Keadilan adalah roti yang harus dibagi rata. Kalimat ini sederhana, namun di baliknya tersimpan hakikat besar yang pernah ditegaskan oleh Ibn Taimiyah dalam al-Siyāsah al-Syar‘iyyah. Tidak ada negeri yang berdiri kokoh tanpa keadilan, sebagaimana tidak ada tubuh yang mampu tegak tanpa roti yang mengenyangkan perutnya. Sejak paragraf pertama ini, kita belajar bahwa menegakkan keadilan bukan sekadar teori hukum, melainkan ibadah sosial, amal kebajikan, dan napas kehidupan berbangsa.
Saat roti hanya sampai di meja para penguasa
Saya pernah melihat pemandangan yang mengiris hati di sebuah pasar pagi. Seorang bapak tua menjual singkong dengan tangan gemetar, sementara di seberang jalan mobil-mobil mewah parkir di depan kafe mahal. Perbedaan itu tidak hanya soal rezeki, melainkan tentang siapa yang mendapat keadilan dan siapa yang terpinggirkan.
Ibn Taimiyah menulis dengan tegas:
إِنَّ الْمُقْصُودَ مِنَ السِّيَاسَةِ هُوَ عِمَارَةُ الدِّينِ وَالدُّنْيَا بِالْعَدْلِ
“Sesungguhnya tujuan dari politik (kekuasaan) adalah membangun agama dan dunia dengan keadilan.”
Roti harus dibagi rata, sebab kelaparan yang dibiarkan akan melahirkan keputusasaan, dan keputusasaan adalah bibit keruntuhan.
Kita sering rajin beribadah, namun apakah kita ikut menjaga hak orang lain? Keadilan tidak sekadar wacana, ia harus nyata di meja makan rakyat.
Negeri yang hidup karena tegaknya timbangan
Dalam perjalanan sejarah, banyak negeri besar tumbang bukan karena musuh luar, melainkan karena keadilan terjual kepada yang berkuasa. Ibn Taimiyah bahkan mengingatkan:
إِنَّ اللَّهَ يُقِيمُ الدَّوْلَةَ الْعَادِلَةَ وَإِنْ كَانَتْ كَافِرَةً، وَلَا يُقِيمُ الظَّالِمَةَ وَإِنْ كَانَتْ مُسْلِمَةً
“Sesungguhnya Allah menegakkan negara yang adil meskipun kafir, dan tidak menegakkan negara yang zalim meskipun muslim.”
Kalimat ini seakan tamparan bagi kita. Betapa Allah menaruh keadilan di atas simbol-simbol identitas. Negeri akan hidup karena timbangan tegak, bukan karena bendera atau slogan suci semata.
Pernah saya duduk di warung kopi kampung. Seorang kawan mengeluh:
Kawan: “Kenapa hukum selalu tajam ke bawah tapi tumpul ke atas?”
Saya: “Karena kita belum berani menjadikan keadilan sebagai ibadah, bukan sekadar aturan.”
Keluhan itu nyata. Di sinilah relevansi nasihat Ibn Taimiyah:
عَلَى الْوَالِي أَنْ يَجْعَلَ الْعَدْلَ أَصْلًا فِي سِيَاسَتِهِ، فَإِنَّ بِهِ تَصْلُحُ الرَّعِيَّةُ
“Seorang pemimpin wajib menjadikan keadilan sebagai pokok dalam kebijakannya, karena dengannya rakyat menjadi baik.”
Keadilan bukan sekadar konsep akademis, melainkan obat bagi keresahan sosial.
- Mulailah adil dari rumah: jangan beda-bedakan anak atau keluarga.
- Tegakkan kejujuran di tempat kerja, meski kecil.
- Dukung hukum yang berpihak pada kebenaran, bukan kepentingan.
- Suarakan ketidakadilan dengan cara damai, jangan bungkam.
Ibadah yang melampaui sajadah
Ritual memberi ketenangan pribadi, tapi keadilan memberi keselamatan bagi masyarakat. Ibn Taimiyah menegaskan:
مَا لَا يَقُومُ الدِّينُ إِلَّا بِهِ مِنَ الْعَدْلِ فَهُوَ مِنْ أَعْظَمِ الْوَاجِبَاتِ
“Segala sesuatu yang tanpa itu agama tidak akan tegak, yaitu keadilan, maka itu termasuk kewajiban terbesar.”
Inilah ibadah yang melampaui sajadah. Shalat menjaga hati, zakat membersihkan harta, tapi keadilan menjaga seluruh sendi kehidupan.
Sains modern yang menguatkan pesan klasik
Data dari World Justice Project Rule of Law Index (2022) menunjukkan, negara dengan sistem hukum adil memiliki indeks kebahagiaan rakyat lebih tinggi. Ini menggemakan pesan Ibn Taimiyah berabad-abad lalu: hukum yang adil adalah sumber kesejahteraan, bahkan sebelum kita bicara tentang pembangunan fisik.
Keadilan adalah roti yang harus dibagi rata. Jika roti hanya sampai di meja para penguasa, maka rakyat akan kelaparan dalam ketidakadilan. Tetapi bila roti dibagi dengan adil, doa rakyat akan naik ke langit dan menjaga negeri.
اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنْ عِبَادِكَ الْعَادِلِينَ، وَارْزُقْنَا قَادَةً يَرَوْنَ الْحُكْمَ أَمَانَةً لَا غَنِيمَةً
“Ya Allah, jadikan kami hamba-hamba-Mu yang adil, dan karuniakan kepada kami pemimpin yang melihat kekuasaan sebagai amanah, bukan rampasan.”
Pertanyaannya: apakah kita rela melihat sesama lapar dalam ketidakadilan, atau kita mau berbagi roti keadilan sebagai ibadah tertinggi?
* Reza Andik Setiawan
Pengasuh Ruang Kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
