SURAU.CO – Lahirnya ekonomi Islam berawal pada masa Rasulullah. Beliau meletakkan fondasi ekonomi setelah hijrah ke Madinah. Pada fase awal kenabian, sebelum hijrah, fokus utama masih kepada penguatan akidah umat Islam. Belum lagi, di Makkah, kekuatan umat Islam belum begitu kuat, baik secara politik dan juga ekonomi.
Rasulullah membangun peradaban Islam
Setelah hijrah ke Madinah, Rasulullah SAW. mulai membangun peradaban Islam. Hal pertama kali yang Rasulullah SAW. lakukan setelah hijrah adalah membangun modal sosial yang kuat di antara masyarakat; mempersaudarakan kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Stabilitas keamanan juga terjaga dengan kesepakatan piagam Madinah dengan non-muslim.
Dalam aspek ekonomi, Rasulullah SAW. telah membangun sejumlah institusi pasar di Madinah. Beliau juga membangun baitulmal sebagai perbendaharaan negara. Kewajiban pelaksanaan zakat juga Rasulullah tetapkan pada tahun kedua setelah hijrah. Semangat berbagi juga terus Rasulullah dorong dengan infak dan wakaf. Rambu-rambu atau aturan hukum bisnis juga mulai diatur dengan syariah Islam.
Fondasi ajaran ekonomi Islam dari Rasulullah
Rasulullah SAW. mewariskan dua fondasi utama ajaran Islam: Alquran dan sunah. Dua hal tersebut merupakan sumber hukum agama Islam. Panduan bagi para produsen dan konsumen dalam berperilaku. Sebagai contoh, Alquran mengharamkan bagi produsen untuk mengambil keuntungan dengan cara yang batil (al-Baqarah [2]: 188 dan an-Nisa [4]: 29).
Adapun bentuk-bentuk kebatilan dalam jual beli, kemudian Rasulullah SAW. jelaskan dengan sejumlah larangan,yakni larangan menimbun (ihtikar) dan juga menyembunyikan cacat (tadlis).
Para sahabat melanjutkan ajaran Rasulullah
Sepeninggal Rasulullah SAW. (632 M/11 H), sejumlah sahabat memimpin umat Islam–khulafa’ur rasyidin (632–661 M). Tidak hanya sebagai pemimpin pemerintahan, mereka juga adalah orang yang alim. Seiring dengan terhentinya wahyu, maka ijtihad menjadi kebutuhan dari para pemimpin dan para ulama dalam menyelesaikan permasalahan umat.
Khalifah pertama, Abu Bakar ash-Shiddiq (632-634 M) terkenal dengan ketegasannya dalam memerangi mereka yang enggan untuk membayar zakat. Meskipun mendapatkan penolakan dari sejumlah sahabat, terutama Umar bin Khattab r.a.
Abu Bakar r.a. sangat tegas dengan keputusannya untuk memerangi mereka yang memisahkan antara salat dan zakat. Alhasil, kestabilan sosial, politik dan ekonomi terjaga dengan baik. Selain itu, Abu Bakar r.a. memberikan tunjangan kepada para istri nabi dan veteran perang Badar dan Uhud.
‘Usyur dan kharaj: kebijakan Umar bin Khattab
Khalifah kedua, Umar bin Khattab r.a. (634-644 M), terkenal dengan kebijakannya yang memperkuat tata kelola pemerintahan. Pada bidang ekonomi, Umar membangun institusi hisbah yang salah satu fungsi utamanya adalah pengawasan pasar. Umar juga memberlakukan kebijakan ‘usyur (bea cukai) sebagai sebuah kebijakan resiprokal.
Berbeda dengan Abu Bakar r.a. yang membagikan tunjangan bulanan secara merata, Umar bin Khattab membagikan tunjangan kepada para istri nabi dan sahabat nabi berdasarkan tingkat kedekatannya dengan Nabi dan masa keislamannya. Selain itu, kebijakan Umar yang orisinal
adalah kaitannya dengan pembagian harta perang, saat itu Umar memutuskan tidak membagikan tanah yang berhasil ditaklukkan di Iraq dan Syam kepada para pejuang yang ikut peperangan. Umar bin Khattab lebih memilih untuk menahan kepemilikan negara atas tanah tersebut dan menetapkan sewa atas pemanfaatan tanah tersebut. Kebijakan ini terkenal dengan kebijakan kharaj.
Kebijakan Utsman dalam pengelolaan tanah negara
Sementara itu, Khalifah ketiga, Utsman bin Affan (644-656 M) meneruskan apa yang telah Umar lakukan. Pendapatan negara dari sektor agrikultural meningkat pesat hingga lebih dari lima kali lipat padamasa Utsman. Hal ini tidak lepas dari kebijakannya untuk memperbolehkan pengelolaan tanah negara oleh individu masyarakat, sehingga beban negara berkurang dan pemanfaatan tanah menjadi lebih optimal. Meski demikian, kebijakan ini berpotensi menjadi benih feodalisme dalam Islam.
Seiring dengan sulitnya bagi pemerintah untuk menghitung harta zakat yang tersimpan (baathin), Utsman mencukupkan para petugasnya untuk hanya menghitung harta zakat yang tampak (zhahir). Adapun harta yang tersimpan, maka itu menurut kebijakan Utsman tetaplah menjadi kewajiban muzaki untuk menyalurkannya.
Kebijakan Ekonomi Khalifah Ali
Khalifah terakhir adalah Ali bin Abi Thallib (656-661 M). Terdapat empat isu besar yang Ali sampaikan kepada para gubernurnya; moralitas, keadilan, kedamaian dan keamanan, serta kesejahteraan ekonomi masyarakat.
Sektor pertanian masih menjadi perhatian utama. Ali r.a. menekankan pentingnya pemerintah untuk lebih memperhatikan produktivitas dari lahan pertanian daripada hanya sekadar memperhatikan penarikan pajak atas tanah tersebut. Pada aspek perdagangan, beliau menegaskan larangan penimbunan yang dapat membahayakan masyarakat.
Hakim agung pada pemerintahan Bani Umayyah dan Abbasiyah
Setelah berakhirnya khulafa’ur rasyidin pada tahun 661 M, Bani Umayyah meneruskan kekuasaan pemerintahan Islam (661-750 M) kemudian Bani Abbasiyah (750-1000 M) yang saat itu pemilihan kepala negara bukan didasarkan pada hasil syura, tetapi lebih merujuk kepada dinasti keluarga. Akibatnya, banyak khalifah yang tidak memiliki kedalaman ilmu agama. Oleh karena itu, pada masa kekhalifahan dinasti, muncullah sejumlah ulama yang menjadi hakim agung yang senantiasa memberikan fatwa dan nasihat kepada para khalifah.
Hakim agung tersebut yakni Abu Yusuf (113–182 H / 731–798 M) dan Abu al-Hasan al-Mawardi (364–450 H / 972–1058 M). Akan tetapi, hanya Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang memiliki kealiman pada bidang syariah di antara para khalifah Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah.
Abu Yusuf merupakan hakim agung pada masa Harun ar-Rasyid (786-809 M), puncak kejayaan Bani Abbasiyah. Abu Yusuf telah menyusun sebuah buku fenomenal yang menjadi buku ekonomi Islam yang pertama. Beliau menyusun kitab al-Kharaj sebagai nasihat pada pemerintah atas permintaan Sang Khalifah. Buku tersebut berisikan tentang keuangan publik Islam; pendapatan dan pengeluaran negara.
Dengan demikian bahwa periode pertama ini dari Rasulullah sampai Dinasti Abbasiyah merupakan fondasi utama dari pemikiran ekonomi Islam. Prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam bersumber kepada Alquran dan sunah, kemudian mengalami perkembangan melalui sejumlah ijtihad dari para khulafaur rasyidin.(St.Diyar)
Referensi: Azharsyah Ibrahim, dkk, Pengantar Ekonomi Islam, 2021.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
