SURAU.CO. Fenomena langit selalu memukau dan mengundang rasa ingin tahu manusia. Salah satunya ialah gerhana bulan total, sebuah peristiwa astronomi yang menakjubkan. Saat gerhana ini terjadi, bayangan Bumi menutupi Bulan sepenuhnya. Cahaya Matahari yang biasanya memantul ke bulan tidak mencapai permukaan bulan. Bulan meredup, bahkan memerah, sehingga orang sering menyebutnya blood moon.
Para astronom sejak lama menghitung dan memprediksi gerhana bulan dengan sangat akurat. Namun, pada masa lalu, masyarakat sering mengaitkan gerhana bulan dengan berbagai mitos dan kepercayaan gaib.
Mitos Gerhana Bulan di Tanah Jawa
Sejak zaman dahulu kala, banyak masyarakat menafsirkan gerhana bulan dengan cara yang beragam. Di Nusantara, sebagian masyarakat Jawa percaya gerhana bulan terjadi karena Bulan ditelan oleh Batara Kala. Batara Kala merupakan makhluk gaib dengan sosok raksasa yang haus darah terus menelan bulan. Batara Kala dianggap membawa kesialan. Masyarakat Jawa berusaha “menolong” Bulan dengan memukul kentongan, lesung, atau membuat bunyi-bunyian keras. Tujuannya adalah agar Batara Kala melepaskan Bulan.
Cerita berbeda datang dari Bali. Umat Hindu di sana meyakini gerhana bulan terjadi karena Batara Kala sedang mengganggu keseimbangan kosmis. Untuk mengembalikan harmoni, digelarlah ritual doa dan sembahyang. Jadi, gerhana tidak hanya dilihat sebagai fenomena alam, tapi juga momen spiritual.
Di daerah lain, mitos gerhana bulan mengaitkannya dengan pertanda buruk. Gerhana ini dianggap sebagai pertanda wabah, kematian orang penting, atau bencana alam. Bahkan, ada keyakinan bahwa bayi atau ibu hamil harus dilindungi saat gerhana terjadi. Perlindungan dilakukan dengan mengikat perut menggunakan peniti atau benda tajam. Tujuannya untuk menghindari bahaya gaib. Semua mitos ini mencerminkan rasa takut dan keterbatasan manusia dalam memahami fenomena alam yang luar biasa.
Pandangan Islam: Menyingkap Makna Gerhana
Islam datang membawa pencerahan dan membebaskan manusia dari berbagai mitos yang menakutkan. Rasulullah Saw bersabda dalam hadis sahih:
“Sesungguhnya Matahari dan Bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang. Maka jika kalian melihatnya, berdoalah, bertakbirlah, shalatlah, dan bersedekahlah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan dua hal penting. Pertama, gerhana bukan pertanda sial atau musibah. Gerhana merupakan fenomena alam yang menunjukkan kekuasaan Allah Swt. Kedua, sikap seorang muslim saat melihat gerhana bukanlah panik atau percaya tahayul. Umat Muslim harus mendekatkan diri kepada Allah Swt melalui doa, shalat, istighfar, dan amal kebaikan.
Shalat Gerhana: Ibadah Khusus saat Fenomena Langit
Salah satu tuntunan Rasulullah Saw saat gerhana bulan ialah melaksanakan shalat khusuf. Shalat ini berlangsung dua rakaat dengan tata cara khusus. Setiap rakaat berisi dua kali rukuk dan dua kali berdiri. Setelah shalat selesai, imam menyampaikan khutbah. Di dalamnya, imam mengingatkan jamaah untuk memperbanyak doa, istighfar, dan sedekah. Imam juga menegaskan bahwa gerhana menunjukkan kebesaran Allah Swt, bukan pertanda kematian atau kelahiran siapa pun.
Dengan cara ini, Islam menuntun umat agar memandang gerhana sebagai momentum spiritual, bukan sekadar tontonan astronomis. Ketika cahaya rembulan hilang tertutup bayangan, manusia terdorong untuk merenung. Mereka menyadari betapa kecil diri mereka di hadapan luasnya jagat raya. Mereka pun mengakui betapa Maha Besar Sang Pencipta yang mengatur peredaran planet, bintang, dan bulan dengan presisi sempurna.
Menepis Mitos dengan Ilmu Pengetahuan dan Keimanan
Di era modern ini, mitos seputar gerhana seharusnya tidak lagi mendapat tempat. Ilmu astronomi telah mampu memprediksi dengan sangat akurat kapan gerhana akan terjadi. Ilmu juga menjelaskan berapa lama durasi gerhana, dan wilayah mana saja yang dapat menyaksikannya. Namun, di sisi lain, Islam menekankan bahwa meskipun dengan penjelasan ilmiah, gerhana tetap memiliki makna spiritual. Fenomena ini adalah ayat kauniyah (tanda kebesaran Allah Swt di alam semesta). Hal ini seharusnya membuat hati manusia tunduk dan berserah diri kepada Allah Swt.
Dengan demikian, sikap terbaik umat Islam adalah memadukan ilmu pengetahuan dengan iman. Ilmu mengajarkan bahwa gerhana adalah peristiwa astronomis yang wajar. Iman mengajarkan bahwa di balik semua itu ada kekuasaan Allah Swt yang tak terbatas.
Merenung dan Berserah Diri kepada Allah Swt
Gerhana bulan total tidak menghadirkan peristiwa mistis yang membawa bencana, melainkan menyingkap tanda kebesaran Allah Swt yang layak kita renungi. Islam menolak mitos-mitos yang menakutkan masyarakat. Sebagai gantinya, Islam menghadirkan tuntunan yang menenteramkan: berdoa, shalat, istighfar, dan bersedekah.
Ketika langit Indonesia kembali berselimut dengan gerhana bulan malam ini (7-8/9/2025), mari kita menyambutnya dengan hati yang khusyuk. Jangan menyambutnya dengan ketakutan dan tahayul, tetapi dengan doa dan sujud kepada Allah Swt. Sesungguhnya, gerhana adalah pengingat bahwa alam semesta tunduk kepada-Nya, dan manusia pun seharusnya demikian. Marilah kita manfaatkan Fenomena Langit ini untuk memperkuat Iman kita. (kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
