Opinion
Beranda » Berita » Kemarahan: Mengelola Api dalam

Kemarahan: Mengelola Api dalam

Ilustrasi filosofis pengendalian kemarahan, api berubah jadi cahaya.
Ilustrasi perjalanan spiritual dalam mengendalikan amarah, dari api yang membakar menjadi cahaya yang menenangkan.

Ada api kecil yang bersemayam di dada manusia. Api itu bisa menghangatkan, namun juga bisa membakar. Ia bernama kemarahan. Dalam kehidupan kita sehari-hari, terutama di tengah hiruk pikuk sosial Indonesia yang kerap memancing emosi—dari jalanan macet hingga perdebatan politik—kemarahan hadir sebagai ujian spiritual. Imam al-Ghazālī dalam al-Arba‘īn fī Uṣūl al-Dīn mengingatkan bahwa kemarahan adalah bagian dari sifat jiwa yang harus dikenali, dikendalikan, dan diarahkan.

Api yang Menyala dalam Jiwa

Kemarahan bukan sekadar luapan perasaan. Ia adalah energi yang jika tidak terkendali dapat melahirkan kebencian, kekerasan, bahkan perpecahan. Imam al-Ghazālī menulis:

“الغَضَبُ جَندٌ مِن جُنودِ القَلبِ، إن أُطلِقَ هَدَمَ، وإن ضُبِطَ بَنَى”
“Kemarahan adalah pasukan dari pasukan hati. Jika dilepaskan, ia meruntuhkan; jika dikendalikan, ia membangun.”

Di Indonesia, kita sering melihat bagaimana amarah yang meledak bisa merusak tatanan sosial. Dari tawuran antar-pelajar hingga ujaran kebencian di media sosial. Tetapi di sisi lain, kemarahan yang terkendali dapat menjadi dorongan untuk menegakkan keadilan, membela yang lemah, atau memperjuangkan kebenaran.

Gelombang di Tengah Laut Hati

Hati manusia ibarat lautan. Kadang tenang, kadang bergelombang. Kemarahan adalah badai yang muncul tiba-tiba. Dalam hadis Rasulullah ﷺ disebutkan:

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِندَ الْغَضَبِ
“Orang kuat bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang kuat adalah yang mampu menahan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kutipan ini menyentuh kita di masa kini. Betapa sering kita melihat orang yang tampak gagah secara fisik, tetapi rapuh ketika disulut sedikit saja. Sebaliknya, mereka yang sanggup menahan diri di kala emosi—meski tanpa suara—adalah pejuang sejati.

Seorang sahabat pernah berkata kepada saya saat kami terjebak macet di Jakarta:

Sahabat: “Kalau marah itu wajar, tapi kenapa kadang setelah marah hati justru makin kosong?”
Saya: “Karena marah yang tak terarah hanya meninggalkan puing. Sedang marah yang dijaga bisa jadi api tungku untuk menghangatkan.”

Dialog sederhana ini mengingatkan saya pada ungkapan al-Ghazālī:

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

“الغَضَبُ إن استَولى أعمى البَصيرةَ وأخرَجَ العَقلَ مِن مَلكِهِ”
“Jika kemarahan menguasai, ia membutakan pandangan batin dan mengusir akal dari tahtanya.”

Maka, pengendalian amarah bukan hanya persoalan sosial, tapi juga spiritual.

Kemarahan sebagai Jalan Didikan

Dalam realitas sosial Indonesia, kita bisa belajar dari banyak kisah. Seorang pedagang kaki lima yang sabar saat dagangannya digusur, seorang ibu yang tetap lembut meski anaknya membantah, seorang guru yang menahan diri walau muridnya sulit diatur. Mereka bukan tanpa amarah, tetapi mereka memilih menjadikannya sekolah jiwa.

Al-Qur’an pun menyinggung tentang orang yang mampu menahan marah:

وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain; Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Āli ‘Imrān: 134)

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Ayat ini tidak hanya indah, tetapi juga aplikatif. Menahan amarah bukan berarti memendam luka, melainkan mengubah energi destruktif menjadi jalan pengampunan dan kebaikan.

Kemarahan adalah api. Jika diarahkan, ia menjadi cahaya; jika dibiarkan, ia membakar.

Langkah Praktis Mengelola Kemarahan

  1. Ambil jeda sejenak. Diam bukan berarti kalah, tapi strategi agar api padam.
  2. Berwudhu. Air adalah sahabat api. Rasulullah ﷺ menganjurkan wudhu saat marah.
  3. Ubah posisi. Jika berdiri maka duduk, jika duduk maka berbaring.
  4. Ingat Allah. Zikir adalah air hujan yang menyejukkan hati.
  5. Alihkan energi. Tulis, berjalan, atau lakukan aktivitas yang menyalurkan rasa tanpa melukai.

Api yang Berubah Jadi Cahaya

Imam al-Ghazālī menutup salah satu penjelasannya dengan kalimat yang indah:

“مَن غَلَبَ غَضَبَهُ فَقَد غَلَبَ أعدى أعدائِه”
“Siapa yang mampu mengalahkan amarahnya, maka ia telah mengalahkan musuh terbesarnya.”

Di tengah kehidupan modern yang sarat pemicu emosi—dari komentar pedas di media sosial hingga tekanan hidup yang menyesakkan—pesan ini begitu relevan. Kita diajak untuk menjadikan kemarahan bukan sebagai musuh, melainkan sebagai guru.

Kemarahan adalah api. Kita bisa membiarkannya membakar, atau menjadikannya tungku yang menghangatkan. Saat api itu dikendalikan, ia berubah menjadi cahaya yang menerangi diri dan sekitar. Semoga Allah memberi kita kekuatan untuk menahan amarah, menyalurkannya dengan bijak, dan menjadikannya jalan menuju kedamaian.

“Ya Allah, jadikanlah hati kami teduh, dan padamkan api kemarahan yang bisa merusak diri dan sesama. Amin.”

 

* Sugianto al-jawi

Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement