SURAU.CO – Pernahkah Anda bertemu dua tipe manusia yang kontras? Tipe pertama adalah orang yang seolah-olah terlahir dengan kelembutan. Ia sabar, murah senyum, dan tidak mudah marah. Sebaliknya, tipe kedua adalah orang yang temperamental. Ia mudah tersulut emosi dan sulit mengendalikan amarahnya. Fenomena ini memunculkan sebuah pertanyaan kuno yang sangat mendasar. Dari manakah sumber akhlak mulia itu berasal? Apakah ia “kode genetik” yang kita warisi sejak lahir? Ataukah ia adalah hasil dari “jihad jiwa” yang kita perjuangkan seumur hidup?
Jawaban atas pertanyaan ini bukanlah pilihan “A atau B”. Islam, dengan kebijaksanaannya yang agung, memberikan sebuah jawaban sintesis yang sempurna. Jawaban itu menenangkan sekaligus memotivasi. Ia mengakui adanya karunia bawaan. Namun, pada saat yang sama, ia membuka lebar–lebar pintu perbaikan bagi siapa pun yang mau berusaha.
Karunia Bawaan (Jibillah)
Syariat Islam mengakui bahwa Allah SWT menciptakan manusia dengan tabiat dasar yang berbeda-beda. Sebagaimana Dia menciptakan fisik kita berbeda, Dia juga memberikan “settingan” awal karakter yang beragam. Ada orang yang secara alami lebih pemaaf. Ada pula yang secara alami lebih pemarah. Ini adalah karunia (fadhl) murni dari Allah. Ia tidak terkait dengan amal atau usaha.
Bukti paling kuat untuk hal ini adalah sebuah dialog antara Rasulullah SAW dan seorang sahabat bernama Al-Asyaj ‘Abdul Qais. Setelah berdialog dengannya, Rasulullah SAW memujinya dengan sebuah pujian yang luar biasa:
إِنَّ فِيكَ لَخَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللهُ: الْحِلْمُ، وَالْأَنَاةُ
“Sesungguhnya pada dirimu terdapat dua sifat yang dicintai oleh Allah, yaitu Al-Hilmu (kemampuan menahan marah) dan Al-Anah (ketenangan/tidak tergesa-gesa).”
Mendengar pujian ini, sang sahabat pun bertanya dengan cerdas. Ia ingin tahu asal muasal dari dua sifat mulia ini.
قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَنَا تَخَلَّقْتُ بِهِمَا، أَمِ اللهُ جَبَلَنِي عَلَيْهِمَا؟
Ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah aku yang mengusahakan kedua sifat itu, ataukah Allah yang menciptakanku di atas keduanya?”
Rasulullah SAW memberikan jawaban yang menegaskan adanya tabiat bawaan:
قَالَ: بَلِ اللهُ جَبَلَكَ عَلَيْهِمَا
Beliau menjawab, “Bahkan, Allah-lah yang telah menciptakanmu di atas keduanya.”
Jawaban ini adalah sebuah validasi. Ada orang-orang yang memang Allah anugerahi “modal” akhlak yang lebih baik sejak awal.
Pintu Perjuangan (Al-Mujahadah)
Di sinilah letak keindahan dan keadilan Islam. Jika akhlak hanyalah karunia bawaan, maka tamatlah sudah. Orang yang terlahir dengan tabiat buruk tidak akan punya harapan. Namun, Islam justru membuka pintu yang kedua. Pintu yang jauh lebih luas. Pintu perjuangan dan usaha (al-mujahadah atau at-takhasub).
Islam menegaskan bahwa akhlak bisa diubah, dibentuk, dan diperbaiki. Karakter bukanlah takdir mati yang tidak bisa diganggu gugat. Ia seperti sebuah otot. Semakin sering dilatih, ia akan semakin kuat. Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ، وَإِنَّمَا الْحِلْمُ بِالتَّحَلُّمِ
“Sesungguhnya ilmu itu diraih dengan belajar. Dan sesungguhnya sifat Al-Hilmu (sabar/lemah lembut) itu diraih dengan berlatih untuk sabar.” (HR. Thabrani)
Kata kunci di sini adalah bit ta’allum (dengan belajar) dan bit tahallum (dengan berlatih). Keduanya menunjukkan adanya proses, usaha, dan perjuangan. Ini adalah sebuah kabar gembira bagi kita semua. Sekeras apa pun tabiat dasar kita, selalu ada ruang untuk perbaikan.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menegaskan:
“Seandainya akhlak itu tidak bisa diubah, niscaya batallah wasiat, nasihat, dan didikan. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan bersabda, ‘Perbaikilah akhlak kalian.’”
Sintesis: Dua Sayap Menuju Kemuliaan
Sekarang, mari kita satukan kedua dimensi ini. Akhlak mulia itu seperti seekor burung. Ia membutuhkan dua sayap untuk bisa terbang tinggi menuju ridha Allah.
-
Sayap Pertama adalah Karunia (Al-Fadhl): Ini adalah modal awal dari Allah. Siapa pun yang mendapatkannya, ia wajib bersyukur.
-
Sayap Kedua adalah Usaha (Al-‘Adl): Ini adalah arena perjuangan bagi semua manusia. Siapa pun yang terlahir dengan tabiat buruk, ia mendapatkan ladang jihad yang lebih luas. Dan pahalanya di sisi Allah bisa jadi lebih besar, karena perjuangannya lebih berat.
Orang yang terlahir sabar, lalu ia menjaga kesabarannya, maka ia telah mensyukuri nikmat. Orang yang terlahir pemarah, lalu ia berjihad sekuat tenaga untuk menjadi sabar, maka ia telah meraih kemuliaan melalui perjuangan. Keduanya sama-sama mulia di mata Allah.
Tidak Ada Alasan untuk Pasrah
Pada akhirnya, kita mendapatkan sebuah pemahaman yang membebaskan. Jangan pernah lagi menjadikan tabiat sebagai alasan. Jangan berkata, “Aku memang pemarah dari lahir.” Kalimat itu adalah bentuk kepasrahan yang dibisikkan oleh setan.
Syariat telah membuka pintu seluas-luasnya. Pintu itu bernama tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). Ia adalah sebuah proyek seumur hidup. Proyek untuk memoles karakter kita. Hingga ia berkilau seperti yang Allah dan Rasul-Nya cintai. Baik kita memulainya dengan modal karunia, maupun dengan modal perjuangan. Tujuan akhirnya tetap sama: menjadi hamba yang berakhlak mulia.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
