SURAU.CO – Setiap tahun umat Islam di berbagai penjuru dunia memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Peringatan ini menjadi momentum untuk meneguhkan cinta kepada Rasulullah dan memahami pesan universal yang beliau bawa. Nabi Muhammad lahir pada saat dunia berada dalam kegelapan. Pada saat itu, banyak manusia yang kehilangan arah. Kekuasaan cenderung menindas dan kelompok lemah hidup tanpa perlindungan. Kehadiran Nabi Muhammad bagaikan cahaya yang menembus pekatnya malam. Beliau hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam, khususnya bagi kaum yang lemah dan tertindas.
Dunia Sebelum Kelahiran Nabi
Sejarah mencatat bahwa Jazirah Arab sebelum kelahiran Nabi diisi dengan tradisi jahiliyah. Perempuan dipandang hina, anak perempuan dianggap aib hingga banyak yang dikubur hidup-hidup, dan orang miskin sering dianggap sebagai beban. Keadilan sosial nyaris hilang, karena kelompok kuat menindas kelompok lemah tanpa belas kasihan.
Bangsa Arab kala itu hidup dalam sistem kesukuan yang keras. Perselisihan kecil bisa berubah menjadi peperangan panjang. Perdagangan hanya menguntungkan golongan tertentu, sementara rakyat jelata semakin terpinggirkan. Di luar Arab, kekuasaan besar seperti Romawi dan Persia juga menindas rakyat kecil. Masyarakat hidup dalam struktur sosial yang timpang, di mana kemuliaan hanya dimiliki oleh mereka yang lahir dari golongan bangsawan.
Dalam suasana seperti itu, manusia membutuhkan sosok pembawa perubahan. Dunia menantikan cahaya yang mampu memecah kegelapan. Maka Allah mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa risalah tauhid dan keadilan.
Allah berfirman:
“Dan tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya: 107)
Nabi sebagai Pembela Kaum Lemah
Sejak awal dakwah, Nabi Muhammad selalu berpihak kepada kelompok yang tertindas. Beliau membela hak-hak kaum miskin, perempuan, anak-anak, dan budak. Dakwah beliau menembus sekat-sekat sosial yang kaku.
Nabi menekankan bahwa semua manusia sama di hadapan Allah. Beliau menolak diskriminasi berdasarkan suku, warna kulit, ataupun status sosial. Dalam khutbah terakhirnya, Nabi menegaskan:
“Wahai manusia, sesungguhnya Tuhanmu adalah satu, dan sesungguhnya bapakmu adalah satu. Tidak ada kelebihan orang Arab atas orang non-Arab, dan tidak pula orang non-Arab atas orang Arab, tidak pula orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, dan tidak pula orang berkulit hitam atas orang berkulit merah, kecuali dengan takwa.” (HR.Ahmad)
Pernyataan ini menjadi revolusi besar bagi masyarakat yang terbiasa dengan sistem kasta dan kesukuan.
Selain itu, Nabi juga mengajarkan kasih sayang. Beliau mengingatkan agar umat memperhatikan anak yatim, menghormati hak tetangga, dan memperlakukan istri dengan baik. Beliau bahkan pernah menegur sahabat yang memarahi pelayan. Nabi bersabda:
“Barangsiapa tidak menyayangi, maka ia tidak akan disayangi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maulid sebagai Momentum Refleksi
Peringatan Maulid Nabi menjadi kesempatan bagi kita untuk memikirkan kembali teladan beliau. Kita tidak cukup hanya merayakannya dengan syair atau doa, tetapi juga harus menghadirkan ajaran Nabi dalam kehidupan nyata.
Di tengah kondisi sosial saat ini, banyak kelompok yang masih terpinggirkan. Buruh kecil sering tidak mendapat upah yang layak. Anak-anak miskin sulit mengakses pendidikan. Perempuan masih menjadi korban kekerasan. Para difabel sering terabaikan haknya. Semua ini mengingatkan kita bahwa cahaya Nabi harus terus dihidupkan.
Maulid memberi pesan bahwa umat Islam wajib melanjutkan perjuangan Nabi dalam membela yang lemah. Kita dipanggil untuk hadir di tengah masyarakat dengan memberi manfaat. Nabi bersabda:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad, Thabrani, Daruquthni)
Dengan meneladani sabda ini, peringatan Maulid menjadi lebih bermakna.
Relevansi Maulid bagi Indonesia
Di Indonesia, peringatan Maulid Nabi biasanya ditulis dengan pengajian, pembacaan shalawat, dan tradisi lokal yang beragam. Semua itu tentu baik, karena menunjukkan rasa cinta kepada Nabi. Namun, kita juga perlu memastikan bahwa semangat Maulid tidak berhenti pada acara seremonial.
Indonesia masih menghadapi banyak persoalan sosial. Ada kesenjangan ekonomi, ada kelompok minoritas yang sering terpinggirkan, ada pekerja yang belum mendapatkan hak yang layak, dan ada anak-anak yang harus putus sekolah karena kemiskinan. Semua ini memerlukan aksi nyata.
Semangat Maulid seharusnya mendorong kita untuk peduli pada mereka. Menolong tetangga yang kekurangan, mendampingi anak yatim, memperkuat perempuan korban kekerasan, serta memperjuangkan keadilan sosial adalah wujud nyata cinta kepada Nabi. Dengan demikian, Maulid benar-benar menjadi cahaya bagi kaum tertindas, sebagaimana misi yang dibawa Rasulullah.
Cinta Nabi, Cinta Kemanusiaan
Cinta kepada Nabi tidak hanya diwujudkan dengan lisan, tetapi juga dengan tindakan. Jika kita benar-benar mencintai Nabi, kita harus mencintai manusia sebagaimana beliau mencintai manusia. Nabi pernah berdoa dengan penuh kepedihan: “Ya Allah, umatku, umatku…” Kalimat itu menunjukkan betapa besar kasih beliau kepada manusia.
Ketika kita membela hak orang miskin, ketika kita membantu anak yatim, ketika kita memperjuangkan pendidikan yang adil, sebenarnya kita sedang meneladani Nabi. Inilah makna sejati dari peringatan Maulid: menghidupkan cinta Nabi dalam aksi nyata.
Cahaya Nabi tidak pernah padam. Ia terus bersinar bagi siapa saja yang mau meneladani. Tugas kita adalah menjaga agar cahaya itu tidak redup, dengan cara menghidupkan kembali ajaran Nabi, khususnya dalam membela kaum lemah. Dengan demikian, Maulid Nabi benar-benar menjadi cahaya bagi kaum tertindas, sekaligus pendorong lahirnya masyarakat yang adil, beradab, dan penuh kasih sayang.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
