SURAU.CO – Sayyidah Zainab binti Ali bin Abi Thalib adalah cucu Rasulullah Saw, putri dari pasangan mulia Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra. Ia tampil sebagai tokoh perempuan yang mewarisi kecerdasan, keberanian, dan keteguhan iman dari keluarga agung Ahlul Bait. Peran besar yang ia mainkan dalam peristiwa Karbala menjadikan sosok perempuan pertama dalam Islam yang tampil sebagai “politisi” dalam arti luas: ia menyuarakan kebenaran di hadapan penguasa zalim, membela hak rakyat tertindas, sekaligus menggerakkan opini umat dengan kata-kata yang berani.
Latar Belakang Kelahiran dan Lingkungan Keluarga
Sayyidah Zainab lahir pada tahun ke-6 Hijriah atau 626 Masehi di Madinah. Ia tumbuh sebagai anak ketiga dari pasangan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra, putri kesayangan Nabi Muhammad Saw. Kakaknya, Hasan dan Husain, dua tokoh uyang menjadi pemimpin umat dan simbol perjuangan Islam. oleh karena itu, Sejak kecil Zainab tumbuh dalam lingkungan keluarga yang penuh teladan akhlak, ilmu, dan ketakwaan.
Ali bin Abi Thalib, ayahnya, terkenal sebagai “pintu ilmu” dari kota pengetahuan Nabi. Rasulullah bersabda, “Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah pintunya.” Zainab mewarisi kecerdasan ayahnya. Sejak kecil ia gemar belajar, tekun menghafal, dan mendalami ajaran agama.
Julukan Aqilah Bani Hasyim
Masyarakat luas mengakui kecerdasan Sayyidah Zainab. Mereka memberinya julukan “Aqilah Bani Hasyim”, yang berarti perempuan cerdas dari kabilah Bani Hasyim. Pemikirannya cemerlang, pandangan tajam, dan tutur kata penuh wibawa.
Bahkan Ali bin Abi Thalib, maupun ibunya, Fatimah, sering meminta pendapat Zainab ketika menghadapi masalah sulit. Hal ini menunjukkan bahwa mereka mengakui kedudukan intelektualnya yang tinggi di tengah keluarga yang sarat dengan tokoh besar Islam.
Selain kecerdasannya, Zainab juga dikenal rajin ibadah, sabar dan tegar menghadapi ujian hidup. Karakter inilah yang menjadikannya sebagai pemimpin rohani sekaligus moral bagi kaum perempuan dan umat Islam.
Perjalanan ke Karbala
Puncak peran politik dan kepemimpinan Sayyidah Zainab tampak jelas dalam tragedi Karbala. Pada tahun 61 H, ia mendampingi saudaranya, Imam Husain bin Ali, dalam perjalanan menuju Kufah, Irak. Rombongan Husain berangkat untuk memenuhi undangan sebagian penduduk Kufah yang meminta beliau memimpin mereka melawan rezim Yazid bin Mu’awiyah.
Namun, ribuan pasukan Yazid menghadang mereka di padang Karbala. Pertempuran yang tidak seimbang pun terjadi. Zainab menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Imam Husain beserta keluarga dan pengikutnya dibantai dengan kejam.
Sebagai perempuan, Zainab menghadapi cobaan ini dengan hati yang kuat. Ia tidak larut dalam kesedihan semata. Ia segera mengambil tindakan: menjaga anak-anak yatim dan perempuan yang tersisa, menenangkan mereka, sekaligus menyiapkan keberanian untuk menghadapi konsekuensi berikutnya—ditawan dan digiring ke hadapan penguasa.
Zainab sebagai Politisi Pertama
Politik bukan hanya perebutan kekuasaan, tetapi juga seni mewakili aspirasi rakyat dan memperjuangkan keadilan. Dalam pengertian inilah, peran Zainab layak disebut sebagai politisi muslim perempuan pertama.
Setelah tragedi Karbala, para tentara Yazid menawan Zainab dan membawanya ke Kufah, lalu ke Damaskus, pusat pemerintahan Yazid. Di sana, dia tidak tinggal diam. Dengan keberaniannya yang luar biasa, ia berdiri di hadapan penguasa zalim dan menyampaikan pidato yang menggetarkan hati para pendengar.
Ia melontarkan kata-kata tegas, penuh keyakinan, dan tanpa rasa takut. Ia mengecam kebrutalan pasukan Yazid, menyingkapkan sejarah kekuasaan, serta membela kehormatan keluarga yang mereka bantai. Sejarah mencatat orasi Zainab di hadapan Yazid sebagai titik balik yang membuka mata umat tentang siapa yang benar dan siapa yang zalim.
Pada momen itu, Zainab tampil sebagai juru bicara umat, menantang kekuasaan, dan memainkan peran politik yang sangat menentukan. Suaranya menjadi senjata yang lebih tajam dari pedang, menggugah hati rakyat untuk menolak kezaliman.
Keteladanan Keberanian dan Kecerdasan
Peran Sayyidah Zainab sebagai politisi pertama menghadirkan banyak pelajaran berharga. Pertama, ia menunjukkan bahwa perempuan memegang peran strategis dalam kehidupan sosial dan politik umat. Keberanian Zainab menolak diam di hadapan tirani yang menginspirasi generasi berikutnya.
Kedua, ia mengajarkan pentingnya kecerdasan dan keteguhan iman. Zainab tidak hanya berani berbicara, tetapi juga mampu menyusun argumentasi yang kuat, menyentuh hati, dan menggugah kesadaran masyarakat. Julukan Aqilah Bani Hasyim menjadi bukti nyata kualitas intelektualnya.
Ketiga, ia memnberi teladan tentang moral. Di tengah tragedi dan kehancuran, Zainab tetap menopang semangat keluarga dan masyarakat. Ia mengajarkan bahwa politik sejati berarti perjuangan untuk menegakkan kebenaran, bukan sekedar perebutan tahta.
Warisan dan Relevansi Kini
Hingga kini, umat Islam di berbagai belahan dunia mengenang nama Sayyidah Zainab dengan penuh hormat. Para ulama menulis tentang keberaniannya, para penyair memuji keteguhannya, dan para perempuan muslim menjadi teladan perjuangan.
Relevansi teladan Zainab terasa kuat dalam perjuangan melawan ketidakadilan. Ia mengingatkan setiap muslim, laki-laki maupun perempuan, untuk berdiri di pihak kebenaran meski harus menghadapi risiko besar.
Sayyidah Zainab al-Kubra hadir sebagai cahaya keberanian dan kecerdasan. Sebagai Saksi tragedi Karbala, ia tampil sebagai pelopor politik perempuan dengan pidato lantang melawan kezaliman Yazid.
Warisan perjuangannya melampaui zamannya. Ia bukan hanya pahlawan keluarga Ahlul Bait, tetapi juga ikon perlawanan kebejatan moral dan ketidak adilan politik yang tetap relevan sepanjang masa. Dari Zainab kita belajar bahwa politik sejati menuntut keberanian untuk menegakkan kebenaran dan membela yang tertindas.
(heni: Dikutip dari berbagai sumber)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
