Opinion
Beranda » Berita » Viral! Orang Tua Membunuh Anaknya: Perbedaan Pandangan Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif

Viral! Orang Tua Membunuh Anaknya: Perbedaan Pandangan Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif

Membunuh Anak
Ilustrasi orang tua membunuh anak kandungnya. Foto: Meta AI

SURAU.CO. Setiap anak lahir membawa sejuta harapan. Mereka bukan hanya penerus garis keturunan, tetapi juga penentu masa depan bangsa. Anak adalah amanah yang Allah titipkan kepada orang tua untuk dijaga, dididik, dan dibimbing. Al-Qur’an menegaskan bahwa anak merupakan perhiasan hidup di dunia.

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi: 46).

Namun, betapa pilunya, terkadang justru orang tua sendiri yang tega menghilangkan nyawa buah hatinya. Beberapa waktu lalu, heboh berita seorang ibu di Bandung yang tega menghabiskan nyawa dua orang anak-anaknya, sebelum akhirnya melakukan bunuh diri, pada Jumat (5/9/2025) dini hari. Ia meninggalkan surat wasiat yang menyebutkan bahwa ia tidak tega jika anak-anaknya harus hidup menderita bersama Bapaknya yang suka berbohong dan memiliki banyak hutang.

Kasus tragis orang tua membunuh anak terus terjadi di berbagai daerah. Pada 2006, masih seorang ibu di Bandung membunuh ketiga anaknya karena merasa tidak sanggup menanggung masa depan mereka. Pada 2014, di Kalimantan Selatan, seorang ibu juga menghabisi nyawa anaknya yang masih duduk di bangku SD karena depresi berat. Lebih baru lagi pada Juli 2025, sepasang suami istri di Payakumbuh, Sumatera Barat tega menganiaya anak kandungnya yang mengalami disabilitas hingga meninggal.

Beberapa kasus serupa muncul di media, menunjukkan bahwa fenomena ini nyata adanya. Lalu, bagaimana Islam dan hukum positif di Indonesia memandang perbuatan sekeji ini?

Riyadus Shalihin: Antidot Ampuh Mengobati Fenomena Sick Society di Era Modern

Perspektif Hukum Pidana Islam

Dalam hukum Islam, pembunuhan (qatl) termasuk dosa besar yang sanksinya sangat berat. Dalam Al-Quran surat Al-An’am ayat 151, Allah SWT dengan tegas melarang perilaku pembunuhan tanpa alasan yang benar. Bahkan dengan jelas Allah SWT melarang membunuh anak kandung sendiri hanya karena takut kemiskinan. Allah juga berjanji aka  memberikan rezeki bagi orang tua dan anak-anaknya.

Sementara itu, hukuman utama bagi pembunuhan adalah qishash, yakni balasan setimpal. Allah SWT menegaskan prinsip ini dalam QS. Al-Maidah ayat 45 bahwa nyawa dibalas dengan nyawa.

“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah: 45)

Namun, ada ketentuan khusus terkait kasus orang tua yang membunuh anaknya. Mayoritas ulama, seperti Imam Syafi’i, Hanafi, Hambali, dan Ja’fari, berpendapat bahwa orang tua tidak mendapatkan qishash jika membunuh anaknya. Hal ini berdasar hadis: “Orang tua tidak diqishash karena membunuh anaknya.” (HR. Ibnu Majah, no. 2661).

Alasannya, orang tua adalah sebagai sebab adanya anak, sehingga tidak adil jika anak menjadi sebab hilangnya nyawa orang tua. Akan tetapi, Imam Malik berbeda pendapat. Menurutnya, jika melakukan pembunuhan dengan sengaja, maka qishash tetap berlaku. Pandangan ini muncul karena pada masa Imam Malik, kondisi sosial sangat parah, banyak kasus orang tua membunuh anak, sehingga perlu ketegasan hukum.

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

Meski qishash tidak berlaku secara mutlak, Islam tidak membiarkan pelaku bebas. Orang tua yang membunuh anaknya tetap bisa dijatuhi hukuman ta’zir, yakni sanksi yang ditetapkan hakim sesuai tingkat kejahatan. Bisa berupa penjara, denda, atau bentuk lain. Tujuannya agar ada efek jera, mencegah pengulangan, dan menjaga martabat hukum Islam yang memuliakan kehidupan.

Perspektif Hukum Positif

Hukum positif Indonesia menegaskan bahwa setiap orang yang membunuh atau menghilangkan nyawa orang lain adalah tindak pidana pembunuhan. Termasuk jika orang tua membunuh anak kandungnya sendiri adalah tindak pidana, tidak ada pengecualian. Bahkan jika pelakunya orang tua sendiri, maka akan mendapatkan hukuman yang lebih berat.

Aturan ini tertuang dalam KUHP Bab XIX tentang kejahatan terhadap nyawa. Beberapa pasal yang relevan antaranya, pasal 338 menyebutkan barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, ancamannya penjara 15 tahun. Pasal 341 menyebutkan jika pembunuhan dilakukan oleh ibu karena takut aib, ancamannya 7 tahun penjara. Dan jika ibu  melakukan dengan rencana ancamannya hukuman penjara 9 tahun, dalam Pasal 342. Kemudian Pasal 356 menyebutkan jika pelaku adalah orang tua, hukumannya diperberat sepertiga dari ancaman semula.

Selain KUHP, Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 (dan perubahannya UU No 35 Tahun 2014) juga menegaskan sanksi berat. Pasal 80 menyebutkan bahwa jika orang tua menganiaya hingga menyebabkan anak meninggal, hukumannya bisa 10 tahun penjara dan/atau denda 200 juta rupiah, bahkan ditambah sepertiga jika pelakunya adalah orang tua kandung.

Dengan aturan ini, negara jelas menegaskan bahwa tindakan membunuh anak bukan hanya kejahatan biasa, tetapi pelanggaran berat yang meruntuhkan nilai kemanusiaan dan keluarga.

Generasi Sandwich dan Birrul Walidain: Mengurai Dilema dengan Solusi Langit

Persamaan dan Perbedaan

Baik hukum Islam maupun KUHP sama-sama menempatkan nyawa anak sebagai sesuatu yang sangat berharga dan wajib mendapatkan perlindungan. Tujuan akhirnya adalah menjaga keamanan, ketertiban, serta melindungi masyarakat dari kejahatan.

Namun, perbedaannya terletak pada sanksi. Dalam hukum Islam, mayoritas ulama tidak menerapkan qishash bagi orang tua, meskipun tetap ada hukuman ta’zir. Sedangkan dalam KUHP, tidak ada pengecualian. Siapa pun yang membunuh tetap mendapatkan hukuman, termasuk orang tua terhadap anak. Bahkan posisinya sebagai orang tua justru bisa memberatkan hukuman hingga sepertiga dari ancaman hukuman awal

Dengan kata lain, Islam menekankan aspek moral, tanggung jawab, dan efek sosial. Sedangkan KUHP menekankan aspek keadilan yuridis tanpa pengecualian.

Relevansi dengan Realitas Sosial

Kasus orang tua yang membunuh anak sering kali muncul dengan beragam motif. Tekanan ekonomi, anak yang kelewat nakal, malu karena anak cacat, perselingkuhan, hingga kehamilan yang tidak diinginkan. Namun, semua alasan ini tidak dapat menjadi pembenaran. Dalam Islam jelas melarang keras membunuh anak karena alasan ekonomi.

Allah kembali menegaskan dalam firman-Nya: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (QS. Al-Isra: 31).

Ayat ini menegaskan bahwa Allah SWT telah mengatur rezeki, sehingga alasan ekonomi tidak dapat menjadi pembenaran. Kemiskinan, depresi, atau konflik tidak boleh menjadi alasan mengakhiri hidup anak. Justru di sinilah pentingnya penguatan iman, dukungan sosial, serta layanan konseling bagi keluarga.

Rasulullah SAW pun mengingatkan dalam hadisnya bahwa siapa saja yang membunuh dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka dan murka Allah (HR. Bukhari dan Muslim).  Allah SWT juga menyampaikan dalam firman-Nya, “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An Nisa’: 93).

Pentingnya Perlindungan Anak

Baik agama maupun hukum negara sama-sama mengajarkan bahwa kita harus menjaga anak sebagai titipan Allah SWT. Tanggung jawab utama memang berada di pundak orang tua, tetapi masyarakat dan negara juga berkewajiban melindungi mereka. Ketika seorang anak kehilangan nyawanya di tangan orang tua, yang rusak bukan hanya keluarga itu sendiri, tetapi juga moral masyarakat.

Karena itu, peran hukum sangat penting. Jika hukum Islam menekankan nilai moral dan tanggung jawab orang tua melalui hukuman ta’zir, maka hukum positif menegakkan keadilan melalui aturan yang ketat dengan sanksi pidana. Keduanya memiliki semangat yang sama untuk mencegah kejahatan dan melindungi anak.

Pada akhirnya, pembunuhan anak oleh orang tua adalah tragedi kemanusiaan yang tidak bisa dibenarkan oleh alasan apa pun. Islam menegaskan bahwa setiap nyawa bernilai tinggi dan tidak boleh dihilangkan tanpa alasan yang sah. Hukum positif Indonesia juga menegaskan perlindungan terhadap anak dengan sanksi pidana yang berat.

Pelajaran yang bisa kita ambil bahwa anak adalah amanah, bukan beban. Mereka adalah cahaya kehidupan, bukan sumber masalah. Menjaga anak sama dengan menjaga masa depan bangsa. Karena itu, setiap kita, baik sebagai orang tua, masyarakat, maupun aparat hukum, wajib berdiri di garda depan untuk melindungi hak hidup anak-anak.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement