Khazanah
Beranda » Berita » Fatwa Medis di Ujung Jari: Dosa Jariyah di Era Digital

Fatwa Medis di Ujung Jari: Dosa Jariyah di Era Digital

Fatwa Medis Melalui Gawai. Sumber: canva.com.

SURAU.CO – Di era digital, setiap dari kita adalah penerbit. Dengan sekali klik, sebuah pesan bisa menjangkau ratusan orang. Salah satu konten yang paling cepat menyebar adalah informasi kesehatan. “Obat ajaib” untuk kanker. “Ramuan herbal” untuk diabetes. Semua ini datang silih berganti di grup WhatsApp kita. Niatnya mungkin baik, yaitu untuk berbagi solusi. Namun, tanpa kita sadari, kita sedang bermain dengan api. Sebuah api yang bisa membakar kesehatan fisik dan juga keimanan kita.

Islam memandang bahaya misinformasi kesehatan bukan sekadar sebagai kekeliruan. Ia adalah sebuah pelanggaran prinsip yang sangat fundamental. Ia adalah dosa berbicara tanpa ilmu. Sebuah perbuatan yang disamakan oleh para ulama dengan memberikan fatwa sesat.

Dimensi Pertama: “Fatwa Medis” Tanpa Ilmu

Ketika seorang ulama mengeluarkan fatwa, ia memikul tanggung jawab yang sangat besar. Ia bisa menuntun umat ke surga, atau menjerumuskan mereka ke neraka. Oleh karena itu, syarat menjadi seorang mufti sangatlah ketat. Ia harus menguasai Al-Qur’an, Hadits, dan berbagai perangkat ilmu lainnya.

Sekarang, mari kita tarik analogi ini ke dunia kesehatan. Kesehatan adalah sebuah ilmu yang kompleks. Seorang dokter belajar bertahun-tahun untuk bisa mendiagnosis penyakit dan memberikan resep. Ketika kita, sebagai orang awam, dengan mudahnya menyebarkan informasi “rebusan daun X bisa menyembuhkan penyakit Y” tanpa dasar ilmiah, kita sedang melakukan apa? Kita sedang memposisikan diri kita sebagai “mufti medis”. Kita mengeluarkan “fatwa” tentang tubuh manusia tanpa memiliki ilmunya. Ini adalah sebuah kebodohan dan kelancangan yang sangat besar.

Allah SWT telah memperingatkan kita dengan keras. Jangan pernah mengikuti sesuatu yang tidak kita miliki ilmunya. Allah berfirman:

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra’: 36)

Dimensi Kedua: Perintah Tabayyun yang Terlupakan

Islam tidak hanya melarang, tetapi juga memberikan solusi. Solusi itu terangkum dalam satu kata: Tabayyun. Tabayyun adalah proses verifikasi, klarifikasi, dan cek fakta. Perintah ini turun dalam konteks berita, namun relevansinya mencakup semua informasi, termasuk kesehatan.

Bagaimana cara melakukan tabayyun dalam bidang kesehatan? Jawabannya adalah dengan bertanya kepada ahlinya. Yaitu para dokter, apoteker, dan ilmuwan yang kompeten. Mereka adalah “ulama” di bidangnya. Mengabaikan mereka dan lebih percaya pada pesan berantai anonim adalah sebuah keanehan.

Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah memberikan sebuah perspektif yang menakutkan:

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

“Berbicara tanpa ilmu adalah jalan setan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya), ‘Dan (setan) menyuruh kamu berbuat buruk dan keji, dan mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui.’” (QS. Al-Baqarah: 169)

Menyebarkan informasi kesehatan yang salah adalah bentuk “mengatakan sesuatu yang tidak kita ketahui”. Ia adalah perangkap setan untuk menciptakan kekacauan.

Dimensi Ketiga: Dari Dosa Pribadi Menjadi Dosa Jariyah

Bahaya misinformasi tidak berhenti pada diri kita. Ia memiliki efek domino yang merusak.

  1. Level Individu: Seseorang mungkin meninggalkan pengobatan medis yang terbukti efektif. Ia beralih ke “terapi hoax” yang justru memperparah penyakitnya. Nyawa bisa menjadi taruhannya.
  2. Level Masyarakat: Misinformasi menciptakan kepanikan massal. Ia juga merusak kepercayaan publik terhadap institusi kesehatan yang sah.
  3. Level Spiritual: Inilah yang paling berbahaya. Setiap kali pesan hoax kita disebarkan ulang, kita ikut menanggung dosanya. Ia menjadi dosa jariyah. Dosa yang pahalanya terus mengalir, bahkan setelah kita meninggal dunia.

Jadilah Filter, Bukan Saluran Pipa

Jjari kita memiliki tanggung jawab yang sangat besar. Sebelum kita menekan tombol “Forward” atau “Share”, berhentilah sejenak. Tanyakan pada diri kita:

  1. Apakah aku ahli di bidang ini?

    Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

  2. Apakah sumber informasi ini bisa dipercaya?

  3. Sudahkah aku melakukan tabayyun kepada ahlinya?

Jika jawabannya “tidak”, maka pilihan terbaik adalah menghapus pesan itu. Jadilah filter informasi yang bijak. Jangan menjadi saluran pipa yang mengalirkan semua air keruh kepada orang lain. Karena setiap informasi yang kita sebarkan akan kita pertanggungjawabkan. Baik di dunia, maupun di hadapan Allah SWT kelak.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement