Kesehatan
Beranda » Berita » Bagaimana Nikmatnya Makan Bisa Berubah Menjadi Penyakit?

Bagaimana Nikmatnya Makan Bisa Berubah Menjadi Penyakit?

ilustrasi, sumber: canva.com.

SURAU.CO – Perut adalah organ yang unik. Ia adalah sumber energi bagi seluruh tubuh kita. Namun, pada saat yang sama, ia juga bisa menjadi sumber dari segala penyakit. Islam, empat belas abad yang lalu, telah meletakkan sebuah fondasi kedokteran preventif yang sangat canggih. Sebuah prinsip yang kini diakui oleh ilmu pengetahuan modern. Prinsip itu sangat sederhana: jangan makan berlebihan.

Banyak orang menganggap penyakit datang dari luar. Dari virus, bakteri, atau polusi. Padahal, seringkali penyakit terbesar justru berasal dari apa yang kita masukkan ke dalam perut kita sendiri. Bahaya makan berlebihan (israf) bukan hanya berdampak pada kesehatan fisik. Ia juga merusak kesehatan spiritual. Ia mengeraskan hati, melemahkan ibadah, dan menjauhkan kita dari Allah SWT.

Akar Penyakit: Peringatan dari Para Bijak

Para ulama dan tabib Muslim sejak dulu telah memahami hubungan erat ini. Mereka menjadikan perut sebagai pusat diagnosa. Al-Harits bin Kaladah, seorang tabib Arab yang terkenal, pernah berkata:

“Penyakit yang paling banyak membunuh manusia adalah memasukkan makanan di atas makanan (sebelum makanan sebelumnya tercerna).”

Pernyataan ini sangat relevan dengan zaman kita. Di era all you can eat dan kuliner tanpa batas, kita sering makan bukan karena lapar. Kita makan karena keinginan mata. Kita terus memasukkan makanan, padahal perut kita belum siap. Inilah yang menjadi akar dari berbagai penyakit modern. Seperti obesitas, diabetes, dan penyakit jantung.

Hati-hatilah Dengan Pujian Karena Bisa Membuatmu Terlena Dan Lupa Diri

Fondasi Syariat: Konsep Emas “Sepertiga”

Rasulullah SAW, sang dokter hati dan jasad, memberikan kita sebuah resep emas. Resep ini adalah puncak dari gaya hidup sehat. Ia adalah sebuah formula matematis yang menyeimbangkan semua kebutuhan tubuh. Dalam sebuah hadits yang agung, beliau bersabda:

مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ. بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ، فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ، فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ، وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ، وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ

“Tidak ada bejana yang diisi oleh anak Adam yang lebih buruk dari perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap yang dapat menegakkan punggungnya. Jika ia harus mengisinya, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga untuk napasnya.” (HR. Tirmidzi)

Hadits ini adalah sebuah mahakarya. Mari kita bedah lapis demi lapis:

  1. Peringatan Keras: Nabi memulai dengan menyebut perut sebagai “bejana terburuk”. Ini adalah sebuah “tamparan” kesadaran.

    Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

  2. Kebutuhan Minimal: Beliau lalu menjelaskan kebutuhan dasar kita. Yaitu “beberapa suap untuk menegakkan punggung”. Ini mengajarkan kita untuk makan demi hidup, bukan hidup demi makan.

  3. Kapasitas Maksimal: Jika kita harus makan lebih, maka ada batas maksimal yang tidak boleh dilanggar. Yaitu aturan sepertiga.

Aturan sepertiga ini adalah sebuah keajaiban medis. Ia memberikan ruang yang cukup bagi lambung untuk mencerna. Ia menyediakan tempat bagi air untuk melarutkan. Dan yang paling penting, ia menyisakan ruang bagi oksigen (napas) untuk proses metabolisme. Ketika kita melanggar aturan ini, kita sedang menzalimi tubuh kita sendiri.

Dampak Spiritual: Hati yang Mengeras dan Ibadah yang Berat

Kekenyangan tidak hanya membuat tubuh menjadi malas. Ia juga membuat jiwa menjadi tumpul. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan hubungan ini dengan sangat indah. Menurut beliau, makan berlebihan akan membuat anggota tubuh terasa berat untuk melakukan ketaatan. Ia juga akan menggerakkan anggota tubuh untuk mengikuti syahwat.

Perut yang penuh akan melahirkan beberapa penyakit spiritual:

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

  • Malas Beribadah: Mata akan mudah mengantuk. Badan terasa berat untuk bangkit shalat malam.

  • Hati yang Keras: Kekenyangan akan mematikan kepekaan hati. Ia sulit menerima nasihat dan menangis karena dosa.

  • Lisan yang Lalai: Orang yang kenyang cenderung banyak berbicara tentang hal sia-sia.

Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah pernah menasihati:

“Jika engkau ingin badanmu sehat dan tidurmu sedikit, maka sedikitkanlah makanmu.”

Kendalikan Perutmu, Maka Engkau Mengendalikan Hidupmu

Terakhir, kita belajar sebuah prinsip hidup yang sangat fundamental. Mengendalikan perut adalah langkah pertama untuk mengendalikan seluruh aspek kehidupan kita. Ia adalah kunci kesehatan fisik dan kesucian ruhani.

Mari kita terapkan sunnah ini. Berhentilah makan sebelum kenyang. Berikan hak perut kita, hak air, dan hak napas kita. Dengan begitu, kita tidak hanya akan terhindar dari berbagai penyakit. Kita juga akan merasakan ringannya tubuh untuk beribadah. Dan yang terpenting, kita akan merasakan lezatnya kedekatan dengan Allah SWT. Karena hati yang lapar lebih mudah untuk khusyuk daripada hati yang kekenyangan.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement