Ada kalimat kunci dalam kitab Qūt al-Qulūb karya Abu Thalib al-Makki: nafsu itu ibarat anjing liar yang lapar, jika dibiarkan bebas ia menggigit siapa saja, tetapi bila dijinakkan dengan kasih dan zikir, ia bisa menjadi penjaga setia. Frasa “nafsu itu anjing liar” bukan sekadar metafora, tetapi cermin dari perjalanan manusia yang sering terseret pada keinginan-keinginan tanpa kendali.
Abu Thalib al-Makki (w. 996 M) adalah seorang sufi besar dari Makkah yang menulis Qūt al-Qulūb fī Mu‘āmalat al-Maḥbūb, kitab monumental yang menguraikan tentang hati, akhlak, dan jalan menuju Allah. Ia hidup dalam suasana transisi peradaban Islam yang penuh tantangan moral. Dari pengalamannya, ia menulis dengan penuh kelembutan, namun juga ketegasan: manusia hanya akan selamat bila mampu menundukkan hawa nafsu dengan cinta dan ibadah.
Bayangan Nafsu di Jalan Kota
Di kota-kota Indonesia hari ini, kita bisa melihat nafsu dalam bentuk yang nyata: papan reklame yang menjanjikan kebahagiaan instan, kompetisi sosial yang membuat orang terengah, atau ambisi politik yang melupakan nurani.
Seorang teman pernah berkata dalam sebuah obrolan malam:
“Aku capek, setiap hari mengejar uang, tapi rasanya seperti mengejar bayangan. Nafsu selalu bilang ‘kurang’, padahal aku sudah punya banyak.”
Saya tersenyum getir. Bukankah itu cermin kita semua? Nafsu tak pernah puas, ia selalu menuntut lebih.
Bisikan Kitab Para Kekasih Allah
Abu Thalib al-Makki menulis dengan bahasa yang sederhana namun tajam:
النَّفْسُ أَعْدَى عَدُوِّكَ إِلَيْكَ، فَإِنْ غَفَلْتَ عَنْهَا أَرْدَتْكَ، وَإِنْ أَطَعْتَهَا أَهْلَكَتْكَ
“Nafsu adalah musuh terdekatmu; jika engkau lengah, ia akan menjerumuskanmu, dan jika engkau menaatinya, ia akan membinasakanmu.”
Kata-kata ini seperti cahaya yang menyulut kesadaran. Musuh yang paling dekat bukanlah orang lain, melainkan bisikan dalam diri sendiri.
Nafsu dan Luka Sosial di Negeri Ini
Fenomena sosial di Indonesia sering menunjukkan bagaimana nafsu bisa melahirkan luka. Korupsi lahir dari kerakusan, persaingan politik yang kotor lahir dari ambisi, bahkan kerusakan lingkungan lahir dari keserakahan eksploitasi alam.
Al-Qur’an mengingatkan:
إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي
“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (QS. Yusuf: 53)
Ayat ini mengajarkan: rahmat Allah adalah satu-satunya penjinak sejati bagi nafsu.
Menariknya, Abu Thalib al-Makki tidak hanya menyarankan “keras” pada nafsu, tetapi juga kasih sayang.
النَّفْسُ كَالْكَلْبِ، إِنْ أَهْمَلْتَهُ عَقَرَكَ، وَإِنْ أَدَّبْتَهُ حَفِظَكَ
“Nafsu itu seperti anjing; jika engkau abaikan, ia akan menggigitmu, tetapi bila engkau didik, ia akan menjagamu.”
Betapa indah perumpamaan ini. Kita tidak diminta membunuh nafsu, melainkan mendidiknya. Nafsu bisa diarahkan: lapar menjadi puasa, cinta menjadi kasih, ambisi menjadi amal.
- Nafsu tanpa arah = api yang membakar.
- Nafsu terdidik = cahaya yang menghangatkan.
- Nafsu jinak = kuda tunggangan menuju Allah.
Zikir sebagai Untaian Tali
Dalam Qūt al-Qulūb, Abu Thalib menulis:
مَنْ شَغَلَ نَفْسَهُ بِذِكْرِ اللَّهِ، أَمِنَ مِنْ وَسْوَسَتِهَا
“Barang siapa menyibukkan nafsunya dengan zikir kepada Allah, ia akan selamat dari bisikan jahatnya.”
Di sinilah rahasia ketenangan hati. Zikir bukan sekadar ritual, tetapi terapi jiwa. Seperti air yang menyejukkan api, zikir melunakkan amukan nafsu.
Langkah Praktis Menjinakkan Nafsu
Puasa Sunnah: Mengurangi kerakusan tubuh sekaligus membersihkan hati.
- Zikir Harian: Minimal istighfar dan tasbih setiap pagi dan malam.
- Sedekah Kecil: Melatih diri agar tidak terikat pada harta.
- Muraqabah (introspeksi): Catat bisikan hati setiap malam, lalu tanyakan: “Apakah ini dari Allah atau dari nafsu?”
- Lingkaran Sahabat Baik: Nafsu melemah ketika jiwa dikuatkan komunitas yang shalih.
Cahaya Harapan di Tengah Gelap
Kita mungkin pernah kalah dari nafsu, terjatuh, dan merasa kotor. Namun, jangan lupa: Allah membuka pintu taubat seluas samudera.
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ
“Katakanlah: Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah.” (QS. Az-Zumar: 53)
Apabila nafsu itu anjing liar, maka rahmat Allah adalah tangan lembut yang mampu menuntunnya masuk ke dalam taman.
Ya Allah, jinakkanlah nafsu kami dengan kasih-Mu, lembutkanlah hatiku dengan zikir-Mu, dan jadikanlah keinginanku jalan menuju-Mu.
Bukankah hidup hanyalah perjalanan singkat? Maka pertanyaan yang layak kita renungkan: Apakah kita berjalan bersama cahaya atau digiring oleh anjing liar yang bernama nafsu?
* Reza Andik Setiawan
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
