Iri hati sering hadir diam-diam, seperti api kecil di bawah jerami. Di Indonesia, kita sering mendengar ungkapan, “Rumput tetangga selalu tampak lebih hijau.” Fenomena sosial ini nyata: ketika tetangga membeli motor baru, hati terasa sesak; saat teman seangkatan menikah lebih dulu, muncul rasa tertinggal. Padahal, iri hati justru mencuri kebahagiaan yang kita miliki.
Imam al-Ghazālī dalam al-Arba‘īn fī Uṣūl al-Dīn menyebut iri hati sebagai salah satu penyakit hati yang paling merusak. Ia bukan sekadar perasaan, melainkan api yang membakar amal dan merusak hubungan.
Api yang Membakar dari Dalam
Iri hati adalah racun yang tidak hanya merusak jiwa, tetapi juga merusak hubungan sosial. Imam al-Ghazālī menulis:
الْحَسَدُ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ
“Iri hati memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.”
Betapa jelas bahwa iri bukan sekadar dosa batin, tetapi juga penyebab hilangnya pahala. Dalam masyarakat kita, iri hati sering menimbulkan fitnah, permusuhan, bahkan perpecahan keluarga.
Al-Qur’an menegaskan:
أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَىٰ مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ (النساء: ٥٤)
“Ataukah mereka dengki kepada manusia lantaran karunia yang Allah berikan kepada mereka?” (QS. An-Nisa: 54)
Ayat ini mengingatkan, semua rezeki adalah bagian dari kehendak Allah. Maka mengapa hati kita gelisah melihat orang lain mendapatkannya?
Seorang kawan bercerita:
“Ketika aku melihat teman lama sukses di Jakarta, hatiku panas. Padahal aku tidak kekurangan apa-apa. Lalu aku sadar, yang membuatku sakit bukan keberhasilannya, tapi hatiku yang sempit.”
Imam al-Ghazālī menyebut akar iri hati adalah kelemahan jiwa:
أَصْلُ الْحَسَدِ ضَعْفُ النَّفْسِ وَعَدَمُ الرِّضَا بِقَضَاءِ اللَّهِ
“Akar iri hati adalah lemahnya jiwa dan ketidakridhaan terhadap ketetapan Allah.”
Iri hati menutup pintu syukur. Padahal, rasa syukur adalah kunci kebahagiaan.
Jalan Menuju Rasa Syukur
Rasulullah ﷺ bersabda:
انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ
“Lihatlah orang yang berada di bawah kalian, dan jangan melihat orang yang di atas kalian, karena itu lebih pantas agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah.” (HR. Muslim)
Hadits ini adalah obat bagi hati yang iri. Dengan melihat yang lebih sederhana, kita belajar bersyukur.
Imam al-Ghazālī menulis:
مَنْ عَرَفَ نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْهِ اسْتَحْيَا أَنْ يَغْفُلَ عَنْ شُكْرِهَا
“Siapa yang mengenali nikmat Allah atas dirinya, ia akan malu untuk lalai dari mensyukurinya.”
Syukur bukan sekadar ucapan alhamdulillah, melainkan juga sikap menerima, berbagi, dan merendahkan hati.
Belajar dari Wajah-wajah Sederhana
Di kampung-kampung Indonesia, kita masih melihat banyak orang yang hidup dengan kesederhanaan, namun wajahnya berseri. Seorang pedagang gorengan yang tetap tersenyum meski dagangannya hanya laku sedikit, atau petani yang pulang dengan panen seadanya namun tetap mengucap syukur.
Mereka mengajarkan kita: kekayaan bukan di dompet, tetapi di hati yang lapang.
Apakah aku sering merasa sakit hati ketika orang lain mendapat nikmat? Sudahkah aku menghitung nikmat kecil yang sering terabaikan? Maukah aku mendoakan kebaikan untuk orang yang lebih beruntung dariku?
Psikolog Robert Emmons dari University of California meneliti bahwa orang yang membiasakan diri menulis tiga hal yang disyukuri setiap hari, memiliki tingkat kebahagiaan 25% lebih tinggi dan lebih jarang mengalami depresi.
Artinya, syukur bukan hanya ajaran agama, tapi juga kebutuhan psikologis. Imam al-Ghazālī jauh-jauh hari telah menekankan hal ini.
Membuka Hati, Menutup Luka Iri
Menghilangkan iri hati memang tidak mudah. Tapi ada jalan: mengenal kelemahan diri, ridha dengan ketentuan Allah, dan mendoakan kebaikan untuk orang lain.
Seorang murid pernah bertanya pada gurunya:
“Mengapa hatiku sakit ketika orang lain bahagia?”
Sang guru menjawab lembut:
“Karena kau belum belajar melihat kebahagiaan orang lain sebagai cermin cintamu pada Allah.”
Ya Allah, jauhkan kami dari iri hati yang membakar hati dan amal. Ajari kami bersyukur atas sedikit maupun banyak, agar hati kami lapang menerima ketetapan-Mu.
Apakah hari ini kita siap mengganti iri dengan doa, dan kekurangan dengan rasa syukur?
* Reza Andik Setiawan
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
