Ulama tentang Hukum Adzan

Syaikh Al Albani menegaskan:

Sungguh, pendapat yang menyatakan adzan hanyalah Sunnah jelas merupakan kesalahan. Bagaimana bisa, padahal ia termasuk syi’ar Islam terbesar, yang jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendengarnya di negeri suatu kaum yang akan Beliau perangi, maka Beliau akan memerangi mereka. Jika mendengar adzan pada mereka, Beliau menahan diri, sebagaimana Shahihain dan kitab lainnya meriwayatkan. Dan perintah adzan sudah ada dalam hadits shahih lainnya. Padahal dalil yang lebih rendah dari ini dapat menetapkan hukum wajib. Maka yang benar, adzan adalah fardhu kifayah, sebagaimana Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah merajihkan dalam Al Fatawa (1/67-68 dan 4/20). Bahkan juga bagi seseorang yang shalat sendirian.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menambahkan:

Yang benar, adzan itu fardhu kifayah.”

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Ibnu Hazm pun memberi komentar. Beliau menyatakan tidak ada hujjah kuat. Itu bagi yang tidak mewajibkan adzan. Dengan demikian, adzan adalah kewajiban kolektif. Kaum Muslimin harus menjaganya.

Adab dan Sunnah Seorang Muadzin

Seorang muadzin perlu memperhatikan beberapa adab dan sunnah penting.

  1. Berdiri dan Menghadap Kiblat: Islam menyunnahkan muadzin beradzan sambil berdiri. Ibnu Al Mundzir mengatakan para ulama sepakat. Ini sesuai perintah Nabi ﷺ kepada Bilal. “Wahai, Bilal! Bangun dan beradzanlah untuk shalat.” Islam juga menyunnahkan muadzin menghadap kiblat. Syaikh Al Albani menguatkan ini.

  2. Beradzan di Tempat yang Tinggi: Muadzin sebaiknya beradzan di tempat tinggi. Tujuannya agar suara terdengar jauh. Hadits seorang wanita Bani Najjar menjelaskan. “Rumahku, dahulu termasuk rumah yang tertinggi di sekitar masjid (nabawi), dan Bilal, dulu beradzan fajar di atas rumah tersebut.”

  3. Memalingkan Wajah saat “Hayya ‘Alas Shalah”: Muadzin sebaiknya memalingkan wajah. Ia memalingkannya ke kanan dan kiri. Ini saat mengucapkan “Hayya ‘Alas Shalah” dan “Hayya ‘Alal Falah”. Hadits Abu Juhaifah mendukung ini. Imam An Nawawi menjelaskan tiga cara:

    • Pertama: Palingkan ke kanan untuk “Hayya ‘Alas Shalah”. Lalu ke kiri untuk “Hayya ‘Alal Falah”. Ini paling benar.

    • Kedua: Palingkan ke kanan untuk satu “Hayya ‘Alas Shalah”. Kembali ke kiblat. Palingkan lagi untuk “Hayya ‘Alas Shalah” kedua. Begitu juga untuk “Hayya ‘Alal Falah”.

    • Ketiga: Satu kali ke kanan, satu kali ke kiri untuk setiap seruan.

  4. Meletakkan Jemari di Telinga: Islam menyunnahkan muadzin meletakkan kedua jemari di telinga. Hadits Bilal menjelaskan ini. Para ulama mengamalkan hal ini.

  5. Mengeraskan Suara: Islam menyunnahkan muadzin mengeraskan suara. Rasulullah ﷺ bersabda:

    Tidaklah mendengar suara muadzin bagi jin dan manusia serta (segala) sesuatu, kecuali memberikan kesaksian untuknya pada hari Kiamat.”

    Oleh karena itu, kita sangat menganjurkan muadzin mengeraskan suara.

Kewajiban dan Sunnah Menjawab Adzan dan Iqamah

Ulama berbeda pendapat tentang hukum menjawab adzan.

  1. Hukumnya Wajib: Madzhab Azh Zhahiriyah dan Ibnu Wahb mendukung ini. Dalilnya hadits Abu Sa’id Al Khudri:

    Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Jika kalian mendengar adzan, maka jawablah seperti yang disampaikan muadzin”.

    Perintah menjawab ini, pada dasarnya, menunjukkan kewajiban.

  2. Hukumnya Sunnah: Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Mereka berdalil hadits Aisyah. Nabi ﷺ hanya berkata “dan aku dan aku” saat muadzin membaca syahadat. Nabi ﷺ tidak menjawab adzan secara penuh. Hadits Anas bin Malik juga mendukung. Nabi ﷺ hanya memberi komentar pada beberapa bagian adzan. Selain itu, amalan kaum Muslimin zaman Umar menunjukkan hal serupa.

Rincian Pendapat Ulama tentang Jawaban Adzan

Syaikh Al Albani merajihkan pendapat ini. Beliau berkata:

Dalam atsar ini, terdapat dalil yang menunjukkan tidak wajibnya menjawab (seruan) muadzin, karena pada zaman Umar terjadi amalan berbincang-bincang ketika adzan, dan Umar diam. Saya banyak ditanya tentang dalil yang memalingkan perintah yang menunjukkan kewajiban menjawab adzan. Maka saya menjawab dengan atsar ini. Demikian juga iqamat, dalam hal ini sama hukumnya dengan adzan, sebagaimana Lajnah Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta menyatakan dalam pernyataan mereka yang berbunyi “termasuk sunnah seorang yang mendengar iqamat menjawab seperti ucapan muqim (orang yang beriqamah); karena iqamat merupakan adzan kedua, sehingga mereka menjawabnya seperti menjawab adzan.”

Dengan demikian, menjawab adzan dan iqamah adalah sunnah. Ini berarti umat Muslim mendapat pahala jika melakukannya.

Keutamaan Berdoa dan Bershalawat Setelah Adzan

Setelah adzan selesai, ada amalan sunnah. Islam mensyariatkan kita membaca shalawat. Kemudian, kita berdoa. Ini sesuai hadits Abdullah bin Amru:

Jika kalian mendengar muadzin, maka jawablah seperti apa yang ia katakan, kemudian bershalawatlah untukku, karena barangsiapa yang bershalawat untukku, maka Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali. Kemudian mintakanlah kepada Allah untukku al wasilah, karena ia adalah satu kedudukan di surga yang tidak sepatutnya, kecuali untuk seorang hamba Allah; dan aku berharap, (bahwa) akulah ia. Barangsiapa yang memohonkan untukku al wasilah, maka akan mendapat syafaatku.

Hadits Jabir mencontohkan permohonan wasilah:

Barangsiapa yang ketika (selesai) mendengar adzan berkata: اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ Maka mendapatkan syafaatku pada hari kiamat.

Doa ini memohon kedudukan tinggi. Kedudukan itu untuk Nabi Muhammad ﷺ. Dengan demikian, amalan ini membawa banyak keutamaan bagi Muslim yang mengamalkannya.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement