SURAU.CO. Baru-baru ini, sebuah berita mengejutkan menjadi sorotan banyak pihak. Seorang sopir bank Jawa Tengah berhasil membawa kabur uang puluhan miliar rupiah dengan dalih memindahkan parkir mobil. Institusi tempatnya bekerja memberikan kepercayaan penuh dan ia telah bekerja selama bertahun-tahun dengan gaji yang tergolong pas-pasan, sekitar 3 juta per bulan. Dengan modus pindah parkir, ia berhasil mengelabui rekan kerjanya seorang teller dan satu petugas keamanan, kemudian membawa kabur dana hingga 10 miliar rupiah.
Peristiwa ini membawa kita pada sebuah diskusi penting, bagaimana Islam memandang pekerjaan di lembaga perbankan, di tengah keraguan tentang kehalalannya?
Dalam beberapa tahun terakhir, isu mengenai status halal atau haramnya bekerja di sektor perbankan menjadi bahan diskusi yang kian hangat di tengah masyarakat. Diskusi ini ramai, terutama di kalangan Muslim yang ingin menjunjung tinggi prinsip-prinsip syariat Islam dalam kehidupan profesional mereka. Banyak orang memandang pekerjaan di bank sebagai jalan karier yang mapan dan stabil secara finansial. Namun, tak sedikit pula yang merasa ragu karena sistem perbankan konvensional umumnya tak terlepas dari praktik riba. Dimana Islam secara jelas melarang praktik ribawi.
Para ulama pun turut memberi perhatian serius terhadap persoalan ini. Mereka mengkaji dengan mendalam dari berbagai sudut pandang fikih. Penilaian hukum terhadap pekerjaan di bank sangat bergantung pada beberapa faktor penting. Seperti jenis bank (konvensional atau syariah), jabatan yang menjadi tanggung jawab, serta sejauh mana keterlibatan individu dalam aktivitas riba. Oleh karena itu, umat Islam perlu memahami kompleksitas isu ini sebelum mengambil keputusan, agar langkah mereka tetap berada dalam koridor syariat yang benar.
Dasar Syariah tentang Transaksi Keuangan
Islam telah meletakkan fondasi ekonomi yang adil dan berlandaskan etika sejak awal. Inti ajarannya melarang riba, yaitu bunga eksploitatif yang merugikan satu pihak dan menguntungkan pihak lain tanpa landasan keadilan. Riba itu sendiri merupakan istilah dalam Islam terhadap kegiatan pengambilan tambahan (bunga) dari transaksi jual beli atau pinjam meminjam secara tidak adil. Dalam Al-Qur’an, Allah memperingatkan tentang haramnya riba.
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Riba termasuk dosa besar dalam Islam. Rasulullah ﷺ menegaskan melalui sabda-Nya: “Allah melaknat orang yang memakan riba, yang memberikannya, yang mencatatnya, dan para saksi… semuanya sama.” (HR. Muslim)
Islam lebih mendorong bentuk keuangan yang berdasarkan keadilan. Seperti jual beli (muamalah), mudharabah (bagi hasil), musyarakah (kerjasama), atau ijarah (sewa), yang semuanya menekankan prinsip keseimbangan dan tanggung jawab bersama.
Dalam hadis lain, Rasulullah ﷺ menggambarkan betapa besarnya dosa orang yang memakan riba. Rasulullah ﷺ bersabda, “Riba itu ada 73 pintu, pintu yang paling ringan adalah seperti seorang laki-laki menyetubuhi ibunya dalam keadaan haid.” (HR. Ahmad)
Islam memandang riba sebagai bentuk kezhaliman yang dapat menghancurkan keadilan sosial dan merusak tatanan ekonomi masyarakat. Dalam praktik perbankan modern, riba umumnya muncul dalam bentuk bunga bank terhadap nasabah, baik meminjam dana ataupun menyimpan. Bunga inilah yang menjadi pokok permasalahan dan sering kali menjadi titik tolak penilaian hukum Islam terhadap sistem perbankan konvensional.
Pandangan Ulama tentang Bekerja di Bank Konvensional
Para ulama berbeda pendapat tentang halal atau haramnya bekerja di bank konvensional. Setidaknya ada tiga pendapat utama tentang status secara syariat bekerja di bank konvensional.
1. Pendapat yang Mengharamkan
Mayoritas ulama klasik, termasuk Syaikh Abdul Aziz bin Baz, menyatakan bahwa bekerja di bank konvensional adalah haram, meskipun pekerjaannya tidak langsung berhubungan dengan pengambilan bunga. Alasannya, aktivitas bank konvensional yang menggunakan sistem bunga merupakan riba dan keterlibatan apa pun berarti turut mendukung sistem riba di dalamnya.
Mereka menekankan larangan atas “kerja sama dalam dosa” bagi setiap orang yang bekerja di bank konvensional. Sebagaimana Al-Quran menjelaskan dalam surat Al-Maidah ayat 2.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (QS. Al-Maidah ayat 2)
2. Pendapat yang Memberi Pengecualian
Di sisi lain, beberapa ulama termasuk Syaikh Yusuf al-Qardhawi mengambil pendekatan lebih moderat. Ia membolehkan umat Islam bekerja di bank konvensional, setidaknya di posisi yang tidak terlibat langsung dengan transaksi riba. Bekerja di bank konvensional tidak sepenuhnya haram, karena tidak semua aktivitas di bank menyangkut riba. Mereka membolehkan bekerja di bank konvensional pada posisi yang tidak berhubungan langsung dengan pengambilan bunga bank (riba).
Para ulama ini memiliki pendapat yang lebih fleksibel, keharaman bekerja di bank tergantung situasi dan niat. Dalam keadaan darurat atau sulit mencari alternatif halal, membolehkan bekerja di bank konvensional, selama bukan berhubungan langsung dengan aktivitas riba. Kemudian muslim semestinya turut mengelola sistem ekonomi agar non-Muslim tidak sepenuhnya menguasai.
Namun, para ulama ini juga mengingatkan jika ada alternatif pekerjaan lain yang pasti halal. Sebaiknya seorang Muslim berusaha menghindari bekerja di tempat yang terlibat langsung dengan riba.
3. Pendapat Membolehkan
Pendekatan ini didukung oleh kaidah fiqh dalam situasi mendesak (darurat). Darurat memperbolehkan yang dilarang (ad-darurat tubih al-mahzurat), meskipun hanya boleh dengan kadar yang diperlukan.
Beberapa ulama menganggap praktik perbankan ribawi sebagai umumul balwa, yaitu fenomena yang hampir tidak terhindarkan di sistem ekonomi modern. Dalam sistem ekonomi modern, perbankan merupakan institusi yang ada dalam keseharian. Maka, dalam situasi dimana aktivitas perbankan konvensional menjadi satu-satunya pilihan, maka bekerja di bank tidak bisa dihindari dan bisa dianggap sebagai darurat.
Langkah Bijak bagi yang Sudah Bekerja di Bank Konvensional
Bagi individu yang telah bekerja di bank konvensional dan mulai mempertanyakan kehalalan profesinya, penting untuk menelaah berbagai opsi yang tersedia melalui pendekatan yang cermat dan berbasis ilmu. Keraguan semacam ini mencerminkan kesadaran religius yang semakin berkembang dan perlu direspons dengan langkah yang bijak dan terencana.
1. Beralih ke Lembaga Keuangan Syariah
Banyak profesional Muslim memilih untuk berhijrah ke bank syariah sebagai bentuk konsistensi terhadap nilai-nilai Islam. Lembaga keuangan syariah di Indonesia dan global terus tumbuh dan membuka peluang bagi tenaga ahli berpengalaman dari sektor konvensional. Dengan memindahkan karier ke bank syariah, seseorang tidak hanya menjaga integritas, tetapi juga ikut membangun sistem ekonomi yang lebih adil dan bebas riba.
2. Menyesuaikan Peran dalam Struktur Bank
Apabila transisi ke bank syariah belum memungkinkan, individu dapat mengupayakan reposisi ke departemen yang tidak berkaitan langsung dengan transaksi berbasis bunga. Misalnya, mereka bisa berkontribusi dalam unit teknologi informasi, pengembangan sumber daya manusia, atau hukum, yang secara umum tidak terlibat langsung dalam aktivitas ribawi.
Dengan demikian, mereka tetap menjalankan fungsi profesional tanpa harus melanggar prinsip syariah secara langsung. Namun, perlu diingat bahwa sebagian besar ulama berpendapat mengharamkan semua jenis pekerjaan di bank konvensional.
3. Konsultasi Syariah secara Personal
Setiap situasi individu memiliki kompleksitasnya sendiri. Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk berkonsultasi langsung dengan ulama atau penasihat syariah yang kompeten di bidang muamalah. Melalui dialog terbuka, seseorang dapat memperoleh fatwa atau panduan yang bersifat kontekstual, sesuai dengan kondisi pribadi dan tanggung jawab yang diemban. Pendekatan ini membantu menyeimbangkan tuntutan profesional dengan komitmen terhadap syariat agama.
Perbankan Syariah sebagai Pilar Ekonomi Islam
Sebagai respons atas kekhawatiran umat Islam terhadap praktik riba yang dilarang dalam syariat, para ekonom Muslim dan cendekiawan fiqh mengembangkan konsep bank syariah sebagai solusi strategis. Institusi keuangan ini beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip muamalah Islam, yang menekankan keadilan, transparansi, dan pelarangan eksploitasi melalui bunga (riba). Bank syariah menerapkan sistem bagi hasil (mudharabah dan musyarakah), serta skema pembiayaan berbasis akad halal seperti ijarah (sewa), murabahah (jual beli), dan wakalah (perwakilan).
Para profesional yang bekerja di bank syariah menjalankan aktivitas keuangan yang telah melalui pengawasan Dewan Pengawas Syariah (DPS), sehingga prosesnya terjamin sesuai dengan ketentuan fikih muamalah. Banyak ulama mendukung kerja di sektor ini, karena dinilai tidak hanya halal secara syariat, tetapi juga berkontribusi dalam memperkuat ekonomi umat yang inklusif dan berkelanjutan.
Dengan memilih berkarir di lembaga keuangan syariah, umat Islam berupaya menghindari keterlibatan dalam praktik yang bertentangan dengan ajaran agama, sambil tetap mengembangkan potensi diri di dunia keuangan modern. Bank syariah pun menjadi arena sinergi antara nilai spiritual dan profesionalisme ekonomi, menawarkan alternatif nyata yang relevan di tengah tantangan sistem keuangan konvensional.
Apa yang Harus Dilakukan Seorang Muslim?
Isu mengenai halal atau haram bekerja di bank konvensional adalah isu yang kompleks di tengah kehidupan ekonomi modern yang membutuhkan aktivitas perbankan. Sebagai umat muslim harus memperhatikan syariat Islam dalam setiap aktivitas, apalagi dalam mencari sumber penghasilan. Memastikan bahwa setiap rupiah yang kita hasilkan dari bekerja adalah uang halal.
Kita perlu memahami secara jujur kondisi dan posisi saat ini di dunia kerja. Jika kita bekerja di bank, tinjau ulang kembali apakah secara langsung mendukung aktivitas berbasis riba atau tidak. Bila ternyata aktivitas terlibat dalam praktik yang bertentangan dengan prinsip syariah, segeralah mencari alternatif yang lebih sesuai. Salah satu pilihan terbaik adalah beralih ke bank syariah, yang menerapkan sistem keuangan berbasis akad-akad Islam seperti bagi hasil (mudharabah dan musyarakah), murabahah, atau ijarah.
Jika saat ini menempati posisi di bank konvensional yang tidak secara langsung terlibat dengan praktik riba, tetaplah waspada dan jagalah niat untuk berhijrah ke sektor keuangan syariah ketika kesempatan itu datang. Terus meningkatkan pemahaman dan kompetensi dalam keuangan Islam sebagai bekal profesional.
Di sisi lain, integritas dan etika harus senantiasa dijaga, baik dalam posisi strategis maupun ketika merekrut staf pendukung seperti sopir atau pekerja non-manajerial. Banyak kasus viral menunjukkan bahwa kelalaian dalam hal kecil bisa berdampak besar terhadap reputasi dan kepercayaan publik. Maka, bangunlah karier dengan fondasi moral yang kokoh dan visi yang selaras dengan nilai-nilai Islam.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
