Khazanah
Beranda » Berita » Kewajiban Agama dan Aturan Negara tentang Zakat

Kewajiban Agama dan Aturan Negara tentang Zakat

Kewajiban Agama dan Aturan Negara tentang Zakat
Gambar AI, Sumber: gemini.google.com.

SURAU.CO. Zakat hadir sebagai kewajiban agama yang menyatukan nilai spiritual dan sosial. Sebagai rukun Islam keempat, zakat bukan hanya meneguhkan kepatuhan kepada Allah, tetapi juga mengikat solidaritas antarumat. Karena itu, zakat selalu menegaskan keterhubungan antara ibadah ritual dengan tanggung jawab sosial.

Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 43:

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.”

Selain itu, Allah menegaskan kembali dalam QS. At-Taubah ayat 103:

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…”

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Rasulullah SAW juga menegaskan kedudukan zakat melalui hadis sahih riwayat Bukhari dan Muslim:

“Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji, dan puasa Ramadan.”

Dengan demikian, zakat selalu berdiri sebagai kewajiban agama yang menuntut tata kelola agar manfaatnya benar-benar sampai kepada mustahik.

 

Aturan Negara tentang Zakat dan Tata Kelola Resmi

Negara Indonesia menempatkan zakat dalam kerangka hukum yang jelas. Melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, pemerintah menunjuk Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) sebagai pengelola utama. Selain itu, negara memberikan izin kepada Lembaga Amil Zakat (LAZ) agar sistem tetap terintegrasi.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Aturan negara tentang zakat menekankan prinsip akuntabilitas. Karena itu, lembaga zakat wajib melaksanakan audit, melaporkan keuangan, serta membuka informasi kepada publik. Dengan cara ini, masyarakat dapat mempercayakan zakatnya melalui jalur resmi.

Namun, regulasi tidak cukup hanya berbentuk hukum tertulis. Oleh sebab itu, lembaga zakat harus mengembangkan peran lebih luas. Jika zakat hanya berfungsi sebagai bantuan konsumtif, maka kemiskinan tidak akan berkurang secara signifikan. Sebaliknya, jika zakat berkembang menjadi program produktif seperti bantuan modal usaha atau pelatihan kerja, maka mustahik dapat memperoleh kemandirian.

 

Potensi dan Realisasi Zakat di Indonesia

Potensi zakat nasional menunjukkan angka yang sangat besar, tetapi realisasi penghimpunan masih jauh dari optimal.

  • Potensi zakat makro nasional mencapai sekitar Rp327 triliun per tahun. Namun, lembaga zakat baru berhasil menghimpun sekitar Rp33 triliun. Bahkan, BAZNAS hanya menargetkan Rp41 triliun pada 2024 dan Rp50 triliun pada 2025.
  • Potensi zakat fitrah 2025 mencapai Rp8 triliun, setara dengan 604 juta ton beras. Akan tetapi, realisasi yang masuk ke lembaga resmi hanya sekitar Rp631,77 miliar, atau kurang dari 10% potensi nasional.
  • Riset independen IDEAS juga memperkirakan potensi zakat fitrah sebesar Rp6,8 – Rp7,5 triliun, sehingga data tersebut mengonfirmasi potensi besar yang masih belum tergarap.

Dengan kata lain, kesenjangan antara potensi dan realisasi zakat masih sangat lebar. Oleh karena itu, negara, lembaga zakat, dan masyarakat harus bersinergi untuk menutup celah tersebut.

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

 

Praktik Zakat dan Kendala di Lapangan

Zakat selalu berfungsi ganda. Di satu sisi, zakat membantu mustahik secara konsumtif untuk memenuhi kebutuhan pokok. Di sisi lain, zakat berperan produktif melalui dukungan usaha kecil, pelatihan kerja, dan modal usaha.

Meskipun begitu, praktik zakat di lapangan masih menghadapi berbagai hambatan. Banyak muzakki tetap menyalurkan zakat langsung kepada mustahik tanpa melalui pencatatan resmi. Tradisi ini memang sesuai dengan kearifan lokal, tetapi sistem resmi kehilangan data yang valid. Akibatnya, potensi zakat nasional yang besar tidak pernah terkonsolidasi dengan maksimal.

Oleh karena itu, pemerintah mengajak ulama, tokoh agama, dan amil lokal agar bergabung dengan sistem resmi. Ulama memiliki kepercayaan masyarakat, sedangkan negara memiliki instrumen hukum. Jika keduanya bersatu, maka zakat akan berfungsi lebih efektif dalam mengurangi kesenjangan sosial.

 

Zakat di Era Modern dan Digitalisasi

Digitalisasi menghadirkan peluang besar dalam pengelolaan zakat. Saat ini, umat dapat menunaikan zakat melalui transfer bank, dompet digital, hingga aplikasi resmi. Dengan cara ini, penghimpunan berlangsung lebih cepat, transparan, dan akuntabel.

Selain itu, integrasi data zakat dengan program sosial negara membuat distribusi lebih tepat sasaran. Mustahik yang tercatat dalam program bantuan sosial juga dapat menerima manfaat zakat. Karena itu, zakat dapat berfungsi sebagai bagian dari strategi pengentasan kemiskinan nasional.

Namun, modernisasi tidak boleh mengurangi pemahaman syariat. Muzakki tetap perlu memahami nisab, haul, dan ketentuan zakat agar ibadah tidak berubah menjadi sekadar formalitas administratif. Oleh sebab itu, dakwah dan pendidikan zakat harus berjalan seiring dengan inovasi digital.

Artikel lainnya dari Vio Surau.co


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement