SURAU.CO – Perspektif sistem ekonomi sosialis pada garis besarnya lebih mengutamakan kepentingan sosial daripada kepentingan individu. Oleh karenanya, sosialisme tidak mengijinkan sektor swasta menguasai faktor produksi. Faktor produksi hendaknya dimiliki oleh kelompok. Dalam hal ini, produksi barang dan jasa harus bertujuan pada kepentingan sosial.
Marx dan Engels mengharapkan bahwa kelompok pekerja dapat menguasai politik untuk dapat memusatkan seluruh instrumen produksi pada negara. Setelah itu, negara akan mendorong produktivitas secepatnya. Penguasaan oleh negara berdasar pada ketidakpercayaan pada sistem kapitalis yang lebih mementingkan kepentingan individu daripada sosial.
Kegagalan Sistem ekonomi sosialis
Pola produksi kapitalisme yang mengejar keuntungan pribadi senantiasa abai terhadap permasalahan sosial, termasuk keselamatan para pekerja. Hal ini oleh menurut Marx merupakan sebagai karakter dasar dari sistem kapitalisme. Meski pemerintah telah menerapkan berbagai aturan, akan tetapi pola produksi kapitalisme akan terus menimbulkan dampak negatif terhadap permasalahan sosial.
Sistem sosialisme yang melarang individu untuk mengejar profit dapat mengikis inisiatif dan efisiensi. Padahal keduanya adalah merupakan faktor penting untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi akan sulit tercapai. Hal ini tampak dengan kegagalan semua negara yang menggunakan sistem sosialisme. Mereka tidak dapat menyelesaikan permasalahan ketidakmerataan ekonomi. Stagnasi dalam ekonomi juga terjadi sebagai dampak dari kurangnya motivasi dari para pekerja dan para eksekutif, serta ketidakmampuan sistem dalam merespons perubahan.
Perspektif Islam terhadap aspek sosial
Adapun Islam, memiliki perhatian terhadap aspek sosial yang dominan tanpa perlu meniadakan kepentingan pribadi. Bila dibandingkan dengan agama lainnya, maka Islam memiliki perhatian terhadap solidaritas komunal yang lebih besar. Islam menekankan harmoni keseimbangan antara kebutuhan individu (spiritual dan material) dan kebutuhan masyarakat secara umum.
Di dalam surah al-Ma’un, Allah SWT. menegaskan bahwa mereka yang tidak peduli kepada orang miskin dan orang yang tidak berdaya seperti anak yatim termasuk sebagai pendusta agama. Hal ini juga menjadi landasan bahwa Islam memperhatikan sistem jaminan sosial.
Rasulullah SAW. telah memberikan contoh sebagai landasan bagaimana sistem jaminan sosial dalam Islam terwujudkan. Sistem jaminan sosial yang dapat memenuhi kebutuhan pokok bagi seluruh masyarakat; orang miskin, anak yatim, orang lanjut usia, janda, orang yang terlilit utang, dan lainnya.
Rasulullah SAW. bersabda:
“Orang yang berusaha memenuhi kebutuhan para janda dan orang miskin seperti orang yang berjihad pada jalan Allah SWT. Dia juga seperti orang yang ibadah tanpa rasa lelah serta seperti orang yang selalu berpuasa terus-menerus.”
Sistem jaminan sosial dalam Islam
Sistem jaminan sosial berupa pemberian tunjangan rutin kepada kaum muslimin pertama kali diterapkan oleh Abu Bakar r.a. Umar bin Khattab pun melanjutkan sistem ini dengan skema pembagian yang berbeda. Negara memberikan tunjangan tersebut kepada para istri Rasulullah, para sahabat yang menjadi veteran perang, dan juga setiap orang miskin. Bahkan, perlindungan jaminan sosial tersebut juga menaungi non-muslim yang juga membutuhkan.
Suatu hari Umar r.a. bertemu dengan seorang pengemis tua yang non-muslim. Tatkala Umar r.a. bertanya terkait alasannya mengemis, maka si pengemis menyampaikan bahwa hal itu untuk memenuhi kebutuhannya dan juga untuk membayar jizyah. Mendengar hal tersebut, Umar r.a. membawanya ke baitulmal, lalu memberinya santunan serta tidak lagi mewajibkan pembayaran jizyah atas mereka yang sudah tua seraya berkata:
“Demi Allah, tidaklah bijaksana apabila kita menarik jizyah kepada mereka di kala muda. Namun, menistakannya di hari tua.”
Lebih lanjut, contoh lain dari kebijakan Umar bin Khattab yang lebih memprioritaskan kepentingan sosial adalah dalam hal pembagian tanah pada berbagai daerah taklukan. Beliau menolak untuk membaginya kepada para tentara yang memang mempunyai hak atas harta rampasan perang. Beliau berpandangan bahwa dengan menjadikannya sebagai aset negara, lalu ia menyewakan pengelolaannya, maka manfaatnya akan jauh lebih besar bagi umat, termasuk untuk generasi mendatang.
Perhatian ekonomi Islam pada aspek sosial
Secara umum, sosialisme dan ekonomi Islam memiliki perhatian yang sama terhadap aspek sosial. Meski demikian, hal ini tidak menjadikan keduanya sama. Islam tidak membahas pertentangan kelas sebagaimana pendapat Marx. Ekonomi Islam dan marxisme sangat berbeda dalam interpretasi dan juga dimensinya.
Kepentingan individu dalam Islam masih tetap penting walaupun harus mengutamakan kepentingan sosial. Islam tidak melarang setiap individu melakukan kegiatan ekonomi masing-masing untuk mendapatkan keuntungan. Bahkan, Islam memerintahkan setiap insan untuk berusaha mencari rezekinya. Rasulullah SAW. adalah seorang pengusaha yang sukses. Sejumlah sahabat rasul juga demikian. Sebaliknya, kecaman ditujukan kepada mereka yang tidak berusaha dan lebih mengandalkan kepada belas kasih orang lain.
Rasulullah SAW. bersabda:
“Di antara kalian memikul kayu bakar pada pundaknya itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, kemudian diberi atau tidak.”
Catatan Islam dalam meraih keuntungan
Dalam upaya mengejar keuntungan, Islam memberikan catatan penting dalam cara memperoleh keuntungan dan bagaimana memperlakukan keuntungan tersebut. Cara memperoleh keuntungan tidak boleh menimbulkan kerugian kepada orang lain. Terkait hal ini, sejumlah etika ditetapkan oleh Islam agar tidak memakan harta orang lain secara batil. Allah SWT. berfirman:
“Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 188)
Adapun terkait dengan hasil keuntungan, maka Islam mendorong adanya alokasi untuk orang lain yang membutuhkan. Ada hak orang lain yang terdapat dalam keuntungan yang mereka dapatkan. Alokasi yang bersifat wajib adalah zakat, sedangkan alokasi yang bersifat sukarela yakni wakaf, infak, dan hibah.(St.Diyar)
Referensi: Azharsyah Ibrahim, dkk, Pengantar Ekonomi Islam, 2021.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
