Opinion
Beranda » Berita » Lalai Itu Tidur Panjang: Dengarkan Kokok Ayam di Dalam Jiwamu

Lalai Itu Tidur Panjang: Dengarkan Kokok Ayam di Dalam Jiwamu

Lelaki tidur di ladang, ayam berkokok, cahaya pagi membangunkan jiwa
Ilustrasi jiwa yang tertidur dalam kelalaian, namun dibangunkan oleh cahaya dan kokok ayam sebagai simbol kesadaran spiritual.

Sejak paragraf pertama, mari kita renungi: lalai itu tidur panjang yang membuat manusia abai pada cahaya Tuhan. Imam Ibn Ḥibbatillāh al-Makkī dalam kitab al-Tawbīkh berulang kali menegur manusia agar bangun dari kelalaian. Dunia terlalu singkat untuk disia-siakan dengan hati yang tertidur. Dalam bahasa sufistik, lalai adalah gelapnya kabut yang membuat mata jiwa tak melihat arah pulang.

Beliau menulis:

الغفلة موت القلوب، ومن مات قلبه كان جسده قبراً له»
Kelalaian adalah kematian hati, dan siapa yang hatinya mati maka jasadnya menjadi kubur baginya.

Kalimat ini terdengar seperti kokok ayam di pagi buta, membangunkan kita dari tidur panjang yang menipu.

Jalan Hidup yang Penuh Kabut

Pagi itu, di sebuah kampung Jawa, saya duduk bersama seorang petani tua. Ia bercerita tentang anak-anak muda yang asyik dengan gawai, lupa mengolah sawah, lupa salat berjamaah. Ia menghela napas, lalu berkata:
“Orang sekarang seperti tertidur di siang bolong. Ayam sudah berkokok, tapi telinga mereka tuli.”

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Fenomena sosial ini nyata di Indonesia: kelalaian bukan hanya soal ibadah, tapi juga soal relasi manusia dengan alam, masyarakat, dan hati nurani. Padahal Al-Qur’an telah mengingatkan:

اقْتَرَبَ لِلنَّاسِ حِسَابُهُمْ وَهُمْ فِي غَفْلَةٍ مُعْرِضُونَ (الأنبياء: 1)
“Telah dekat kepada manusia hisabnya, sedang mereka dalam kelalaian lagi berpaling.”

Imam Ibn Ḥibbatillāh al-Makkī menggoreskan kalimat pedih:

«من نام قلبه لم تنفعه يقظة الجسد»
Barangsiapa hati nuraninya tidur, maka terjaga jasadnya pun tak akan bermanfaat.

Di kota-kota besar, banyak orang yang tubuhnya sibuk, tetapi hatinya kosong. Mereka mengejar karier, status, atau harta, namun jiwa tetap lapar. Penelitian psikologi modern bahkan menyebutkan bahwa burnout bukan hanya akibat kerja keras, tetapi karena hilangnya makna dalam kerja itu sendiri (Maslach & Leiter, 2016).

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Lalai berarti kehilangan makna. Seseorang bisa hadir dalam rapat, tersenyum di depan kamera, namun hatinya bagai tidur lelap.

“Apakah engkau mendengar?” tanya seorang guru sufi pada muridnya.
“Mendengar apa, Tuan?”
“Kokok ayam di dalam jiwamu. Ia membangunkanmu sebelum fajar akhir datang.”

Kokok ayam di sini bukan sekadar suara fisik, melainkan tanda hati yang masih hidup, meski dikepung kelalaian. Imam al-Makkī menulis:

«الغفلة حجاب بين العبد وربه، فإذا انكشف الحجاب أبصر الحق»
Kelalaian adalah tabir antara hamba dengan Tuhannya. Jika tabir itu tersingkap, ia akan melihat kebenaran.

Betapa sering hati kita terbungkus kabut. Namun kokok ayam jiwa selalu ada, berupa kegelisahan, rasa bersalah, atau air mata yang tiba-tiba jatuh saat mengingat dosa.

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Tanyakan pada dirimu setiap malam: hari ini aku sibuk untuk apa?

Jangan biarkan media sosial mencuri semua waktu heningmu.

Ingat doa Nabi ﷺ:

«اللهم اجعلني لك ذَكَّاراً، لك شَكَّاراً»
Ya Allah, jadikan aku banyak mengingat-Mu dan banyak bersyukur kepada-Mu.

Tidur Panjang yang Mengubur Cahaya

Imam Ibn Ḥibbatillāh al-Makkī memperingatkan:

«من استحلى الغفلة حُرِمَ لذة الطاعة»
Barangsiapa merasa manis dalam kelalaian, maka ia akan terhalang dari manisnya ketaatan.

Kata-kata ini menampar kita. Bukankah sering kita merasa betah berjam-jam berselancar di layar, tapi berat sekali mengangkat tangan untuk berdoa? Bukankah kita bisa menonton drama berjam-jam, namun letih membaca selembar Al-Qur’an?

Lalai itu candu. Ia tidur panjang yang terasa nyaman, tapi pelan-pelan mengubur cahaya iman.

Namun ada kabar gembira: tidur panjang ini bisa dipatahkan dengan kesadaran kecil. Seperti ayam berkokok, ia hanya perlu didengar, lalu diikuti. Mulailah dengan langkah sederhana—salat tepat waktu, membaca ayat meski hanya lima baris, menahan satu kata kasar yang ingin keluar.

Riset neurosains spiritual (Newberg & Waldman, 2018) menunjukkan, praktik spiritual harian yang konsisten mampu mengubah struktur otak, meningkatkan ketenangan, dan mengurangi stres. Artinya, setiap detik yang kita gunakan untuk zikir bukan hanya menyentuh akhirat, tapi juga menyehatkan diri di dunia.

Lalai adalah tidur panjang. Tetapi setiap hati masih punya ayam yang berkokok, memanggil kita untuk bangun. Jangan tunggu fajar terakhir baru tersadar.

Ya Allah, bangunkan hati kami sebelum Engkau bangunkan jasad kami di alam kubur. Jadikan kami hamba yang mendengar kokok ayam jiwa, lalu berlari menuju cahaya-Mu.

Dan kini, aku bertanya padamu: apakah engkau masih tertidur, ataukah sudah mendengar panggilan itu?

 

* Reza Andik Setiawan

Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement