Tamak adalah luka lama manusia. Ia bersemayam di hati, berbisik lirih namun kuat, membuat jiwa berlari tanpa pernah sampai. Kitab al-Tawbīkh karya Imam Ibn Hibbatillāh al-Makkī menggambarkan tamak sebagai sumur yang tak pernah terisi meski hujan turun deras. Betapa pun dunia dicurahkan, dahaga itu tetap membakar.
Dalam realitas Indonesia, tamak menjelma dalam wajah korupsi, kerakusan jabatan, dan keinginan menumpuk harta dengan melupakan tetangga lapar. Sebagaimana kata Jalaluddin Rumi, “Keserakahan adalah api yang memakan kayu, lalu mencari kayu lagi, sampai tak ada hutan tersisa.”
Nafsu yang Menyulut Bara
Imam Ibn Hibbatillāh al-Makkī menulis:
التَّمَسُّكُ بِالطَّمَعِ مَذَمَّةٌ فِي الدُّنْيَا وَمَهَانَةٌ فِي الْآخِرَةِ
“Bergantung pada tamak adalah kehinaan di dunia dan kerendahan di akhirat.”
Ayat Al-Qur’an memperkuatnya:
وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (الحشر: 9)
“Siapa yang dijaga dari sifat kikir dirinya, merekalah orang-orang beruntung.”
Betapa miripnya dengan kehidupan kita. Seorang teman berkata dalam percakapan sederhana:
“Aku ingin punya lebih banyak lagi.”
“Untuk apa? Bukankah cukup sudah?”
“Entahlah, aku hanya takut kekurangan.”
Dialog itu tak asing, bukan? Seperti suara dalam hati kita sendiri.
Dunia yang Selalu Menggoda
Al-Makkī mengingatkan:
مَنْ رَكَنَ إِلَى الدُّنْيَا فَقَدْ رَكَنَ إِلَى ظِلٍّ زَائِلٍ
“Siapa yang bersandar pada dunia, maka ia bersandar pada bayangan yang akan hilang.”
Bayangan itu indah di siang hari, tetapi lenyap saat malam tiba. Demikianlah dunia: tampak kokoh, padahal rapuh.
Di pasar-pasar kota, kita melihat ibu-ibu berdesakan demi diskon. Di layar berita, kita mendengar pejabat ditangkap karena suap. Dalam keluarga, ada pertengkaran warisan yang tak kunjung selesai. Semua itu berakar dari tamak, dari sumur yang menolak kenyang.
Riset psikologi modern menyebutkan bahwa orang yang selalu merasa kurang akan lebih rentan terhadap stres, kecemasan, dan depresi (lihat: Psychological Science, 2019). Tamak bukan hanya soal moral, tapi juga penyakit mental.
Saat Hati Lelah Mengejar
Al-Makkī menulis lagi:
مَنْ غَلَبَ عَلَيْهِ الطَّمَعُ أَعْمَى قَلْبَهُ عَنْ مَعْرِفَةِ الْحَقِّ
“Siapa yang dikuasai tamak, hatinya buta dari mengenal kebenaran.”
Betapa berbahaya, sebab ia menutup mata pada kebenaran, bahkan pada kasih sayang.
Tamak itu seperti air laut. Semakin diminum, semakin haus.
Hidup sederhana bukan berarti miskin, melainkan kaya dalam rasa cukup.
Orang yang paling kaya adalah yang merasa cukup.
Langkah Praktis
- Latih syukur harian: catat tiga hal kecil yang patut disyukuri setiap malam.
- Sedekah meski sedikit: melatih hati untuk melepas.
- Batasi keinginan: bedakan antara kebutuhan dan keinginan.
- Cari kebahagiaan non-materi: percakapan hangat, udara pagi, doa tenang.
Penutup
Tamak adalah sumur yang tak pernah penuh oleh hujan. Dunia bisa kita genggam, tapi jiwa tetap merasa kosong bila tak ada rasa cukup. Maka, mari kita isi hati dengan syukur, bukan dengan keinginan yang tak bertepi.
Semoga Allah menjaga kita dari sifat tamak dan menjadikan kita termasuk dalam doa Nabi ﷺ:
اللَّهُمَّ اجْعَلْ رِزْقَ آلِ مُحَمَّدٍ قُوتًا
“Ya Allah, jadikanlah rezeki keluarga Muhammad sekadar cukup untuk hidup.” (HR. Muslim)
Bukankah cukup itu adalah kekayaan terbesar?
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
