SURAU.CO – Dalam interaksi sosial, kita pasti pernah berada di posisi diminta atau terpaksa harus meminta. Islam, sebagai agama yang paripurna, mengatur adab ini dengan sangat indah. Ia meletakkan sebuah fondasi agung, yaitu kehormatan diri (iffah). Akan tetapi, di zaman kita, adab ini seringkali terkikis. Kita melihat orang meminta sumbangan dengan cara memaksa, atau membaca permintaan di media sosial dengan nada menuntut.
Sikap “memaksa” saat meminta inilah yang secara spesifik Islam larang. Perbuatan ini dalam Al-Qur’an disebut al-ilhaf, dan Allah SWT justru memuji orang-orang fakir yang memiliki kehormatan karena tidak meminta dengan cara seperti itu. Lantas, bagaimana Islam memberikan solusi? Jawabannya tidak hanya berupa larangan. Islam memberikan sebuah kurikulum pemberdayaan luar biasa yang diajarkan langsung oleh Rasulullah SAW dalam sebuah kisah abadi.
Diagnosa, Bukan Sekadar Memberi
Suatu hari, seorang pria dari kaum Anshar datang kepada Nabi SAW untuk meminta-minta. Di sinilah kita melihat sebuah persimpangan. Rasulullah SAW bisa saja langsung memberinya beberapa dirham dan masalah selesai. Namun, Nabi tidak memilih jalan pintas. Sebaliknya, beliau memilih jalan pendidikan.
Beliau tidak melihat pria itu sebagai “peminta”, melainkan sebagai seorang manusia yang memiliki potensi. Maka, langkah pertama yang beliau lakukan adalah melakukan “diagnosa aset”. Beliau bertanya:
“Apakah ada sesuatu di rumahmu?”
Laki-laki itu menjawab, “Ada. Sebuah kain pelana yang sebagiannya kami pakai dan sebagian kami buat alas. Dan sebuah cangkir untuk minum.”
Nabi bersabda, “Bawalah keduanya kemari.”
Ini adalah sebuah pelajaran yang sangat dalam. Sebelum memberi bantuan, lihatlah potensi yang ada. Jangan mematikan kemandirian seseorang dengan sedekah instan jika ada jalan lain yang lebih mulia.
Transformasi Aset dan Pemberian Modal
Pria itu datang membawa dua barang yang tampak tidak berharga. Namun, di tangan Rasulullah SAW, dua benda itu berubah menjadi “modal usaha”. Beliau melelangnya kepada para sahabat, mengubah aset tidur menjadi uang tunai senilai dua dirham.
Inilah puncak dari kisah ini. Dengan uang dua dirham itu, Rasulullah SAW tidak menyuruh pria itu untuk membeli makanan. Jika itu yang beliau lakukan, maka uang itu akan habis dan pria itu akan kembali meminta-minta esok hari. Sebaliknya, beliau memberikan sebuah “rencana bisnis” yang brilian:
“Belilah makanan untuk keluargamu dengan satu dirham. Dan belilah sebuah kapak dengan satu dirham sisanya, lalu bawalah kemari.”
Strategi ini sangatlah sempurna: satu dirham untuk solusi jangka pendek (kebutuhan perut hari ini), dan satu dirham lagi untuk investasi jangka panjang (alat untuk bekerja).
Perintah Bekerja dan Buah Kehormatan Diri
Setelah memberikan modal dan alat, Rasulullah SAW memberikan perintah yang paling penting, yaitu perintah untuk bekerja. Beliau menyuruh pria itu untuk mencari kayu bakar dan menjualnya, lalu memberinya tenggat waktu agar ia tidak menampakkan wajahnya selama lima belas hari. Ini adalah fase “inkubasi” untuk membangun kemandirian.
Lima belas hari kemudian, pria itu kembali. Wajahnya tidak lagi menunduk. Ia datang dengan membawa sepuluh dirham hasil jerih payahnya dan telah mampu membeli pakaian serta makanan untuk keluarganya. Di saat itulah, Rasulullah SAW menyampaikan esensi dari seluruh pelajaran ini:
“Ini lebih baik bagimu, daripada meminta-minta yang akan menjadi noda hitam di wajahmu pada hari Kiamat.” (HR. Abu Dawud)
“Noda hitam di wajah” adalah kiasan kuat untuk bekas dari kehinaan di dunia, akibat hilangnya rasa malu dan kehormatan diri.
Jalan Kemuliaan adalah Tangan di Atas
Kisah ini bukanlah sekadar tentang adab meminta tanpa memaksa. Lebih dari itu, ia adalah sebuah manifesto tentang kemuliaan bekerja. Islam tidak melarang meminta secara mutlak. Namun, ia menempatkannya sebagai pilihan terakhir dalam kondisi darurat.
Pilihan utamanya adalah bekerja, menggerakkan tangan dan kaki, mengambil kapak dan menebang kayu. Karena di dalam setiap tetes keringat, ada kehormatan yang sedang kita bangun. Ada kemandirian yang sedang kita pupuk. Dan yang terpenting, ada pahala dari Allah yang jauh lebih besar. Karena tangan di atas (yang memberi dan bekerja) selamanya akan lebih mulia daripada tangan di bawah (yang hanya menerima).
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
