Opinion
Beranda » Berita » Jizyah Itu Bukan Semena-mena, Ada Aturannya, Lho!

Jizyah Itu Bukan Semena-mena, Ada Aturannya, Lho!

Ilustrasi jizyah sebagai perlindungan non-muslim dalam Islam.
Ilustrasi jizyah sebagai bagian dari perjanjian perlindungan non-muslim dalam Islam, bukan pungutan semena-mena.

Surau.co. Ketika mendengar kata jizyah, sebagian orang langsung terbayang pungutan yang menindas non-muslim. Namun jika kita menengok Kitab al-Kharāj karya Abū Yūsuf Ya‘qūb ibn Ibrāhīm al-Anṣārī, gambaran itu berubah. Kita justru menemukan wajah lain: jizyah bukan beban semena-mena, melainkan sistem dengan aturan jelas, bahkan sarat dengan nuansa keadilan.

Di tengah hiruk pikuk perbincangan soal pajak dan pungutan di Indonesia hari ini, kisah tentang jizyah dalam kitab klasik terasa relevan. Sama halnya dengan orang desa yang sering bertanya, “Iuran RT ini buat apa?” rakyat pada masa lalu juga penasaran ke mana uang jizyah mereka mengalir.

Jizyah Sebagai Simbol Tanggung Jawab

Abū Yūsuf menulis kitab ini untuk Khalifah Hārūn al-Rashīd dengan tujuan agar negara berjalan adil. Jizyah ditetapkan bukan sekadar “uang masuk kas negara,” melainkan simbol tanggung jawab warga non-muslim terhadap perlindungan negara Islam.

Beliau menegaskan:

“إِنَّمَا فُرِضَتِ الْجِزْيَةُ عَلَى أَهْلِ الذِّمَّةِ مُقَابِلَ حِمَايَتِهِمْ وَكَفَايَتِهِمْ”
“Sesungguhnya jizyah diwajibkan atas ahlu dzimmah sebagai imbalan perlindungan dan pemeliharaan terhadap mereka.”

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Dengan kata lain, jizyah bukan pungutan tanpa makna. Ia merupakan akad sosial: negara menjamin keamanan, sedangkan warga non-muslim memberi kontribusi.

Tidak Semua Orang Dibebani

Yang menarik, dalam Kitab al-Kharāj ditegaskan bahwa jizyah tidak berlaku untuk semua non-muslim. Anak kecil, perempuan, orang miskin, bahkan rahib yang mengabdikan diri di biara dibebaskan dari kewajiban ini.

Abū Yūsuf menulis:

“لَا جِزْيَةَ عَلَى النِّسَاءِ وَلَا عَلَى الصِّبْيَانِ وَلَا عَلَى الْفُقَرَاءِ”
“Tidak ada jizyah atas perempuan, anak-anak, dan orang-orang miskin.”

Bayangkan, bahkan pada masa itu, sudah ada mekanisme semacam “subsidi silang.” Yang mampu ikut membantu, sementara yang lemah tetap dilindungi.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Mengingatkan Realitas Sosial di Indonesia

Kalau kita tarik ke konteks Indonesia hari ini, kemiripannya jelas terlihat. Pajak penghasilan hanya dikenakan pada mereka yang sudah memenuhi batas minimum pendapatan. Sebaliknya, warga miskin yang berpenghasilan harian atau kadang tidak memiliki penghasilan sama sekali, tidak ditarik pajak. Inilah wajah keadilan sosial yang seharusnya.

Namun, masyarakat kita sering bersikap skeptis. Seorang tukang becak di kampung pernah berkata, “Katanya pajak buat rakyat, tapi jalannya tetap bolong.” Kritik seperti ini juga muncul sejak dulu. Bedanya, Abū Yūsuf menegaskan dengan tegas bahwa penguasa dilarang menggunakan jizyah seenaknya.

Beliau menulis:

“لَا يَجُوزُ لِلْإِمَامِ أَنْ يَأْخُذَ أَكْثَرَ مِنَ الْمَفْرُوضِ”
“Tidak halal bagi imam (penguasa) mengambil lebih dari yang telah ditetapkan.”

Pesan ini jelas: jangan ada pungutan liar, jangan ada kesewenang-wenangan.

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Islam Menjaga Martabat Non-Muslim

Dalam narasi sosial, jizyah sering disalahpahami. Padahal, melalui mekanisme ini, negara Islam justru menjamin non-muslim tetap bisa hidup aman, beribadah sesuai keyakinannya, dan bekerja tanpa rasa takut.

Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

“مَنْ آذَى ذِمِّيًّا فَقَدْ آذَانِي” (رواه الطبراني)
“Barang siapa menyakiti seorang dzimmi, maka sungguh ia telah menyakitiku.”

Hadis ini menegaskan bahwa jizyah bukan instrumen diskriminasi, melainkan bagian dari perjanjian hidup berdampingan.

Dari Kitab Menuju Kehidupan Kita

Saat ini, istilah jizyah memang tidak lagi dipakai. Akan tetapi, semangat yang dikandungnya tetap relevan: negara harus memastikan bahwa pungutan apa pun—baik pajak maupun iuran—tidak menindas, tetapi justru melindungi.

Seorang guru desa pernah berkata kepada muridnya, “Kamu tahu kenapa kita bayar pajak? Supaya jalanmu ke sekolah tidak becek lagi.” Kalimat sederhana ini menyimpan makna besar, sama seperti yang ditulis Abū Yūsuf berabad-abad lalu: pungutan harus kembali kepada rakyat.

Kitab al-Kharāj menunjukkan bahwa jizyah bukanlah beban semena-mena. Ia diatur dengan detail, diberi batas, bahkan diberi pengecualian. Yang kuat ikut membantu, yang lemah tetap terlindungi. Hak non-muslim dijaga, martabatnya tidak direndahkan.

Di tengah riuh rendah pungutan zaman sekarang, pelajaran ini sangat layak kita resapi. Bahwa pungutan, pajak, atau apapun namanya, hanya pantas disebut adil jika benar-benar kembali untuk kemaslahatan bersama.

* Sugianto al-jawi

Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement