Pendahuluan
Setiap manusia mendambakan kebahagiaan batin yang sejati. Namun, kebahagiaan itu tidak selalu identik dengan harta berlimpah, popularitas, atau kenyamanan duniawi. Rasulullah ﷺ pernah mengajarkan bahwa ada rasa manis yang jauh lebih bernilai dari segala kenikmatan dunia, yaitu halawatul iman—manisnya iman. Rasa cinta karena Allah dan manisnya iman hanya bisa diraih bila seorang mukmin memenuhi tiga syarat yang dijelaskan dalam hadits shahih riwayat al-Bukhari dan Muslim.
Di tengah derasnya arus kehidupan modern, tema tentang cinta karena Allah dan manisnya iman kembali relevan. Banyak orang mencari ketenangan batin melalui berbagai jalan: karier, hiburan, atau bahkan spiritualitas instan. Hadits tentang manisnya iman menawarkan jalan yang lebih dalam dan abadi.
Matan dan Terjemahan Hadits
Rasulullah ﷺ bersabda:
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ الْإِيْمَانِ: أَنْ يَكُوْنَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْأَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
Artinya:
Tiga perkara, barangsiapa ada pada dirinya ketiganya, maka ia akan merasakan manisnya iman: (1) Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya, (2) mencintai seseorang hanya karena Allah, (3) dan membenci kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya darinya, sebagaimana ia benci dilemparkan ke dalam api. (HR. al-Bukhari no. 16, Muslim no. 43)
Kedudukan Hadits dalam Ilmu Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh dua kitab hadits paling shahih, yaitu Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, sehingga masuk kategori muttafaq ‘alaih. Artinya, kebenarannya diakui secara ijma‘ oleh para ulama¹. Dalam tradisi ilmu hadits, status ini menandakan hadits tersebut sangat kuat, menjadi dasar hukum, sekaligus pedoman moral bagi umat Islam.
Penjelasan Ulama Klasik
Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa “manisnya iman” adalah kenikmatan yang dirasakan hati saat seorang hamba beribadah dengan ikhlas, tanpa merasa terbebani².
Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bari menegaskan bahwa kecintaan kepada Allah dan Rasul harus melebihi cinta kepada keluarga, harta, atau bahkan diri sendiri³.
al-Qurtubi menambahkan, mencintai seseorang karena Allah berarti menjalin persahabatan atau hubungan tanpa pamrih duniawi⁴.
Adapun “membenci kembali kepada kufur” ditafsirkan oleh ulama sebagai bentuk kewaspadaan spiritual. Seorang mukmin sejati akan merasa ngeri jika harus kembali pada kekafiran, sebagaimana ia takut diseret ke dalam api yang membakar.
Tafsir Ulama Kontemporer
Ulama modern juga memberi penjelasan yang relevan dengan konteks kekinian.
Syekh Yusuf al-Qaradawi menyebutkan bahwa manisnya iman bukan sekadar perasaan rohaniah, tetapi harus membuahkan akhlak sosial. Jika seseorang mencintai Allah dan Rasul-Nya, maka perilaku sehari-harinya akan dipenuhi kasih sayang, kejujuran, dan tanggung jawab⁵.
Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar menggambarkan iman yang manis sebagai kondisi hati yang bebas dari ikatan dunia. Menurut beliau, ketika hati hanya terpaut pada Allah, segala ibadah akan terasa nikmat, bukan beban⁶.
KH. Quraish Shihab menekankan dimensi cinta karena Allah. Menurut beliau, ukhuwah Islamiyah hanya akan bertahan jika landasannya murni lillah. Persahabatan yang dibangun di atas kepentingan dunia akan rapuh, sementara yang dibangun karena Allah akan abadi hingga akhirat⁷.
Relevansi di Era Modern
Hadits ini terasa semakin penting di zaman sekarang, di mana kehidupan sering dipenuhi oleh pencarian cepat akan kebahagiaan.
-
Cinta karena Allah
Dalam era media sosial, banyak hubungan dibangun di atas kepentingan popularitas, citra, atau keuntungan. Namun, cinta karena Allah mengajarkan ketulusan. Seorang sahabat sejati adalah yang tetap bersama meski tidak ada keuntungan duniawi. -
Mencintai Allah dan Rasul lebih dari dunia
Modernitas sering menempatkan manusia dalam dilema: memilih kesetiaan pada nilai spiritual atau tergoda oleh gemerlap dunia. Hadits ini menegaskan, ukuran iman bukan pada banyaknya harta atau status sosial, tetapi pada keteguhan hati mencintai Allah dan Rasul melebihi segalanya. -
Membenci kembali kepada kufur
Di era informasi yang bebas, banyak ideologi dan gaya hidup yang bisa menjauhkan seseorang dari iman. Membenci kufur di sini bukan berarti membenci orangnya, melainkan menolak segala bentuk kegelapan yang bisa merusak hati dan akal. Ini adalah sikap protektif seorang mukmin terhadap dirinya sendiri.
Kesimpulan
Hadits tentang halawatul iman mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati lahir dari cinta yang benar: mencintai Allah dan Rasul di atas segalanya, mencintai sesama karena Allah, serta menjaga diri dari segala bentuk kekafiran. Ulama klasik dan kontemporer sepakat bahwa “manisnya iman” bukan sekadar perasaan, melainkan pengalaman rohaniah yang nyata, yang membuat hidup lebih ringan, ibadah lebih nikmat, dan hubungan sosial lebih tulus.
Di era modern, hadits ini mengajak kita menimbang kembali arah hidup: apakah cinta kita tulus karena Allah, atau hanya karena dunia? Jika cinta karena Allah menjadi dasar hidup, maka iman akan terasa manis, meski dunia penuh ujian dan godaan.
* Reza Andik Setiawan
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
