Beranda » Berita » Nepotisme: Luka Lama yang Tak Kunjung Sembuh

Nepotisme: Luka Lama yang Tak Kunjung Sembuh

Ilustrasi nepotisme, kursi kekuasaan diwariskan keluarga, rakyat menjadi penonton.
Ilustrasi nepotisme sebagai kursi warisan kekuasaan, rakyat kecil hanya jadi penonton.

Nepotisme adalah luka lama yang tak kunjung sembuh di negeri ini. Kata itu terus muncul dalam berita, bisik-bisik warung kopi, hingga ruang keluarga. Sejak Orde Baru hingga sekarang, praktik mengangkat keluarga atau kerabat ke jabatan publik telah meracuni sendi-sendi keadilan.

Aku teringat percakapan dengan seorang sahabat di kampus.
“Kenapa sih, kursi jabatan selalu diwariskan?” tanyaku.
“Karena darah lebih kental daripada akal sehat,” jawabnya getir.

Jabatan sebagai amanah, bukan warisan

Ibn Taimiyah dalam al-Siyāsah al-Syar‘iyyah menegaskan, jabatan publik adalah amanah. Pemimpin harus menyerahkannya kepada yang paling layak, bukan kepada kerabat.

إِنَّ الْإِمَارَةَ أَمَانَةٌ، فَلَا تَجُوزُ إِلَّا لِمَن يَسْتَحِقُّهَا دِينًا وَقُدْرَةً، لَا لِقَرَابَةٍ وَلَا هَوًى

“Sesungguhnya jabatan adalah amanah. Ia tidak boleh diberikan kecuali kepada yang berhak karena agama dan kemampuan, bukan karena kerabat atau hawa nafsu.” (al-Siyāsah al-Syar‘iyyah)

Fenomena Nikah Siri: Boleh Secara Agama, Tapi Berbahaya

Luka yang diwariskan dari generasi ke generasi

Fenomena nepotisme tidak berhenti di politik. Ia menyusup ke dunia pendidikan, bisnis, bahkan organisasi keagamaan. Berapa banyak anak muda yang kehilangan kesempatan karena kursi sudah “dipesan” untuk keluarga tertentu?

Al-Qur’an mengingatkan dengan tegas:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS. al-Nisā’: 58)

Ibn Taimiyah bahkan menulis:

Dari Utsman ke Ali: Dinamika Politik dan Etika Kekuasaan di Era Khulafaur Rasyidin

مَن وَلَّى قَرِيبًا لِقَرَابَتِهِ وَفِي الْأُمَّةِ مَنْ هُوَ أَصْلَحُ لِلْوِلَايَةِ فَقَدْ خَانَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالْمُؤْمِنِينَ

“Barangsiapa mengangkat kerabatnya karena hubungan keluarga, padahal ada yang lebih layak di tengah umat, maka ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman.” (al-Siyāsah al-Syar‘iyyah)

Ketika rakyat hanya jadi penonton

Di pasar tradisional, seorang pedagang sayur berkata sambil menimbang cabai:
“Nak, jangankan kami yang kecil. Para ahli saja sering kalah oleh anak pejabat. Bagaimana negeri ini mau maju?”

Kekecewaan itu lahir dari rasa tak adil. Rakyat melihat kesempatan hilang karena koneksi, bukan karena kompetensi. Transparency International (2022) mencatat bahwa nepotisme dan kolusi memperparah korupsi struktural, memperlebar kesenjangan, dan mengikis kepercayaan publik.

Nepotisme ibarat api kecil yang dibiarkan. Lama-lama ia membakar harapan generasi dan meninggalkan abu ketidakadilan.

Zakat dalam Fathul Qorib: Ibadah yang Menyambung Keadilan Sosial

Keadilan yang dituntut syariat

Islam menempatkan keadilan sebagai fondasi kepemimpinan. Nabi ﷺ bersabda:

إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ

“Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran.” (HR. al-Bukhārī)

Ibn Taimiyah pun menegaskan:

إِنَّ صَلَاحَ الْعَالَمِ لَا يَتِمُّ إِلَّا بِالْعَدْلِ، وَالْعَدْلُ أَنْ يُوَلَّى كُلُّ أَمْرٍ أَهْلَهُ

“Perbaikan dunia tidak akan terwujud kecuali dengan keadilan. Dan keadilan itu ialah menempatkan setiap urusan kepada ahlinya.” (al-Siyāsah al-Syar‘iyyah)

Jalan menuju penyembuhan luka lama

  • Membiasakan sistem rekrutmen berbasis kompetensi, bukan koneksi.

  • Menguatkan lembaga pengawasan independen untuk menekan praktik nepotisme.

  • Menanamkan kesadaran agama bahwa jabatan adalah amanah, bukan warisan.

  • Membuka ruang partisipasi rakyat dalam mengawasi jalannya pemerintahan.

  • Menghargai meritokrasi agar generasi muda percaya pada keadilan negeri.

Nepotisme memang luka lama. Tetapi luka itu bisa sembuh bila keberanian menegakkan keadilan lebih kuat daripada hawa nafsu kekuasaan.

Doa kita pun sederhana:

اللَّهُمَّ اجْعَلْ وُلَاةَ أُمُورِنَا مِمَّنْ يَضَعُونَ الْأُمُورَ فِي أَهْلِهَا، وَلَا تَجْعَلْهَا فِي أَيْدِي الْخَائِنِينَ

Mungkin saatnya kita bertanya lebih jujur: Apakah kita rela negeri ini terus diwariskan kepada kerabat penguasa, ataukah kita berani membuka jalan bagi mereka yang benar-benar layak?

* Sugianto al-Jawi
Budayawan Kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement