SURAU.CO. Jejak digital atau rekam aktivitas daring berupa unggahan, komentar, pesan, maupun metadata terus tumbuh seiring dengan meningkatnya interaksi masyarakat di ruang maya. Setiap klik, pencarian, dan interaksi selalu meninggalkan catatan yang dapat diakses, diperbanyak, bahkan dipelintir. Oleh karena itu, ajaran Islam menawarkan pedoman moral yang jelas, sementara hukum negara menyediakan aturan dan mekanisme perlindungan hukum yang mengikat.
Jejak Digital dalam Perspektif Islam: Amanah, Tanggung Jawab, dan Kehati-hatian
Islam menekankan bahwa setiap kata dan perbuatan selalu berada dalam pengawasan. Allah berfirman dalam Surah Qāf ayat 18:
“Tiada suatu kata pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.”
Nabi Muhammad SAW juga bersabda:
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Karena itu, seorang Muslim harus menimbang dampak dari setiap kata, terutama ketika menulis di ruang digital.
Selain itu, Islam menuntut umat agar menjaga amanah informasi. Umat harus menahan diri dari menyebarkan fitnah, gosip, maupun kabar yang merugikan orang lain. Bahkan, hadis riwayat Muslim menegaskan:
“Cukuplah seseorang dianggap berdosa apabila ia menceritakan semua yang ia dengar.”
Dengan demikian, umat tidak boleh menyebarkan setiap kabar, apalagi yang belum jelas kebenarannya.
Di era digital, nasihat tersebut menjadi lebih mendesak. Setiap unggahan di media sosial dapat menyebar lebih cepat daripada ucapan lisan. Oleh karena itu, Muslim harus menggunakan media digital dengan niat membawa maslahat. Prinsip kehati-hatian yang digariskan Islam membantu umat agar tidak meninggalkan jejak digital yang justru menimbulkan mudarat.
Kerangka Hukum Indonesia: UU ITE, UU PDP, dan Hak untuk Dilupakan
Indonesia sudah mengatur ruang digital melalui Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ini mengatur komunikasi elektronik, transaksi daring, dan tindak pidana siber seperti pencemaran nama baik, ujaran kebencian, penipuan, hingga peretasan. Karena itu, UU ITE menjadi dasar bagi masyarakat untuk menuntut perlindungan hukum ketika mengalami kerugian akibat aktivitas digital.
Kemudian, revisi UU ITE pada 2016 memperkenalkan right to be forgotten atau hak untuk dilupakan. Ketentuan ini mewajibkan penyelenggara sistem elektronik menghapus informasi yang tidak relevan jika ada permintaan sah dari individu. Akan tetapi, mekanisme tersebut sering memerlukan penetapan pengadilan. Karena itu, prosesnya tidak selalu sederhana.
Selain UU ITE, Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) tahun 2022 memperkuat perlindungan individu. UU PDP memberikan hak akses, hak koreksi, hak pembatasan, hingga hak penghapusan data pribadi. UU ini juga mewajibkan pengendali data untuk menjaga keamanan informasi. Dengan demikian, warga negara dapat menuntut perlindungan lebih kuat terhadap data pribadi yang beredar di ruang digital.
Namun, penerapan UU PDP belum berjalan optimal. Pemerintah masih menyusun aturan turunan mengenai prosedur penghapusan, mekanisme pengaduan, dan standar keamanan. Tanpa aturan pelaksana, hak-hak warga sulit diwujudkan secara nyata. Oleh karena itu, percepatan regulasi pelaksana sangat diperlukan.
Peran Platform Digital dan Kewajiban Penyelenggara Sistem Elektronik
Platform digital memegang peran sentral dalam pengelolaan jejak digital. Media sosial, mesin pencari, serta aplikasi pesan menyimpan data pengguna, menyaring konten, dan menentukan algoritma penyebaran informasi. Karena itu, platform tidak hanya bertugas menyediakan layanan, tetapi juga mengatur arus informasi yang memengaruhi kehidupan publik.
Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik untuk menegaskan kewajiban platform. Aturan tersebut mengharuskan penyelenggara sistem elektronik menjaga kerahasiaan data, menyediakan mekanisme pengaduan, dan memastikan keamanan sistem. Selain itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mewajibkan semua platform mendaftar sebagai PSE agar pemerintah dapat melakukan pengawasan.
Praktik baik yang dituntut meliputi transparansi algoritma, laporan penghapusan konten, jalur pengaduan yang jelas, serta penerapan prinsip privacy by design. Tanpa transparansi, platform dapat menyalahgunakan data atau mengekang kebebasan berekspresi. Karena itu, kerja sama antara negara dan platform menjadi kunci penting untuk mengamankan ruang digital.
Tantangan Penegakan Hukum dan Potensi Penyalahgunaan
Walaupun perangkat hukum sudah tersedia, praktik penegakan menghadapi berbagai kendala. Beberapa pasal UU ITE, khususnya tentang pencemaran nama baik, sering dianggap multitafsir. Karena itu, pasal-pasal tersebut menimbulkan potensi kriminalisasi terhadap kritik dan kebebasan berekspresi. Berbagai kasus menunjukkan bahwa aparat pernah menggunakan UU ITE untuk menjerat aktivis atau jurnalis. Akibatnya, masyarakat menilai hukum digital justru dapat membungkam suara publik.
Selain itu, UU PDP juga menghadapi tantangan teknis. Banyak penyedia layanan menyimpan data pribadi masyarakat Indonesia di server luar negeri, sehingga masyarakat tidak selalu bisa menghapus data tersebut sepenuhnya. Karena itu, kerja sama internasional dan standar teknis yang lebih ketat menjadi kebutuhan mendesak.
Di sisi lain, literasi digital masyarakat masih rendah. Banyak orang belum memahami risiko mengunggah data pribadi atau membagikan tautan tanpa verifikasi. Karena itu, perlindungan hukum tidak cukup jika masyarakat sendiri tidak paham cara menjaga hak-haknya.
Literasi Digital dan Tanggung Jawab Bersama
Sekolah, perguruan tinggi, serta komunitas harus mengajarkan literasi digital sebagai bagian dari pendidikan. Dengan pendidikan yang terarah, masyarakat akan memahami keamanan siber, etika komunikasi, serta kesadaran hukum. Karena itu, literasi digital dapat menjadi benteng pertama melawan hoaks, ujaran kebencian, dan kejahatan daring.
Dalam Islam, literasi digital tidak hanya menyangkut aspek teknis, tetapi juga nilai moral. Prinsip amanah, larangan fitnah, serta kewajiban menimbang maslahat memberi pedoman etis bagi umat dalam menggunakan media digital. Dengan begitu, etika Islam dapat melengkapi literasi digital modern.
Individu dapat mengambil beberapa langkah konkret, seperti memverifikasi informasi sebelum membagikan, mengatur privasi akun, menggunakan autentikasi dua faktor, dan menyimpan bukti ketika mengalami kejahatan digital. Untuk platform, kewajiban mereka mencakup menyediakan jalur pengaduan yang cepat, menjaga data dengan enkripsi, serta membuka diri terhadap audit independen. Untuk negara, konsistensi penegakan hukum, harmonisasi regulasi, serta transparansi prosedur harus menjadi prioritas utama agar warga tetap percaya pada sistem hukum digital.
Artikel lainnya dari Vio Surau.co
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
