Keadilan dalam pemerintahan bukan hanya slogan. Dalam Kitab al-Kharāj karya Abū Yūsuf Ya‘qūb ibn Ibrāhīm al-Anṣārī, keadilan hadir sebagai napas utama dalam mengelola negara sekaligus membangun ekonomi umat. Sejak masa Khalifah Hārūn al-Rasyīd, pesan yang tertulis dalam kitab itu tetap relevan hingga kini, terutama di Indonesia, ketika rakyat masih sering mengeluh soal pajak, harga bahan pokok, dan kebijakan yang terasa timpang.
Adil Itu Amanah
Adil memang mahal karena menuntut penguasa menahan diri dari keserakahan. Abū Yūsuf menegaskan:
فَإِنَّ الْعَدْلَ أَمَانَةٌ، وَالْجَوْرَ خِيَانَةٌ، وَمَا قَامَتِ الدُّنْيَا إِلَّا بِالْعَدْلِ
“Sesungguhnya keadilan adalah amanah, sedangkan kezaliman adalah pengkhianatan, dan dunia tidak akan tegak kecuali dengan keadilan.”
Bayangkan bila jalan raya hanya bisa dipakai orang kaya. Atau pajak hanya dipungut dari rakyat kecil, sementara konglomerat bebas melenggang. Rakyat tentu akan bertanya lantang: “Di mana keadilan?”
Selain itu, Al-Qur’an juga menegaskan:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ (النساء: 58)
“Sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkan dengan adil.”
Pajak dan Keringat Rakyat
Hingga kini, keluhan soal pajak masih ramai terdengar di Indonesia. Ada UMKM yang merasa dicekik, sementara perusahaan besar justru mendapat keringanan. Abū Yūsuf menulis jelas dalam al-Kharāj:
لَا يَحِلُّ أَخْذُ الْمَالِ مِنَ النَّاسِ إِلَّا بِحَقٍّ بَيِّنٍ
“Tidak halal mengambil harta dari manusia kecuali dengan hak yang jelas.”
Dengan kata lain, pajak yang ditarik secara adil dapat menjadi ibadah sosial: membangun sekolah, memperbaiki jalan, atau menyejahterakan petani. Namun jika salah kelola, rakyat hanya akan melihat pajak sebagai beban tanpa manfaat.
Ketidakadilan pun tidak berhenti pada angka statistik. Ia hadir nyata ketika petani gagal menjual gabah dengan harga wajar, ketika nelayan rugi karena solar langka, atau ketika buruh hidup dengan gaji yang tidak cukup.
Dalam al-Kharāj, Abū Yūsuf memperingatkan:
إِنَّ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ لَا تُرَدُّ وَلَوْ كَانَ كَافِرًا
“Doa orang yang terzalimi tidak akan ditolak, meskipun ia seorang kafir.”
Maka dari itu, penguasa wajib mendengar jeritan rakyat sebelum doa mereka naik ke langit.
Adil Membawa Keberkahan
Keadilan tidak hanya menenteramkan hati rakyat, tetapi juga membawa keberkahan. Abū Yūsuf menulis:
إِذَا عَدَلَ السُّلْطَانُ أَمِنَتِ الرَّعِيَّةُ وَكَثُرَتِ الْخَيْرَاتُ
“Jika penguasa berlaku adil, rakyat akan merasa aman dan kebaikan akan melimpah.”
Contoh nyata dapat kita lihat di Indonesia. Saat harga beras stabil, petani tersenyum lega dan rakyat pun tenang. Tidak ada demo besar, tidak ada ledakan amarah di media sosial. Semua merasa cukup.
Lebih jauh lagi, keadilan bukan hanya tanggung jawab penguasa. Setiap orang memikulnya, entah sebagai orang tua, guru, pedagang, atau pemimpin kecil di lingkup RT. Apabila keadilan di rumah saja diabaikan—misalnya orang tua pilih kasih terhadap anak—maka jangan heran bila suara protes muncul.
Keadilan yang Mendesak
Kita bisa belajar dari Kitab al-Kharāj bahwa keadilan tidak boleh ditunda. Seperti udara, ia dibutuhkan setiap saat. Adil memang mahal, tetapi tanpa adil, rakyat akan berteriak. Dan doa mereka, bila menembus langit, dapat mengguncang dunia.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
