SURAU.CO. Beberapa waktu yang lalu, demonstrasi besar-besaran terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia, hingga memakan korban nyawa sampai 10 orang meninggal. Demonstrasi ini adalah bentuk protes masyarakat terhadap berbagai kebijakan pemerintah dan DPR yang tidak menunjukkan keberpihakan kepada rakyat. Salah satu pemicunya adalah banyak statement dari para wakil rakyat yang melukai hati masyarakat dan budaya flexing oleh para pejabat ditengah ekonomi masyarakat yang sedang sulit.
Perkembangan teknologi digital telah melahirkan media sosial sebagai ruang interaksi baru manusia. Dengan media sosial, setiap orang bebas berekspresi. Orang-orang menggunakan media sosial untuk berkreatifitas dengan sebuah konten. Ada yang berbagi ilmu, memasarkan usaha, mempererat silaturahmi, atau sekadar berbagi keseharian. Namun, di balik manfaat itu, media sosial juga melahirkan tren yang menuai pro-kontra, salah satunya adalah fenomena flexing, yaitu kebiasaan memamerkan kekayaan, gaya hidup mewah, atau prestasi secara berlebihan.
Fenomena flexing sering kita temukan dalam unggahan selebriti atau pejabat dan keluarganya. Meski ada juga pengguna biasa yang mencoba mencari engagement dengan flexing. Mereka memamerkan mobil mewah, rumah megah, tas branded, hingga liburan ke luar negeri dengan tujuan mendapat pengakuan dan pujian.
Mirisnya banyak yang suka dengan konten flexing mereka, bahkan menjadi trending. Meski sekilas tampak wajar, sesungguhnya perilaku ini membawa dampak serius terhadap akhlak, sosial, dan spiritual. Islam sebagai agama yang sempurna tentu memberi rambu-rambu jelas tentang bagaimana seorang muslim seharusnya menyikapi fenomena tersebut.
Apa Itu Flexing dan Mengapa Terjadi?
Kata flexing berasal dari bahasa Inggris yang berarti “pamer”. Dalam kamus Cambridge, menjelaskan flexing sebagai memperlihatkan sesuatu yang dimiliki dengan cara yang dapat dianggap mengganggu orang lain. Dengan flexing seseorang menunjukkan sesuatu hal yang ia punyai secara teranga-terangan kepada orang lain, hanya untuk mendapatkan pengakuan.
Dalam perspektif ekonomi, flexing identik dengan konsumsi mencolok, melakukan pembelian barang mewah atau jasa mewah hanya untuk menampilkan status sosial, bukan kebutuhan. Namun , dalam kondisi tertentu flexing dapat memiliki nilai positif. Misalkan sebagai sarana promosi dalam bisnis. Dengan flexing tingkat ketertarikan calon konsumen dapat lebih tinggi, meski tidak jarang juga menjadi modus penipuan.
Banyak faktor yang mendorong seseorang melakukan flexing. Dunia media sosial membuat seseorang haus akan pengakuan, apakah dengan like, komen atau bahkan share ulang. Flexing memenuhi kebutuhan seseorang untuk eksis dan terlihat penting di mata orang lain. Ada juga orang yang melakukan flexing untuk menaikkan status sosial. Ingin disetarakan dengan kelompok elit atau mendapatkan pasangan yang dianggap mapan.
Flexing bersifat menular. Seseorang melakukan flexing karena terpengaruh oleh lingkungannya. Budaya hedonis dan materialistis menekan seseorang untuk tampil mewah. Atau flexing terjadi karena memang sifat pribadi seseorang. Seperti, narsisme, rendahnya empati, dan keinginan dipuji memperkuat dorongan seseorang untuk pamer.
Sosiolog Thorstein Veblen menyebut hal ini sebagai conspicuous consumption, yakni konsumsi barang mewah demi gengsi. Fenomena ini bukan sekadar gaya hidup, tetapi bentuk komunikasi simbolik untuk membangun citra diri.
Dampak Flexing terhadap Individu dan Masyarakat
Perilaku flexing membawa dampak yang kompleks, baik bagi pelaku maupun orang lain. Flexing mendorong gaya hidup boros. Demi menjaga citra kaya dan mendapat pengakuan, seseorang rela membeli barang yang tak sesuai kebutuhan. Padahal Allah dengan tegas memerintahkan bersedekah dan tidak menghambur-menghamburkan uang untuk hal yang tidak penting. Karena boros itu adalah saudara setan dan bentuk pengingkaran kepada-Nya
Allah berfirman, “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.
Tidak hanya sampai di situ, banyak orang yang memaksakan diri untuk tetap bisa flexing padahal tidak mampu. Tidak sedikit yang rela berhutang demi tampil mewah. Sebagian bahkan menipu demi membiayai gaya hidup semu. Hal ini jelas melanggar ajaran Islam yang menekankan kejujuran dan larangan menzalimi orang lain.
Orang yang sibuk memamerkan harta cenderung kurang peduli pada penderitaan orang lain. Ia sibuk dengan kekayaan dan segala embel-embelnya, hingga hilang empati sosial karena kebiasaan pamer. Padahal Nabi SAW bersabda, “Tidak beriman seseorang di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Budaya flexing di tengah ekonomi sulit juga dapat memicu kecemburuan sosial. Orang yang melihat bisa merasa iri, dengki, bahkan terdorong melakukan cara tidak halal demi meraih hal serupa. Atau lebih parah lagi terdorong untuk merusak atau menganiaya pelaku flexing.
Dengan demikian, flexing lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya, terutama dalam merusak tatanan akhlak dan hubungan sosial. Pada tingkat tertentu, budaya konsumtif berlebihan merupakan tanda golongan yang tidak kenal akan Tuhan, juga dikenal dengan sebutan israf (pemborosan) atau tadzir (membuang-buang kekayaan tetapi tidak memanfaatkannya). Islam mengajarkan model konsumtif serta pemakaian kekayaan yang rasional.
Flexing dalam Timbangan Hukum Islam
Zaman kenabian belum dikenal istilah flexing. Flexing adalah istilah kekinian yang dalam Islam lebih dikenal dengan perbuatan riya’. Dalam pandangan Islam, flexing erat kaitannya dengan dua penyakit hati yaitu riya’ (pamer demi pujian manusia) dan takabbur (sombong).
Riya adalah memperlihatkan amal atau nikmat dengan niat agar mendapatkan pujian. Demikian juga flexing, memperlihatkan nikmat berupa kekayaan untuk mendapatkan pujian dan pengakuan. Rasulullah SAW menyebut riya sebagai syirik kecil.
Beliau bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya, “Apakah syirik kecil itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Riya’.” (HR. Ahmad).
Pamer merupakan perbuatan tercela, berujung pada perbuatan sia-sia. Sesungguhnya tidak ada yang kita dapatkan dari sifat pamer. Apalagi dengan pamer menganggap diri lebih unggul dari orang lain. Pada akhirnya perbuatan pamer akan membuat kita meremehkan, menghina dan merendahkan orang lain. Sikap merasa lebih dari orang lain ini adalah sifat sombong.
Allah SWT berfirman, artinya : “Dan janganlah kamu memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan dimuka bumi dengan sombong. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan sombong”(QS Luqman: 18).
Dalam ayat lain, Allah juga menjelaskan, “Dan janganlah engkau berjalan di bumi dengan sombong. Sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mampu menjulang setinggi gunung.” (QS. Al-Isra : 37).
Rasulullah SAW juga bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan seberat biji zarrah.” (HR. Muslim).
Kesombongan seorang muslim bisa menjadi penghalang masuk surga. Seseorang yang hatinya mempunyai kesombongan walau seberat biji zarrah tidak mungkin masuk surga. Kesombongan yang paling buruk adalah sikap sombong yang menghalangi diri untuk menikmati manfaat ilmu, menerima kebenaran, dan mengikuti kebenaran. Dari sini jelas bahwa flexing, yang berakar pada riya dan takabbur, merupakan perbuatan tercela dan haram hukumnya.
Media Sosial, Pisau Bermata Dua
Media sosial sejatinya hanyalah alat. Ia bisa menjadi sarana dakwah, edukasi, dan silaturahmi, namun juga bisa berubah menjadi ajang riya dan kesombongan. Islam menganjurkan agar setiap ucapan, baik lisan maupun tulisan hendaknya membawa kebaikan.
Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Unggahan yang penuh flexing bukanlah “perkataan baik”. Sebaliknya, ia sering menimbulkan kerusakan moral dan sosial. Oleh sebab itu, umat Islam perlu mengelola media sosial dengan etika dan akhlak mulia.
Flexing hanyalah fenomena pamer yang berakar dari nafsu ingin diakui dan dipuji. Dalam Islam, perilaku ini tercela karena mengandung riya dan takabbur. Allah dan Rasul-Nya melarang keras sifat sombong, boros, dan riya, karena semuanya merusak hati dan hubungan sosial.
Solusi untuk menghadapi fenomena ini bukan sekadar menegur, melainkan juga menanamkan pendidikan karakter, menumbuhkan rasa syukur, dan mendidik generasi agar bijak menggunakan media sosial.
Sebaiknya seorang muslim menggunakan media sosial untuk kebaikan: menyebar ilmu, menebar inspirasi, dan memberi manfaat bagi sesama. Sebab Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad).
Dengan demikian, alih-alih pamer harta, marilah kita berlomba-lomba menampilkan akhlak mulia di dunia maya. Itulah flexing yang sejati di hadapan Allah SWT.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
