Di tengah riuh dunia modern yang penuh dengan deru mesin dan notifikasi ponsel, manusia sering kehilangan suara batinnya sendiri. Padahal, dalam kitab Qūt al-Qulūb karya Abu Thalib al-Makki, zikir disebut sebagai “makanan hati” yang tak pernah basi. Zikir itu musik jiwa; dentingannya bukan hanya menggetarkan rongga dada, tetapi juga mengalun ke semesta, membawa manusia kepada asal-muasalnya: Allah.
Abu Thalib al-Makki, ulama besar abad ke-10 yang lahir di Mekah dan wafat di Baghdad, dikenal sebagai guru spiritual yang hidup sederhana. Karyanya, Qūt al-Qulūb (Santapan Hati), menjadi salah satu kitab klasik tasawuf paling berpengaruh. Dari kitab ini, Imam al-Ghazali banyak menyerap ilham ketika menulis Ihya’ Ulumuddin. Abu Thalib mengajarkan bahwa zikir bukan sekadar lafaz yang diulang, melainkan napas yang memberi hidup.
Nafas yang Menyatu dengan Nama Allah
Abu Thalib menulis dalam Qūt al-Qulūb:
اَلذِّكْرُ هُوَ النُّورُ الَّذِي يَجْعَلُ الْقَلْبَ حَيًّا بَعْدَ مَوْتِهِ
“Zikir adalah cahaya yang menghidupkan kembali hati setelah kematiannya.”
Kalimat ini menyentuh, sebab betapa banyak manusia berjalan dengan tubuh sehat, namun hatinya mati. Mereka berbicara, tertawa, bahkan bekerja, tetapi tidak ada cahaya yang menyala di dalam dada. Zikir adalah cara menyalakan lampu itu kembali.
Seorang teman saya pernah bercerita:
“Aku dulu merasa hidupku kosong, meski uang cukup dan keluarga lengkap. Baru ketika rutin berzikir, ada ketenangan yang tidak pernah aku temukan di tempat lain.”
Saya terdiam, sebab kesaksian itu lebih berharga daripada teori panjang apa pun.
Getaran Nama Ilahi dalam Realitas Sosial
Di Indonesia, suara zikir bukan hanya terdengar di masjid-masjid atau pesantren, tetapi juga di jalanan desa dan kota. Mungkin di Trenggalek, para petani melantunkan tasbih saat menanam padi. Atau beda lagi dengan Jakarta, sopir ojek daring menggumamkan “Ya Allah” di lampu merah. Zikir merembes ke ruang sosial, menjadi energi kolektif yang menenangkan.
Dalam Qūt al-Qulūb dijelaskan:
مَنْ لَزِمَ الذِّكْرَ طَالَ أُنْسُهُ وَحَسُنَتْ عَاقِبَتُهُ
“Barangsiapa yang tekun berzikir, maka panjanglah keakraban hatinya dengan Allah dan baiklah kesudahannya.”
Zikir bukan hanya urusan pribadi, tetapi juga menjaga harmoni sosial. Orang yang hatinya hidup dengan zikir akan lebih sabar menghadapi konflik, lebih ringan memberi maaf, dan lebih tulus melayani sesama.
Zikir sebagai Musik Semesta
Jika kita mendengarkan dengan hati, semesta sebenarnya terus bertasbih. Al-Qur’an mengingatkan:
تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ ۚ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَٰكِنْ لَا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ
“Langit yang tujuh, bumi, dan segala yang ada di dalamnya bertasbih kepada-Nya. Tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, hanya saja kamu tidak mengerti tasbih mereka.” (QS. Al-Isra: 44)
Burung berkicau, ombak berdebur, daun bergesek diterpa angin — semua adalah musik zikir semesta. Maka manusia yang berzikir sesungguhnya sedang ikut bernyanyi bersama paduan suara kosmik.
Zikir adalah musik jiwa. Ia tidak membutuhkan alat, tidak perlu panggung, tidak menunggu tepuk tangan. Ia adalah denting hati yang membuat hidup kembali berarti. Abu Thalib menulis:
اَلذِّكْرُ مَفْتَاحُ الْقُرْبِ وَسَبِيلُ الْأُنْسِ بِاللهِ
“Zikir adalah kunci kedekatan dan jalan untuk merasakan keakraban dengan Allah.”
Langkah Praktis: Membiarkan Jiwa Berdenting
Sisihkan waktu sunyi setiap hari
Beberapa menit selepas Subuh atau sebelum tidur untuk menyebut nama Allah dengan khusyuk.
Gunakan napas sebagai ritme
Tarik nafas dengan Allah, hembuskan dengan Hu. Jadikan ritme napas sebagai musik zikir.
Satukan zikir dengan aktivitas harian
Saat menyapu, menyetir, atau menunggu antrean, bibir dan hati bisa tetap berdzikir.
Hidupkan zikir sosial
Bersama keluarga, komunitas, atau jamaah, lantunkan zikir agar gema keheningannya terasa bersama.
Ketika Hati Menemukan Rumahnya
Suatu malam di pesantren, seorang santri bertanya kepada gurunya:
“Kiai, mengapa kita harus banyak berzikir? Bukankah Allah sudah tahu isi hati kita?”
Sang kiai tersenyum:
“Nak, zikir itu bukan untuk Allah. Zikir itu untukmu. Agar hatimu menemukan rumahnya kembali.”
Kalimat itu mengingatkan saya bahwa Allah tidak butuh zikir kita, justru kitalah yang membutuhkan-Nya. Zikir adalah jalan pulang.
Ketika musik dunia memudar, denting zikir tetap abadi. Ia menggetarkan jiwa, menyatukan manusia dengan semesta, dan menuntun hati menuju Sang Pemilik Nama.
Ya Allah, jadikan zikir kami cahaya di dunia, penolong di kubur, dan jembatan menuju-Mu di akhirat. Amin.
Dan engkau, saudaraku, musik apa yang bergetar di dadamu malam ini?
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
