Opinion
Beranda » Berita » Tanah Itu Amanah, Bukan Buat Ditelantarkan

Tanah Itu Amanah, Bukan Buat Ditelantarkan

Petani menjaga tanah sebagai amanah dalam Islam
Seorang petani menjaga tanah sebagai amanah, simbol keadilan dan keberlanjutan.

Surau.co. Frasa kunci tanah itu amanah sering kita dengar dalam percakapan para kiai kampung, namun jarang benar-benar kita resapi. Padahal, sejak awal Islam, persoalan tanah bukan sekadar urusan agraria, melainkan soal keadilan, keberlanjutan, dan ibadah. Kitab al-Kharāj karya Abū Yūsuf Ya‘qūb ibn Ibrāhīm al-Anṣārī, seorang qādī agung pada masa Khalifah Hārūn al-Rashīd, membentangkan refleksi mendalam tentang bagaimana tanah dikelola agar tak sekadar menghasilkan panen, melainkan juga keberkahan sosial.

Di kampung-kampung Indonesia, kita sering menjumpai sawah terbengkalai. Ada lahan luas, tapi ditinggalkan karena pemiliknya sibuk merantau atau enggan bercocok tanam. Ironisnya, tetangga di sekitarnya harus membeli beras dengan harga tinggi. Fenomena ini membuat frasa kunci tanah itu amanah kembali relevan.

Suara dari Kitab al-Kharāj

Abū Yūsuf menegaskan bahwa tanah bukan sekadar hak milik, tetapi juga amanah sosial. Dalam salah satu bagiannya beliau menulis:

الأرض لله ولمن عمّرها
“Tanah itu milik Allah, dan untuk siapa saja yang mengolahnya.”

Kalimat ini menampar kita yang hanya sibuk menimbun sertifikat tanpa menanam sebatang pohon pun. Di desa, saya sering mendengar orang tua berkata: “Ojo nganti lemahmu dadi kuburan ilalang.” Jangan biarkan tanahmu jadi makam rumput liar. Pesan lokal ini sejalan dengan warisan fikih klasik: tanah hidup bila dikerjakan, mati bila dibiarkan.

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Amanah yang Menumbuhkan Keadilan

Kitab al-Kharāj bukan hanya bicara tentang pajak tanah, tetapi juga tentang rasa adil. Abū Yūsuf menulis:

إن الله قد أمر بالعدل في الأرض كما أمر بالعدل في السماء
“Sesungguhnya Allah telah memerintahkan keadilan di bumi sebagaimana di langit.”

Kutipan ini memperluas pandangan kita: mengelola tanah bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal menjaga keseimbangan sosial. Bila tanah hanya dimiliki segelintir orang, sementara rakyat kecil tak punya akses, keadilan itu tercabik.

Di Indonesia, ketimpangan agraria sering kali jadi sumber masalah sosial. Banyak keluarga petani tak punya tanah, sementara segelintir orang menguasai ribuan hektar. Pesan Abū Yūsuf mengingatkan, bahwa tanah itu amanah—harus dikelola untuk kesejahteraan bersama.

Cinta Tanah, Cinta Sesama

Dalam bagian lain, Abū Yūsuf menulis tentang bagaimana khalifah harus mengawasi pengelolaan tanah:

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

على الإمام أن ينظر في الأرض فلا يدعها بغير زرع ولا غرس
“Seorang pemimpin wajib memperhatikan tanah, jangan membiarkannya tanpa ditanami atau ditumbuhi pohon.”

Pesan ini mengandung makna ekologis yang sangat aktual. Tanah kosong bukan hanya rugi bagi ekonomi, tetapi juga merusak keseimbangan alam. Di banyak daerah, kita melihat bukit gundul berubah jadi sumber banjir. Padahal kalau ditanami, ia bisa jadi sumber oksigen dan pangan.

Maka benar, mencintai tanah sama dengan mencintai sesama. Menanam pohon di tanah kosong bukan hanya memberi manfaat bagi pemilik, tapi juga bagi orang-orang yang menghirup udara segar, meminum air, dan makan dari hasil bumi.

Tanah Tak Boleh Jadi Mainan Kuasa

Abū Yūsuf juga mengingatkan bahaya mempermainkan tanah demi keuntungan sepihak:

من أخذ أرضًا بغير حقها كان خصمه الله يوم القيامة
“Barang siapa mengambil tanah bukan dengan haknya, maka lawannya adalah Allah pada hari kiamat.”

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Ini adalah peringatan keras. Dalam sejarah Islam, bahkan seorang khalifah bisa diingatkan bila berlaku zalim terhadap tanah rakyat. Amanah bukanlah milik pribadi, melainkan titipan Ilahi.

Di negeri kita, konflik agraria masih sering muncul. Dari sawah rakyat yang digusur untuk proyek besar, hingga tanah adat yang dikuasai korporasi. Membaca al-Kharāj membuat kita sadar, bahwa Islam sejak dahulu sudah memberi garis tegas: tanah tak boleh jadi alat penindasan.

Menanam Harapan, Bukan Menimbun Keserakahan

Frasa kunci tanah itu amanah membawa kita pada pertanyaan sederhana namun tajam: apakah tanah kita sudah jadi ladang kebaikan, atau sekadar lembaran kertas di laci sertifikat?

Gus Mus sering berkata dalam pengajiannya, “Jangan jadi manusia yang hanya numpang hidup di bumi tanpa meninggalkan manfaat.” Kalimat ini seakan menyambung ajaran Abū Yūsuf: tanah adalah ruang untuk menanam harapan, bukan untuk menimbun keserakahan.

Di tengah fenomena sosial Indonesia—urbanisasi yang membuat desa ditinggal, kapitalisasi tanah yang membuat rakyat kecil terpinggirkan—pesan ini terasa semakin penting. Kita diajak untuk kembali ke nilai dasar: tanah itu amanah, dan setiap jengkalnya akan ditanya oleh Allah.

Ketika melihat petani tua menunduk di sawah, keringatnya menetes ke tanah yang ia cintai, kita tahu bahwa amanah tanah itu nyata. Ia tidak hanya memberi makan keluarganya, tapi juga memberi kehidupan bagi banyak orang.

Tanah tidak boleh ditelantarkan, sebab ia bagian dari ibadah kita. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

من أحيا أرضًا ميتة فهي له
“Barang siapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. al-Bukhārī)

Maka, mari kita bertanya pada diri sendiri: apakah tanah kita sudah kita hidupkan, atau justru kita biarkan mati?

 

* Sugianto al-jawi

Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement