Beranda » Berita » Amar Ma‘ruf Nahi Munkar yang Teredam oleh Mikrofon Kekuasaan

Amar Ma‘ruf Nahi Munkar yang Teredam oleh Mikrofon Kekuasaan

seruan kebaikan, cegah kemungkaran, nasihat kebenaran, suara keadilan
Ilustrasi tentang pertarungan antara suara rakyat yang lemah dengan kekuasaan yang mencoba membungkam amar ma‘ruf nahi munkar.

Ruang-ruang masjid dan majelis ilmu, amar ma‘ruf nahi munkar sering terdengar sebagai napas Islam. Namun, di panggung kekuasaan abad 21, suara itu kerap kalah oleh mikrofon politik. Ibn Taimiyah dalam al-Siyāsah al-Syar‘iyyahmenegaskan bahwa tegaknya negeri tidak hanya bergantung pada kekuatan militer, melainkan pada keberanian menegakkan amar ma‘ruf nahi munkar dengan adil, tanpa pandang bulu.

Suara yang Pudar di Tengah Riuh

Seorang pemuda dalam forum diskusi kampus pernah berkata, “Kita punya kebebasan bicara, tapi kenapa kritik pada penguasa sering dibungkam?” Temannya menjawab lirih, “Karena mikrofon milik mereka, bukan kita.”

Percakapan itu sederhana, namun jelas menggambarkan fenomena global: amar ma‘ruf nahi munkar berubah menjadi retorika, sementara suaranya dipelintir oleh kekuasaan.

Ibn Taimiyah menulis:

إِنَّ الدِّينَ لَا يَقُومُ إِلَّا بِالأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيِ عَنِ الْمُنْكَرِ

Dari Utsman ke Ali: Dinamika Politik dan Etika Kekuasaan di Era Khulafaur Rasyidin

“Agama tidak akan tegak kecuali dengan amar ma‘ruf dan nahi munkar.”

Dengan demikian, amar ma‘ruf nahi munkar bukan sekadar slogan, melainkan fondasi yang menjaga agama tetap hidup di tengah masyarakat.

Kekuasaan yang Menutup Telinga

Dalam kehidupan sehari-hari, kita mendengar keluhan warga tentang jalan rusak, harga pangan melonjak, atau layanan publik yang lamban. Namun, suara rakyat sering tenggelam oleh laporan manis di meja pejabat.

Ibn Taimiyah mengingatkan:

وَمَنْ تَرَكَ الْأَمْرَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيَ عَنِ الْمُنْكَرِ، كَانَ سَبَبًا فِي فَسَادِ الْبِلَادِ وَالْعِبَادِ

Akhlak Sosial dalam Islam: Keadilan, Empati, dan Amanah Menurut Syaikh Al-‘Ushfūrī

“Barang siapa meninggalkan amar ma‘ruf nahi munkar, itu menjadi sebab rusaknya negeri dan hamba.”

Karena itu, ketika kritik dimatikan, negeri pun berjalan tanpa arah. Sesungguhnya amar ma‘ruf nahi munkar hadir bukan untuk menjatuhkan penguasa, tetapi untuk menjaga mereka dari kebutaan moral.

Dialog tentang Keberanian

“Kalau bicara terlalu lantang, bisa dianggap melawan negara.”
“Tapi kalau diam, berarti membiarkan kebatilan.”
“Lantas, sampai kapan kita harus takut pada mikrofon kekuasaan?”

Dialog pendek itu menggambarkan dilema nyata: takut pada penguasa atau takut pada Tuhan yang kelak menuntut amanah.

Banyak orang akhirnya memilih diam—diam demi kenyamanan, demi keamanan, atau demi karier. Namun, Ibn Taimiyah memberi peringatan keras:

Makna Sosial dan Etika Kepemimpinan dalam Surah Ar-Ra’d dan Ibrahim Menurut Tafsir Jalalain

السُّكُوتُ عَنِ الْبَاطِلِ يُمَكِّنُ أَهْلَهُ وَيُضْعِفُ أَهْلَ الْحَقِّ

“Diam dari kebatilan hanya akan menguatkan pelakunya dan melemahkan pendukung kebenaran.”

Maka jelas, ketika amar ma‘ruf nahi munkar dipadamkan, suara kebatilan justru semakin nyaring.

Renungan Singkat

Bayangkan seorang dokter yang enggan memberi tahu pasien tentang penyakit mematikan karena takut dimusuhi keluarga pasien. Apa akibatnya? Pasien bisa kehilangan nyawanya. Demikian pula masyarakat tanpa amar ma‘ruf nahi munkar: perlahan kehilangan detak kehidupannya.

Al-Qur’an menegaskan:

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ

“Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma‘ruf, dan mencegah dari yang munkar.” (QS. Āli ‘Imrān: 104)

Ibn Taimiyah kemudian menambahkan dimensi sosialnya:

الأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ أَعْظَمُ أُسُسِ السِّيَاسَةِ الشَّرْعِيَّةِ

“Amar ma‘ruf nahi munkar adalah fondasi terbesar dalam politik syar‘i.”

Artinya, politik Islam tanpa amar ma‘ruf nahi munkar hanyalah panggung kosong: ramai janji, tapi hampa makna.

Langkah Praktis

Agar amar ma‘ruf nahi munkar kembali hidup, kita bisa:

  • Memulai dari diri sendiri: berani menegur kebiasaan salah di sekitar.

  • Menguatkan komunitas: jadikan masjid, kampus, dan ruang publik sebagai ladang kebaikan.

  • Memanfaatkan media sosial dengan bijak: gunakan untuk menyuarakan kebenaran, bukan sekadar pamer.

  • Membangun budaya kritik sehat: jadikan kritik sebagai cermin, bukan musuh, bagi penguasa.

Sejarah menunjukkan, bangsa yang berani menegakkan amar ma‘ruf nahi munkar bertahan lebih lama dibanding bangsa yang menutup telinga. Mikrofon kekuasaan mungkin bisa membungkam kritik, tetapi nurani manusia tidak pernah benar-benar bisu.

Doa Penutup

Maka doa kita sederhana, agar lidah tidak kelu saat melihat kebatilan, dan hati tetap teguh memeluk kebenaran:

اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِمَّنْ يَقُومُونَ بِالْحَقِّ، وَلَا يَخَافُونَ فِي اللَّهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ

“Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang menegakkan kebenaran, dan tidak takut pada celaan siapa pun dalam jalan-Mu.”

Kini pertanyaannya: apakah kita siap menjadi suara yang tetap hidup, meski mikrofon kekuasaan berusaha meredamnya?

* Sugianto al-jawi

Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement