SURAU.CO – Dunia modern menyajikan sebuah paradoks yang membingungkan. Kemajuan teknologi dan kemudahan materi melimpah ruah. Namun, di saat yang sama, keluhan tentang kecemasan, depresi, dan kehampaan jiwa justru semakin nyaring terdengar. Definisi kebahagiaan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah “keadaan sejahtera di mana individu menyadari potensinya sendiri.” Akan tetapi, Islam menawarkan sebuah definisi yang jauh lebih dalam. Ia tidak berfokus pada “potensi diri”, melainkan pada “kondisi hati”.
Oleh karena itu, kesehatan mental dalam Islam bukanlah tentang meniadakan masalah. Sebaliknya, ia adalah tentang membangun sebuah “arsitektur jiwa” yang kokoh. Sebuah bangunan yang mampu bertahan di tengah badai kehidupan. Bangunan ini tidak didirikan di atas materi, melainkan di atas empat pilar spiritual: qana’ah, syukur, sabar, dan ridha.
Fondasi Bangunan: Qana’ah (Merasa Cukup)
Fondasi dari semua ketenangan jiwa adalah qana’ah, yaitu kemampuan hati untuk merasa cukup dengan apa yang Allah berikan. Ini bukanlah sikap pasrah yang malas. Sebaliknya, ia adalah sebuah kekuatan aktif untuk memadamkan api “keinginan tak terbatas” yang membakar jiwa. Tanpa qana’ah, sebanyak apa pun harta yang kita kumpulkan, hati akan tetap merasa miskin.
Inilah mengapa Rasulullah SAW mendefinisikan ulang arti kekayaan. Beliau tidak mengukurnya dengan angka di rekening bank. Beliau bersabda:
“Kekayaan itu bukanlah dengan banyaknya harta benda. Akan tetapi, kekayaan yang hakiki adalah kekayaan jiwa (merasa cukup).” (HR. Bukhari & Muslim)
Dengan kata lain, qana’ah adalah “sistem operasi” yang memungkinkan kita untuk menikmati apa yang ada.
Dua Pilar Penopang: Syukur dan Sabar
Selanjutnya, di atas fondasi qana’ah, berdiri dua pilar penopang yang agung. Dua pilar ini adalah respons kita terhadap dua kondisi utama dalam hidup: nikmat dan musibah.
1. Pilar Syukur (Saat Diberi Nikmat):
Syukur bukanlah sekadar ucapan “Alhamdulillah”. Lebih dari itu, ia adalah sebuah proses tiga tahap: mengakui nikmat di dalam hati, menyebutnya dengan lisan, dan menggunakannya dalam ketaatan. Dengan demikian, syukur mengubah nikmat yang fana menjadi pahala yang abadi.
2. Pilar Sabar (Saat Diberi Ujian):
Begitu pula dengan sabar. Ia adalah sebuah ketahanan aktif untuk menahan diri dari keluh kesah dan keputusasaan saat ditimpa musibah. Melalui kesabaran, ujian berubah menjadi sebuah proses “detoksifikasi” spiritual yang menggugurkan dosa-dosa.
Kedua pilar ini ibarat sayap bagi seorang mukmin. Dengan syukur, ia terbang saat lapang. Dan dengan sabar, ia tetap kokoh saat sempit.
Atap Pelindung: Ridha (Penerimaan Total)
Jika qana’ah adalah fondasi, serta syukur dan sabar adalah pilarnya, maka atap pelindung dari bangunan jiwa ini adalah ridha. Ridha adalah tingkatan tertinggi, yaitu kondisi di mana hati merasa damai sepenuhnya dengan semua ketetapan Allah. Baik yang ia sukai, maupun yang ia benci secara naluriah.
Orang yang telah mencapai maqam ridha tidak lagi melihat ujian sebagai “musibah”, melainkan sebagai “hadiah” yang terbungkus kesulitan. Inilah puncak dari kesehatan mental, sebuah ketenangan yang tidak bisa dibeli dengan apa pun. Rasulullah SAW bersabda:
“Akan merasakan lezatnya iman, orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabb-nya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai Rasul-nya.” (HR. Muslim)
Mengasah Rasa, Bukan Mengejar Dunia
Pada akhirnya, Islam mengajarkan kita bahwa kebahagiaan sejati bukanlah sesuatu yang kita kejar di luar sana. Sebaliknya, ia adalah sesuatu yang kita asah di dalam hati kita.
Dengan melatih qana’ah, kita membangun fondasinya. Lalu, dengan mempraktikkan syukur dan sabar, kita mendirikan pilar-pilarnya. Dan dengan meraih ridha, kita memasang atap pelindungnya. Inilah arsitektur jiwa yang akan memberikan kita keteduhan, bukan hanya di dunia yang sementara, tetapi hingga ke surga yang abadi.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
