Ujub adalah penyakit hati yang sering tumbuh diam-diam, ibarat benih kecil yang tidak kita sadari. Dalam kitab al-Tawbīkh, Imam Ibn Hibbatillāh al-Makkī menegur keras orang yang merasa bangga terhadap amal ibadahnya. Ujub menyerupai pohon yang awalnya tampak indah, namun lambat laun menghasilkan buah pahit dan daun yang merontokkan kasih sayang.
Beliau menulis:
“العُجْبُ يُفْسِدُ العَمَلَ كَمَا يُفْسِدُ الخَلُّ العَسَلَ”
“Ujub merusak amal sebagaimana cuka merusak madu.”
Kata-kata ini menusuk hati, sebab amal yang seharusnya manis justru berubah getir ketika tercampur racun ujub.
Jejak Ujub dalam Kehidupan Modern
Di jalan-jalan kota Indonesia, fenomena ujub terlihat jelas. Banyak orang rajin berbagi kebaikan di media sosial, tetapi di balik itu hatinya diam-diam dipenuhi kebanggaan. Ia lupa bahwa amal hanyalah titipan dari Allah, bukan hasil mutlak dirinya. Oleh karena itu, semakin ia menyanjung diri, semakin tipis pula nilai amalnya.
Selain itu, dunia digital membuat panggung ujub semakin luas. Setiap unggahan kebaikan sering kali berubah menjadi ladang pengakuan. Pada akhirnya, amal yang seharusnya mengantarkan pada kerendahan hati justru menjebak dalam lingkaran pencitraan.
Ketika Hati Menyendiri di Tengah Keramaian
Seorang sahabat pernah bertanya, “Mengapa orang yang merasa hebat sering kali tampak kesepian?” Saya menjawab, “Karena ia membangun tembok dari keangkuhannya sendiri.”
Imam Ibn Hibbatillāh menegaskan:
“مَنْ رَأى فَضْلَ نَفْسِهِ حُجِبَ عَنْ نُورِ رَبِّهِ”
“Barangsiapa melihat keutamaannya sendiri, ia akan terhalang dari cahaya Tuhannya.”
Dengan demikian, ujub menutup pintu cahaya. Hati yang seharusnya lapang menjadi sempit. Orang yang ujub ingin dilihat, dipuji, dan diakui. Namun ironisnya, semakin ia mengejar perhatian, semakin asing ia merasa di tengah keramaian.
Al-Qur’an pun memberi peringatan tegas:
فَلَا تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ (النجم: 32)
“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui siapa yang bertakwa.”
Ayat ini menegaskan bahwa hanya Allah yang berhak menilai. Oleh sebab itu, siapa pun yang membanggakan diri sesungguhnya sedang menipu dirinya.
Dialog Sunyi di Dalam Hati
Bayangkan ada percakapan di dalam jiwa:
-
Hati: “Aku beribadah karena Allah.”
-
Ego: “Tapi aku lebih rajin dari orang lain.”
-
Hati: “Bukankah Allah yang memberi kekuatan itu?”
-
Ego: “Tetapi orang harus tahu aku berbeda.”
-
Hati: “Jika engkau mencari pengakuan manusia, untuk siapa ibadahmu?”
Dialog sederhana ini kerap terjadi di dalam diri kita.
Lebih jauh, Imam Ibn Hibbatillāh menulis peringatan lain:
“مَنْ أُعْجِبَ بِنَفْسِهِ أَضَاعَ أَخْوَانَهُ”
“Siapa yang terpesona dengan dirinya, ia akan kehilangan saudara-saudaranya.”
Artinya, ujub bukan hanya memutus cahaya, tetapi juga merobohkan jembatan persaudaraan. Ia menumbuhkan kesepian dan mengikis kehangatan.
Selain itu, temuan psikologi modern (Baumeister, 2013) memperkuat hal ini. Orang yang narsistik serta terlalu bangga pada dirinya biasanya memiliki hubungan sosial rapuh. Dengan kata lain, ilmu modern membenarkan apa yang ulama tasawuf tegaskan berabad-abad lalu.
Langkah Praktis Menjinakkan Ujub
Agar ujub tidak mengakar, kita bisa menempuh beberapa langkah praktis:
-
Ingat asal-usul: Kita berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah.
-
Renungi kelemahan: Sakit kecil saja mampu meruntuhkan seluruh kesombongan.
-
Syukuri pemberian Allah: Setiap amal hanyalah karunia, bukan prestasi murni pribadi.
-
Bergaul dengan orang sederhana: Hal ini menjaga hati agar tidak candu pujian.
-
Perbanyak doa: Mohon perlindungan dari sifat ujub yang halus merayap.
Dengan demikian, jangan pernah bangga pada pohon rindang bila akarnya rapuh. Jangan merasa paling terang bila sinar itu hanyalah pantulan. Semua cahaya sejati bersumber dari Allah.
Penutup
Rasulullah ﷺ bersabda:
ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ: شُحٌّ مُطَاعٌ، وَهَوًى مُتَّبَعٌ، وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ
“Tiga hal yang membinasakan: kikir yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan ujub seseorang terhadap dirinya sendiri.” (HR. al-Bayhaqī).
Semoga Allah membersihkan hati kita dari benih ujub yang tumbuh liar. Semoga kita tumbuh menjadi pohon rindang, bukan karena bangga pada diri, tetapi karena bernaung dalam kasih Allah.
“Ya Allah, jauhkanlah kami dari api ujub yang membakar hati. Jadikanlah amal kami murni karena-Mu, dan selamatkan kami dari kesepian yang lahir dari keangkuhan.”
Akhirnya, pertanyaan penting muncul: Apakah kita siap menanam benih kerendahan hati agar kelak menuai kehangatan persaudaraan, bukan kesepian yang lahir dari kebanggaan?
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
