SURAU.CO – Ilmu adalah cahaya yang menghidupkan manusia. Dengan ilmu, manusia dapat membedakan yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk, serta yang bermanfaat dan yang sia-sia. Oleh karena itu, Islam menempatkan ilmu pada posisi yang sangat tinggi. Allah SWT mengangkat derajat orang-orang berilmu beberapa derajat dibandingkan orang yang tidak berilmu.
Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Manusia tidak mungkin memperoleh ilmu tanpa guru. Guru hadir sebagai pelita yang menyalakan cahaya ilmu dalam hati dan pikiran murid-muridnya. Oleh karena itu, menghormati guru berarti menghormati ilmu itu sendiri.
Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar maupun dirham, tetapi mereka mewariskan ilmu. Barang siapa yang mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR.Abu Dawud dan Tirmidzi)
Hadis ini menegaskan betapa mulianya kedudukan ilmu dalam Islam. Allah SWT pun berulang kali mengingatkan manusia dalam Al-Qur’an agar menuntut ilmu, memikirkan ciptaan-Nya, dan menggunakan akal dengan benar.
Guru sebagai Jalan Menuju Cahaya
Sejarah memperlihatkan betapa agungnya peran guru. Imam Syafi’i, seorang ulama besar, sangat menghormati gurunya, Imam Malik. Saat menghadiri majelis Imam Malik, Imam Syafi’i duduk dengan penuh tawaduk. Ia bahkan tidak berani membuka lembaran kitab sembarangan. Sikap ini menunjukkan bagaimana Imam Syafi’i memandang gurunya sebagai pintu menuju ilmu.
Imam Ahmad bin Hanbal juga menunjukkan penghormatan serupa. Ia rela menempuh perjalanan jauh hanya untuk menemui guru. Bagi para ulama besar, menghormati guru merupakan kesadaran bahwa tanpa guru, mereka tidak bisa menerima ilmu dengan benar.
Guru menyerupai pohon yang menghasilkan buah sekaligus memberikan keteduhan. Murid boleh memetik buahnya sebanyak mungkin, tetapi ia tidak boleh melupakan akar yang menopangnya. Jika murid meremehkan guru, ia berarti meremehkan ilmu yang diajarkannya.
Menghormati Guru sebagai Akhlak Ilmiah
Menghormati guru termasuk akhlak ilmiah. Murid harus menjaga adab mendengarkan, menghargai setiap perkataan guru, dan menjaga martabat guru. Murid yang baik tidak bertanya, tetapi menunggu sikap di hadapan gurunya.
Banyak kisah menunjukkan bagaimana para ulama terdahulu menjunjung tinggi adab terhadap guru. Imam al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi menulis panjang lebar tentang pentingnya murid menjaga adab kepada guru. Terlebih lagi, ada ungkapan yang sangat terkenal: “Adab di atas ilmu.” Ungkapan ini menegaskan bahwa ilmu baru bermanfaat jika murid menjaganya dengan adab yang baik.
Menghormati guru bukan berarti menganggap guru sebagai manusia sempurna. Guru tetaplah manusia biasa yang mungkin melakukan kesalahan. Namun, penghormatan murid mencerminkan pengakuan bahwa guru telah berjuang keras menyampaikan ilmu dengan penuh kesabaran.
Wujud Nyata Mengagungkan Guru
Murid bisa menunjukkan rasa hormat kepada guru dalam banyak hal. Pertama, murid menjaga etika saat berinteraksi dengan guru. Ia mendengarkan dengan seksama ketika guru menjelaskan, tidak menyela pembicaraan, dan tidak meremehkan pertanyaan atau arahan guru.
Kedua, murid menyebut nama guru dengan penuh hormat. Ulama-ulama besar selalu memanggil guru mereka dengan nada lembut. Bahkan sebagian ulama memberi gelar khusus kepada guru sebagai tanda penghormatan.
Ketiga, murid menjaga nama baik guru di luar majelis. Ia tidak boleh membuka aib atau kelemahan gurunya di depan orang lain. Sebaliknya, murid harus menjaga kehormatan gurunya sebagaimana ia menjaga kehormatan dirinya sendiri.
Keempat, murid mendoakan guru. Doa tulus dari murid menguatkan ikatan ilmu antara keduanya dan menambah keberkahan.
Dampak Mengagungkan Guru terhadap Keberkahan Ilmu
Menghormati guru membawa keberkahan ilmu. Banyak ulama menyatakan bahwa ilmu yang bermanfaat lahir dari adab yang baik. Ilmu yang diperoleh tanpa adab menyerupai makanan lezat yang tersaji di wadah kotor. Makanan itu mungkin mengenyangkan, tetapi tidak menyehatkan.
Sebaliknya, ilmu yang dibarengi adab akan melahirkan keberkahan. Murid yang menghormati gurunya menerima ilmu dengan hati lapang. Ia tidak hanya memahami teks, tetapi juga menyerap hikmah dan nilai di balik ilmu tersebut.
Rasulullah SAW menjadi guru terbaik bagi umatnya. Beliau mengajarkan ilmu dengan kelembutan, penuh kasih sayang, dan keteladanan. Para sahabat menghormatinya dengan sepenuh hati.
Allah berfirman:
“Janganlah kamu meninggikan suaramu di atas suara Nabi, dan janganlah kamu mengatakan kepadanya dengan suara keras seperti kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak terhapus amalanmu sedangkan kamu tidak menyadarinya.” (QS. Al-Hujurat: 2)
Para sahabat benar-benar menjaga adab ini. Mereka tidak berani meninggikan suara di hadapan Rasulullah. Bahkan menundukkan pandangan sebagai wujud penghormatan.
Sikap para sahabat ini menjadi teladan bagi kita. Jika mereka begitu menghormati Rasulullah sebagai guru agung, kita pun sepatutnya meneladani akhlak itu dalam kehidupan sehari-hari. Mengagungkan guru berarti kita mengikuti jejak para sahabat dalam menjaga adab.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
