SURAU.CO. Berita bencana banjir di Bali memenuhi beranda pemberitaan beberapa hari yang lalu. Bali dilanda banjir usai hujan ekstrem di wilayah tersebut lebih dari 24 jam tanpa henti. Konon informasinya bencana ini menjadi banjir terparah dalam satu dekade terakhir. Banyak bangunan roboh dan memaksa evakuasi ratusan orang harus mengungsi, termasuk wisatawan asing.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut banjir itu melanda enam kabupaten/kota di Bali. Yakni Denpasar, Jembrana, Gianyar, Klungkung, Badung, dan Tabanan. Data sementara menunjukkan sembilan orang meninggal dunia, dua orang masih hilang, serta ratusan kepala keluarga terdampak. Bali ditetapkan dalam status bencana hingga satu pekan ke depan.
Ketika bencana alam memporak-porandakan sebuah daerah, pertanyaan yang sering muncul di benak masyarakat tidak hanya soal berapa banyak korban jiwa atau kerugian yang ditimbulkan, melainkan juga mengapa bencana tersebut bisa terjadi. Banyak ilmuwan yang menerangkan dengan penjelasan ilmiah, bagaimana sebuah bencana bisa terjadi. Mulai dari keberadaan jalur cincin api Pasifik, sampai pada perubahan iklim global. Termasuk fenomena El Niño dan La Niña, yang turut mempengaruhi kondisi cuaca ekstrem.
Namun, penjelasan ilmiah tidak selalu cukup untuk menjawab kegelisahan masyarakat. Dalam konteks kehidupan beragama, terutama agama Islam, memandang bencana bukan hanya sebagai fenomena alamiah, melainkan juga sebagai isyarat atau peringatan dari Allah SWT.
Dalam menjalani hidup di dunia, ada masa penuh kebahagiaan dan ada pula masa penuh ujian. Di antara ujian itu adalah bencana alam, yang seringkali datang tiba-tiba dan menyisakan luka mendalam. Islam sebagai agama yang komprehensif sudah membahas berbagai macam bencana, sebagai pelajaran dan peringatan bagi manusia.
Al-Qur’an sejak berabad-abad lalu telah memperingatkan manusia tentang adanya berbagai bencana, termasuk angin dan banjir. Dua fenomena alam ini pada dasarnya adalah anugerah Allah yang menopang kehidupan, tetapi jika melampaui batas, keduanya bisa berubah menjadi malapetaka.
Angin: Rahmat yang Bisa Menjadi Azab
Angin adalah bagian penting dari sistem kehidupan. Ia membantu penyerbukan tanaman, menggerakkan awan, dan membawa hujan yang menyejukkan bumi. Namun, ketika angin berhembus terlalu kencang, ia dapat menjadi petaka.
Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam, menggambarkan berbagai fenomena angin yang pernah menimpa manusia di masa lalu. Baik itu sebagai bentuk peringatan atau hanya sekedar kabar berita. Al-Quran menggambarkan angin yang membawa bencana dengan berbagai istilah.
- Dalam Q.S. al-Dzāriyāt ayat 41-42, Allah SWT menyebutnya sebagai Al-Rīh al-‘Aqīm (angin mandul) yaitu angin yang tidak membawa manfaat, tidak mendatangkan hujan, dan justru membinasakan dan merusak apa yang dilewatinya.
- Dalam Q.S. Ali Imran ayat 117, Allah SWT mengibaratkan dengan Rīh fīhā shirr (angin dingin yang membinasakan) yaitu angin yang merusak tanaman dan membekukan kehidupan.
- Dalam Q.S Al-Haqqah ayat 6-7, Allah menyebutnya dengan Rīh sharsar ‘ātiyah (angin sangat dingin dan keras) yaitu angin yang sangat dingin dan kencang yang menimpa kaum ‘Ad hingga mereka binasa.
- Dalam Q.S Yunus ayat 22, Allah menyebut dengan Rīh ‘āsif (badai dahsyat) yaitu angin yang menimbulkan gelombang besar di lautan yang mengancam kapal, sehingga orang-orang berdoa kepada Allah SWT dengan mengikhlaskan ketaatannya.
- Dalam Q.S Al-Isra’ ayat 68, Allah menyebutkan Qāsif min al-rīh (angin yang menghancurkan) yaitu angin keras yang membawa batu-batu kecil untuk menghancurkan. Dan tiada tempat berlindung selain kepada Allah SWT.
- Dalam Q.S Al-Ahqaf ayat 24-25, Allah menyebutkan dengan Rīh fīhā ‘adzābun alīm (angin membawa azab pedih) yaitu angin yang menghancurkan segala sesuatu sesuai perintah Allah, sebagai balasan atas dosa-dosa.
Dari kisah-kisah Qur’ani, kita mengenal kaum ‘Ad yang ditimpa angin kencang selama tujuh malam delapan hari tanpa henti. Mereka hancur karena kesombongan dan penolakan terhadap seruan Nabi Hūd. Kisah ini menjadi peringatan bahwa bencana sering terkait dengan perilaku manusia, bukan sekadar fenomena alam biasa.
Banjir: Air Kehidupan yang Bisa Membinasakan
Air adalah sumber kehidupan. Tanpa air, manusia, hewan, dan tumbuhan mustahil bertahan hidup. Namun, ketika air melampaui batas, ia menjadi banjir yang merusak. Al-Qur’an juga menyebut beberapa bentuk banjir, yang mengisahkan bagaimana banjir yang menimpa umat zaman dahulu.
Dalam Q.S Saba’ ayat 16, Allah menyebut dengan Sail (banjir bandang), dimana banjir terjadi karena air meluap melebihi takaran, seperti banjir akibat jebolnya bendungan Ma’rib yang menimpa kaum Saba’.
“Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr”. (Q.S Saba’:16)
Kemudian dalam Q.S al-Ankabut ayat 14, Allah menyebut banjir dengan Al-Thūfān (banjir besar) yaitu air yang menggulung dengan dahsyat, menenggelamkan seluruh daratan, sebagaimana kisah Nabi Nuh
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim.” (Q.S Al-Ankabut: 14)
Banjir pada masa Nabi Nuh adalah contoh nyata bagaimana azab Allah menimpa kaum yang membangkang. Hanya orang-orang beriman yang selamat dengan menaiki kapal bersama Nabi Nuh. Begitu pula kaum Saba’ yang menikmati kemakmuran, tetapi karena kufur nikmat, Allah menimpakan banjir besar yang mengubah kebun subur menjadi tandus.
Penyebab Bencana dalam Perspektif Qur’an dan Ilmu Pengetahuan
Al-Qur’an sering mengaitkan bencana dengan azab bagi kaum durhaka dan ujian bagi orang beriman. Dalam Q.S. al-Ankabūt: 2, Allah menegaskan: “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?”.
Bencana tidak selalu berarti murka Allah. Bisa jadi ia adalah sarana penyucian diri, pengingat akan kelemahan manusia, dan dorongan untuk kembali kepada-Nya. Bencana dapat berupa ujian ketakwaan kita pada ketetapan Allah SWT dan bentuk cinta-Nya.
Hadis Rasulullah ﷺ juga menegaskan: “Apabila Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menguji mereka. Siapa yang ridha, maka baginya keridhaan Allah. Siapa yang murka, maka baginya kemurkaan Allah.” (HR. Tirmidzi).
Dari sisi ilmu pengetahuan, bencana adalah fenomena alam: pergerakan udara, perubahan iklim, curah hujan berlebihan, atau kerusakan lingkungan akibat ulah manusia. Namun, Qur’an menambahkan dimensi spiritual, berupa kerusakan moral, kesombongan, dan kufur nikmat juga menjadi penyebab.
Allah berfirman dalam Q.S. al-Rūm: 41: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Ayat ini menegaskan hubungan antara perilaku manusia dengan bencana. Eksploitasi alam, pembalakan liar, pencemaran sungai, hingga keserakahan ekonomi, semua itu memperparah bencana alam. Dan dengan bencana Allah SWT memanggil kita agar kembali mendekatkan diri kepada-Nya, setelah jauh tersesat.
Solusi Qur’ani Menghadapi Bencana
Al-Qur’an tidak hanya menghadirkan kisah tentang bencana sebagai peringatan, tetapi juga memberikan pedoman tentang bagaimana manusia seharusnya merespon bencana. Pertama, Al-Qur’an menekankan pentingnya taubat dan kembali kepada Allah. Kisah kaum Nabi Yunus menjadi pelajaran berharga, bahwa ketika suatu kaum bertobat secara bersama dan memperbaiki diri, Allah mengangkat azab yang semula telah ditetapkan bagi mereka.
“Dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Yunus? Tatkala mereka (kaum Yunus itu), beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai kepada waktu yang tertentu.” (Q.S. Yunus: 98).
Kedua, Al-Qur’an menanamkan nilai kesabaran dan tawakal. Allah bersama orang-orang sabar, sehingga menghadapi musibah dengan hati yang lapang dan penuh tawakal bukan hanya mendatangkan ketenangan batin, tetapi juga menjadi jalan meraih pertolongan Allah.
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (Q.S Al-Baqarah: 153)
Ketiga, Islam mengajarkan tanggung jawab terhadap lingkungan melalui peran manusia sebagai khalifah di muka bumi. Menjaga keseimbangan alam dan menghindari kerusakan bukan sekadar tindakan sosial, tetapi bagian dari ibadah yang bernilai ukhrawi.
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (Q.S. al-Baqarah: 30).
Kemudian, ajaran Islam juga menumbuhkan solidaritas sosial. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ dalam hadis riwayat Muslim, yang menggambarkan umat layaknya satu tubuh, jika satu bagian sakit, seluruhnya ikut merasakan. Konsep ini menegaskan bahwa saat bencana melanda, sikap saling membantu, empati, dan gotong royong bukan hanya tuntutan kemanusiaan, melainkan bagian dari implementasi ajaran Islam yang mendalam.
Relevansi dengan Zaman Sekarang
Di era modern, bencana semakin sering terjadi dengan intensitas lebih parah. Badai tropis, banjir bandang, dan perubahan iklim global menjadi ancaman nyata. Ilmu pengetahuan sains menyebut pemanasan global sebagai penyebab, sementara Qur’an menegaskan bahwa kelalaian manusia menjaga bumi adalah faktor utama.
Oleh karena itu, solusi Qur’ani bukan hanya soal doa, tetapi juga aksi nyata dalam membangun sistem mitigasi bencana, melestarikan lingkungan, hidup sederhana tanpa keserakahan, serta memperkuat iman dan akhlak.
Bencana angin dan banjir dalam al-Qur’an bukan sekadar kisah sejarah, tetapi peringatan sepanjang zaman. Al-Qur’an mengajarkan bahwa angin dan air yang menjadi sumber kehidupan bisa berubah menjadi azab bila manusia lalai. Namun, di balik setiap bencana, selalu ada hikmah, agar manusia kembali sadar, rendah hati, dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Sebagaimana firman Allah, “Tiada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah. (Kami jelaskan) supaya kamu tidak berduka cita terhadap apa yang luput darimu, dan supaya kamu tidak terlalu gembira terhadap apa yang diberikan kepadamu…” (Q.S. al-Hadīd: 22-23)
Maka, bencana sejatinya adalah undangan Allah untuk manusia, agar kembali merenung, memperbaiki diri, menjaga alam, dan memperkuat iman.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
