Opinion
Beranda » Berita » Larangan Memajang Kaligrafi “Allah” dan “Muhammad” Secara Sejajar

Larangan Memajang Kaligrafi “Allah” dan “Muhammad” Secara Sejajar

Larangan Memajang Kaligrafi “Allah” dan “Muhammad” Secara Sejajar

Larangan Memajang Kaligrafi “Allah” dan “Muhammad” Secara Sejajar.

 

SURAU.CO – Dalam tradisi kaum Muslimin, kaligrafi merupakan salah satu bentuk seni yang indah dan penuh makna. Banyak masjid, rumah, bahkan lembaga Islam yang menghiasi dindingnya dengan kaligrafi lafaz “Allah” dan “Muhammad ﷺ”. Kita perlu memperhatikan hal penting supaya niat baik tidak menjerumuskan pada kekeliruan aqidah.

Fatwa Ulama: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin رحمه الله menegaskan:

“Kita tidak boleh meletakkan Allah dan Muhammad sejajar, karena hal itu berarti kita menjadikan Nabi ﷺ sebagai tandingan bagi Allah dan mensejajarkannya. Andai saja ada seseorang melihat tulisan ini dan ia tidak mengetahui dua nama yang tertulis sejajar tersebut, niscaya ia akan meyakini keduanya setara dan serupa.”
(Majmu’ Fatawa wa Rasa’il, 3/75)

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Bahaya Menyejajarkan

Menuliskan atau memajang lafaz “Allah” dan “Muhammad ﷺ” secara sejajar bisa menimbulkan kesalahpahaman, seolah-olah Nabi Muhammad ﷺ setara dengan Allah ﷻ. Islam mengajarkan kita untuk memurnikan tauhid, yaitu hanya menyembah Allah semata, dan mengakui Nabi ﷺ sebagai hamba dan Rasul-Nya.

Untuk memajang kaligrafi dengan tepat, letakkan lafaz “Allah” di atas dan lafaz “Muhammad ﷺ” di bawahnya. Hal ini menggambarkan kedudukan sebenarnya: Allah adalah Tuhan semesta alam, dan Nabi Muhammad ﷺ adalah hamba serta utusan-Nya.

Bisa juga menuliskan kaligrafi ayat-ayat Al-Qur’an, Asmaul Husna, atau doa-doa yang shahih.

Menjaga Aqidah dari Syubhat

Banyak orang menganggap bahwa memajang kaligrafi tersebut adalah hal yang biasa saja. Namun, jika ada orang awam atau non-Muslim yang melihat, bisa muncul prasangka salah bahwa Islam menyamakan kedudukan Allah dengan Nabi Muhammad ﷺ. Karena itu, ulama melarang bentuk yang menimbulkan syubhat (kerancuan) dalam masalah aqidah.

Kesimpulan: Islam mengajarkan penghormatan tertinggi kepada Rasulullah ﷺ, namun tidak dengan cara yang berpotensi menyeret pada kesyirikan atau menyamakan kedudukan beliau dengan Allah ﷻ. Hendaknya kita tinggalkan praktek memajang lafaz “Allah” dan “Muhammad ﷺ” secara sejajar.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Pegang teguh prinsip tauhid: “La ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah.” Allah adalah satu-satunya sesembahan, dan Nabi Muhammad ﷺ hanyalah hamba sekaligus utusan-Nya.

 

 

 


Mencukur Bulu Kemaluan Lebih Utama daripada Merayakan Maulid, Tahlilan, dan Yasinan.

Amalan yang benar dalam Islam adalah amalan yang ada dalilnya dari Al-Qur’an atau Sunnah Nabi ﷺ. Kita harus mengutamakan sunnah yang jelas dalilnya daripada amalan yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ, para sahabat, dan generasi terbaik setelahnya.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Sebagian kaum Muslimin sering mengabaikan sunnah mencukur bulu kemaluan yang lebih utama dan memiliki dalil jelas, sementara mereka mengamalkan maulid, tahlilan, atau yasinan yang tidak ada tuntunan syar’i.

Dalil tentang Mencukur Bulu Kemaluan

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Ada sepuluh hal dari fitrah: memangkas kumis, memelihara jenggot, bersiwak, istinsyaq dengan air, memotong kuku, membersihkan ruas jari-jemari, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, dan beristinja’ dengan air.”
(HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah).

Juga hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:

> “Rasulullah ﷺ memberikan batasan waktu kepada kami untuk memotong kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur bulu kemaluan agar tidak dibiarkan lebih dari empat puluh malam.” (HR. Muslim, Abu Dawud, dan An-Nasa’i).

Hikmah dan Manfaatnya

1. Menjaga kebersihan diri → bulu yang dibiarkan panjang dapat menjadi tempat kotoran dan bau.
2. Kesehatan → menjaga area kemaluan tetap bersih dari kuman dan penyakit.
3. Bagian dari fitrah → termasuk identitas Muslim yang menjaga sunnah Rasul ﷺ.
4. Ketaatan → meski terlihat sederhana, amalan ini menjadi bukti kecintaan kepada Nabi ﷺ.

Penutup: Agama Islam telah sempurna ketika Rasulullah ﷺ wafat. Semua amalan yang mendekatkan diri kepada Allah telah beliau ajarkan. Maka, lebih utama menghidupkan sunnah yang shahih — meski kecil dan sederhana — dibandingkan membuat amalan baru yang tidak ada dalilnya.

Semoga kita termasuk orang-orang yang istiqamah menjaga fitrah dengan mengamalkan sunnah Nabi ﷺ dalam setiap aspek kehidupan, Baarakallahu fiikum.  Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat (Tengku Iskandar, M. Pd)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement