Surau.co. Ketika berbicara soal pajak dan tanah, sering kali kita langsung membayangkan beban yang berat di pundak rakyat. Namun dalam Kitab al-Kharāj karya Abū Yūsuf Ya‘qūb ibn Ibrāhīm al-Anṣārī, ada nuansa yang berbeda. Pajak atau kharāj tidak dilihat sekadar sebagai kewajiban yang memaksa, melainkan sebagai instrumen keadilan sosial. Dari halaman-halamannya, kita belajar bahwa meskipun ada perbedaan antara tanah milik muslim dan non-muslim, hak dasar keduanya tetap dijaga dengan penuh penghormatan.
Pajak Bukan Sekadar Angka, Tapi Wajah Keadilan
Abū Yūsuf menulis kitab ini sebagai panduan bagi Khalifah Hārūn al-Rashīd agar negara bisa berdiri kokoh tanpa melukai rakyat. Pajak, bagi beliau, adalah sarana agar semua orang, baik muslim maupun non-muslim, merasa memiliki rumah besar bernama negara.
Beliau menegaskan:
“الْأَرْضُ كُلُّهَا لِلَّهِ وَالْعِبَادُ عِيَالُهُ”
“Seluruh bumi adalah milik Allah dan hamba-hamba-Nya adalah keluarga-Nya.”
Kalimat itu meneguhkan bahwa pajak tanah bukan milik penguasa, melainkan milik Allah yang harus dipergunakan demi kesejahteraan bersama.
Tanah Muslim dan Non-Muslim: Beda Status, Sama Hak
Kitab al-Kharāj menjelaskan, tanah milik muslim yang ditaklukkan memiliki aturan berbeda dengan tanah non-muslim. Ada tanah yang disebut ‘usyriyyah, dikenai zakat, dan ada tanah kharājiyyah, dikenai kharāj. Namun perbedaan ini bukan untuk diskriminasi, melainkan untuk keseimbangan.
Abū Yūsuf menulis:
“مَنْ كَانَ لَهُ أَرْضٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ فَعَلَيْهِ الْعُشْرُ، وَمَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ فَعَلَيْهِ الْخَرَاجُ”
“Barang siapa memiliki tanah dari kaum muslimin, maka atasnya zakat ‘usyur; dan barang siapa memiliki tanah dari ahlu dzimmah, maka atasnya kharāj.”
Artinya, ada mekanisme yang adil sesuai posisi, tanpa menghapus hak hidup damai di tanah yang sama.
Realitas Sosial: Indonesia Punya Cermin yang Sama
Jika kita melihat ke Indonesia hari ini, meski bukan negara berbasis kharāj, semangat menjaga hak sama ini tetap terasa. Pajak yang kita bayar, idealnya, bukan untuk memperkaya segelintir orang, melainkan untuk membangun jalan, sekolah, dan rumah sakit. Kita sering mendengar keluhan, “Pajak bikin sesak.” Namun bila pajak dikelola dengan amanah, ia berubah menjadi doa yang menyejukkan.
Sebagaimana firman Allah:
“خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا” (التوبة: 103)
“Ambillah zakat dari harta mereka, dengan zakat itu engkau membersihkan dan menyucikan mereka.”
Makna ayat ini meluas, bukan hanya zakat, tapi segala bentuk kewajiban finansial untuk kebaikan bersama dapat menjadi jalan penyucian diri.
Menjaga Hak, Bukan Menindas
Abū Yūsuf menekankan agar pajak tidak memberatkan rakyat. Ia menulis:
“لَا يُكَلَّفُ النَّاسُ مَا لَا يُطِيقُونَ، فَإِنَّ فِي ذَلِكَ فَسَادًا لِلرَّعِيَّةِ وَضَعْفًا لِلدَّوْلَةِ”
“Janganlah rakyat dibebani sesuatu yang tidak mampu mereka pikul, sebab hal itu merusak rakyat dan melemahkan negara.”
Inilah pelajaran besar: pajak yang mencekik hanya akan melahirkan perlawanan dan kehancuran. Sedangkan pajak yang adil melahirkan ketenangan dan keberlangsungan.
Dari Kitab ke Kehidupan: Tanggung Jawab Kolektif
Di kampung-kampung kita, masih banyak cerita tentang orang kecil yang mengeluh soal pajak tanah atau pungutan daerah. Namun ada juga cerita indah, ketika pungutan dipakai untuk membangun jembatan yang memudahkan anak-anak sekolah menyeberang sungai. Inilah wajah pajak yang sejatinya diinginkan Kitab al-Kharāj.
Kita semua, baik muslim maupun non-muslim, sama-sama menapaki bumi yang satu. Maka menjaga hak sesama lewat mekanisme adil adalah kewajiban moral. Seperti pesan Nabi ﷺ:
“الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ وَيَسْعَى بِذِمَّتِهِمْ أَدْنَاهُمْ” (رواه أبو داود)
“Darah kaum muslimin itu setara, dan jaminan mereka berlaku bagi yang paling rendah di antara mereka.”
Hadis ini menunjukkan bahwa setiap orang, tak peduli status sosial atau agamanya, berhak mendapatkan perlindungan yang sama.
Kitab al-Kharāj mengajarkan bahwa membedakan tanah muslim dan non-muslim bukanlah untuk menindas, melainkan untuk menegakkan keadilan sesuai porsinya. Hak tetap dijaga, beban tidak boleh melampaui batas.
Hari ini, di Indonesia, semangat itu bisa menjadi teladan. Bahwa pajak, bila diamanahkan dengan baik, bukanlah beban, melainkan nafas kehidupan bersama.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
