Kesehatan
Beranda » Berita » “Indonesia Darurat Seblak”: Antara Sensasi dan Gizi

“Indonesia Darurat Seblak”: Antara Sensasi dan Gizi

SURAU.CO. Di tengah hiruk pikuk kota, aroma bawang putih, kencur, dan cabai kini identik dengan seblak. Jajanan kaki lima ini melonjak jadi ikon kuliner nasional, terutama setelah media sosial ramai menampilkan tantangan “makan seblak level 10” yang digemari banyak orang.

Fenomena itu melahirkan istilah satir “Indonesia darurat seblak”, sindiran atas gaya hidup instan dan berlebihan yang menunjukkan betapa mudah selera menguasai manusia bila tanpa kendali dan keseimbangan.

Fenomena Seblak: Lebih dari Sekadar Makanan

Jajanan seblak hari ini semakin ramai diperbincangkan. Dokter di Bandung, dr. Mariska Haris, membagikan kisah pasien berusia 21 tahun. Pasien tersebut hampir setiap hari hanya makan seblak. Akibatnya, ia menderita radang lambung serius. Hal ini menyadarkan publik tentang dampak tren kuliner terhadap kesehatan.

Seblak lahir dari kesederhanaan. Kerupuk mentah direbus, lalu ditumis dengan cabai, bawang, dan kencur. Cita rasanya pedas, murah, dan mengenyangkan. Inilah daya tarik utamanya. Namun, kreativitas terus mengembangkannya. Hadirlah seblak ceker, seafood, bahkan seblak keju ala Korea. Seblak kini dapat dipesan melalui aplikasi daring atau disajikan di kafe modern. Popularitas seblak membuktikan bahwa hidangan ini lebih dari sekadar makanan lokal. Seblak telah menjadi bagian dari gaya hidup urban.

Sensasi Pedas Seblak yang Menjerat

Kekhasan seblak terletak pada level pedasnya. Ada level satu hingga sepuluh, bahkan lebih. Penggemar seblak percaya, “belum afdol kalau belum keringetan”. Namun, sensasi ini bisa menjadi candu. Pedas merangsang pelepasan endorfin. Hal ini membuat orang merasa tertantang dan ketagihan.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Sayangnya, di balik sensasi ini, risiko kesehatan mengintai. Iritasi lambung, diare, bahkan dehidrasi adalah beberapa di antaranya. Beberapa kasus remaja dirawat usai mencoba seblak super pedas. Inilah sisi darurat yang nyata.

Dampak Kesehatan yang Mengkhawatirkan

Ahli gizi, dr. Tan Shot Yen, mengingatkan akan bahaya kerupuk. Bahan utama seblak ini miskin gizi, namun tinggi garam. Jika dijadikan makanan pokok, dampaknya serius. Anemia, keropos tulang, hingga gangguan pertumbuhan bisa terjadi. Sementara itu, Dokter spesialis penyakit dalam, dr. Aru Ariadno, menambahkan. Kuah berminyak dan pedas ekstrem dapat mengiritasi lambung. Hal ini meningkatkan risiko maag dan hipertensi.

Fenomena ini mencerminkan pergeseran pola makan remaja. Mereka lebih suka jajan viral ketimbang menu seimbang. Jika dibiarkan, masalah gizi kronis bahkan stunting bisa terjadi.

Seblak: Antara Halal dan Thayyib

Dalam Islam, makanan dinilai dari kehalalan dan manfaatnya. Al-Qur’an menegaskan, umat harus makan yang halal dan thayyib (baik dan menyehatkan). Nabi Muhammad Saw bersabda,

“Tidaklah anak Adam memenuhi wadah yang lebih buruk daripada perutnya” (HR. Tirmidzi).

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Hadis ini tidak melarang kita menikmati makanan, tapi mengajarkan kendali. Perut penuh bukan tanda nikmat, melainkan bisa jadi pintu keburukan. Yang dianjurkan adalah keseimbangan: cukup untuk hidup, bukan hidup untuk makan. Seblak memang halal. Namun, jika berlebihan hingga menimbulkan mudarat, hal itu bertentangan dengan prinsip menjaga kesehatan. Agama mendorong umat untuk bersikap moderat. Nikmati seblak, tetapi harus terkendali.

Seblak: Cerminan Budaya Konsumsi Instan

Lebih jauh, seblak adalah potret budaya konsumsi instan. Anak sekolah rela antre demi seblak. Mereka lebih memilihnya daripada makan bergizi di rumah. Mahasiswa menjadikan seblak “teman begadang”. Pekerja kantoran memesannya secara online untuk melepas stres.

Ada pula satire sosial dalam fenomena ini. Bangsa ini kadang lebih mudah bersatu lewat kuliner. Di warung seblak, kelas sosial hilang. Semua duduk setara menantang pedas.

Solusi

Larangan bukanlah solusi yang tepat. Seblak adalah hasil kreativitas rakyat yang patut diapresiasi. Namun, masyarakat perlu bijak. Nikmati seblak sesekali saja. Tambahkan sayur dan protein. Pilihlah level pedas yang wajar. Jangan jadikan seblak pengganti nasi dan lauk. Pemerintah dan pelaku usaha dapat berinovasi dengan “seblak sehat”. Tujuannya, agar lebih ramah terhadap tubuh.

Istilah “Indonesia darurat seblak” bernada satir. Namun, ia mengandung pesan reflektif. Di balik gurih pedas yang viral, ada tantangan kesehatan dan pola hidup. Seblak memang bisa menjadi perekat sosial. Tapi, ia juga menguji kita. Bisakah kita mengendalikan selera, atau justru dikendalikan olehnya?
Jika hidup selalu dijalani dengan “level pedas 10”, mungkin kita memang sedang darurat. Bukan hanya seblak, tetapi juga keseimbangan hidup. (kareemustofa)

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement