Beranda » Berita » Jika Hukum Hanya Milik yang Kuat, Maka Negeri Tinggal Puing-Puing Sejarah

Jika Hukum Hanya Milik yang Kuat, Maka Negeri Tinggal Puing-Puing Sejarah

hukum hanya milik yang kuat, negeri hancur
Ilustrasi simbolik bahwa hukum yang hanya berpihak pada yang kuat akan meruntuhkan negeri.

Jika hukum hanya menjadi milik yang kuat, maka negeri akan runtuh menjadi puing-puing sejarah. Frasa ini bukan sekadar kiasan, melainkan cermin dari kenyataan pahit: hukum sering berpihak pada mereka yang berkuasa, sementara rakyat kecil menanggung beban. Ibn Taimiyah dalam al-Siyāsah al-Syar‘iyyah menegaskan bahwa hukum Allah tidak boleh diperdagangkan, apalagi tunduk pada tirani kekuasaan.

Ketika Keadilan Terseret oleh Genggaman Elite

Suatu sore di warung kopi sederhana, seorang buruh bercerita lirih. Ia kalah dalam sengketa tanah melawan pengusaha besar.

“Aku tidak merasa kalah oleh hukum,” katanya getir.
“Tetapi aku kalah oleh uang yang mengatur hukum.”

Kisah ini mengingatkan kita pada peringatan Ibn Taimiyah:

الشَّرْعُ مَوْضُوعٌ لِإِقَامَةِ الْعَدْلِ بَيْنَ الْخَلْقِ، فَإِذَا تَحَوَّلَ إِلَى نُصْرَةِ الظُّلْمِ بَطَلَ مَقْصُودُهُ

Fenomena Nikah Siri: Boleh Secara Agama, Tapi Berbahaya

“Syariat diturunkan untuk menegakkan keadilan di antara manusia. Jika ia berubah menjadi penolong kezaliman, maka hilanglah tujuan hakikinya.”

Kata-kata ini menembus batas zaman. Ia mengingatkan bahwa hukum sejati hadir bukan untuk membela mayoritas atau minoritas, melainkan untuk menegakkan keadilan tanpa pandang bulu.

Negeri Bisa Tegak dengan Adil, Bukan dengan Tirani

Sejarah berkali-kali membuktikan bahwa bangsa kuat pun bisa runtuh ketika hukum dipermainkan. Ibn Taimiyah menulis dengan tajam:

إِنَّ اللَّهَ يُقِيمُ الدَّوْلَةَ الْعَادِلَةَ وَإِنْ كَانَتْ كَافِرَةً، وَلَا يُقِيمُ الظَّالِمَةَ وَإِنْ كَانَتْ مُسْلِمَةً

“Sesungguhnya Allah menegakkan negara yang adil meskipun kafir, dan tidak menegakkan negara yang zalim meskipun muslim.”

Klasifikasi Dosa-Dosa Besar (al-Kaba’ir) Menurut Sullam at-Taufiq

Ungkapan ini sering dikutip ulang dalam konteks modern, sebab ia menyingkap rahasia ketahanan bangsa: keadilan, bukan sekadar identitas.

Negeri tidak berdiri di atas teriakan mayoritas, melainkan di atas hukum yang adil dan tegak.

Luka Rakyat Kecil di Persimpangan Hukum

Data Komnas HAM (2022) menunjukkan lebih dari 2.000 pengaduan terkait sengketa tanah. Mayoritas kasus mempertemukan rakyat kecil dengan perusahaan besar. Fenomena ini kembali menghidupkan nasihat Ibn Taimiyah:

عَلَى الْحَاكِمِ أَنْ يَنْصُرَ الضَّعِيفَ وَيَرُدَّ عَلَيْهِ حَقَّهُ، وَأَنْ يَكُفَّ الْقَوِيَّ عَنْ بَغْيِهِ

“Seorang hakim wajib menolong yang lemah, mengembalikan haknya, dan menahan yang kuat dari kezalimannya.”

Prinsip Rezeki Halal dalam Sullam at-Taufiq: Menguak Fondasi Hidup yang Berkah

Sayangnya, yang terjadi hari ini justru sebaliknya. Banyak hukum berubah menjadi tameng bagi yang kuat, sementara si lemah dipaksa menelan pahitnya ketidakadilan.

Ketika Nurani Pemimpin Diuji

Dalam diskusi kecil di masjid kampung, seorang anak muda bertanya kepada ustadznya:

Anak muda: “Ustadz, kenapa banyak pemimpin takut menegakkan hukum?”
Ustadz: “Karena menegakkan hukum sering berarti menantang sahabatnya sendiri.”

Jawaban itu menggugah hati. Pemimpin sejati rela kehilangan teman, jabatan, bahkan nyawa demi kebenaran. Ibn Taimiyah menulis:

عَلَى الْوَالِي أَنْ يَجْعَلَ هَمَّهُ إِقَامَةَ الْحَقِّ، وَلَا يَخْشَى فِي اللَّهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ

“Pemimpin wajib menjadikan perhatiannya untuk menegakkan kebenaran, dan tidak takut terhadap celaan siapa pun dalam menjalankan hukum Allah.”

Dengan demikian, jelas bahwa kepemimpinan sejati tidak lahir dari kompromi, tetapi dari keberanian menjaga amanah.

Langkah Praktis

  • Jangan diam ketika hukum dipermainkan; gunakan suara, pena, dan doa.

  • Bangun solidaritas sosial untuk mendukung korban ketidakadilan.

  • Dukung pemimpin yang berani adil meski tidak populer.

  • Didik generasi muda agar memahami hukum sebagai amanah, bukan komoditas.

Jika hukum hanya milik yang kuat, maka negeri tinggal menunggu waktu menjadi puing-puing sejarah. Namun, jika hukum Allah ditegakkan tanpa kompromi, negeri akan berdiri tegak meski badai politik datang silih berganti.

اللَّهُمَّ اجْعَلْ بَلَدَنَا بَلَدًا آمِنًا مُطْمَئِنًّا، تَحْكُمُهُ شَرِيعَتُكَ، وَيَسُودُ فِيهِ الْعَدْلُ وَالرَّحْمَةُ

“Ya Allah, jadikan negeri kami negeri yang aman dan tenteram, dihukumi oleh syariat-Mu, di mana keadilan dan kasih sayang berkuasa.”

Pertanyaannya kini: akankah kita rela melihat hukum menjadi milik segelintir orang kuat, ataukah kita berjuang agar keadilan Allah tetap menjadi cahaya bagi semua?

* Sugianto al-jawi

Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement