Fiqih
Beranda » Berita » Hukum Berbicara Saat Makan: Sunnah Hangat yang Menghidupkan Suasana

Hukum Berbicara Saat Makan: Sunnah Hangat yang Menghidupkan Suasana

Gambar ilustrasi, makan bersama. Sumber: canva.com

SURAU.CO – Di sebagian masyarakat kita, ada sebuah adab tak tertulis. Saat makan, semua orang harus diam. Berbicara dianggap tidak sopan atau bahkan pamali. Anak-anak seringkali ditegur oleh orang tuanya. “Jangan bicara saat mulut penuh makanan.” Nasihat ini, meskipun niatnya baik, seringkali disalahpahami. Banyak yang mengira bahwa diam saat makan adalah bagian dari ajaran agama.

Padahal, jika kita membuka kembali lembaran sunnah, kita akan menemukan sebuah pemandangan yang sangat berbeda. Islam memandang momen makan bersama bukan sekadar aktivitas fisiologis untuk mengisi perut. Ia adalah sebuah panggung interaksi sosial. Sebuah kesempatan emas untuk merajut kehangatan dan menebar kebaikan. Memahami hukum berbicara saat makan akan mengubah meja makan kita dari ruang hening menjadi taman yang penuh berkah.

Mitos yang Perlu Diluruskan

Pertama, kita harus meluruskan sebuah mitos. Larangan berbicara saat makan tidak memiliki dasar sama sekali dari syariat Islam. Tidak ada satu pun ayat atau hadits yang memerintahkan kita untuk diam saat menyantap hidangan. Larangan ini lebih bersifat tradisi atau kebiasaan lokal. Tujuannya mungkin baik, yaitu untuk mencegah tersedak. Namun, ia tidak boleh dinaikkan ke level hukum syar’i.

Justru sebaliknya, sunnah Rasulullah SAW menunjukkan bahwa beliau aktif berbicara saat makan. Beliau menjadikan momen makan sebagai kesempatan untuk berinteraksi, bertanya, dan bahkan mengajar.

Dimensi Pertama: Fondasi Sunnah: Dialog Hangat di Meja Makan Nabi

Dalil paling kuat dalam masalah ini adalah sebuah hadits yang indah. Hadits ini merekam sebuah momen sederhana, namun penuh pelajaran. Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu menceritakan:

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم سَأَلَ أَهْلَهُ الْأُدُمَ، فَقَالُوا: مَا عِنْدَنَا إِلَّا خَلٌّ، فَدَعَا بِهِ، فَجَعَلَ يَأْكُلُ بِهِ، وَيَقُولُ: نِعْمَ الْأُدُمُ الْخَلُّ، نِعْمَ الْأُدُمُ الْخَلُّ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada keluarganya tentang lauk. Mereka menjawab, ‘Kami tidak punya apa-apa kecuali cuka.’ Beliau pun minta diambilkan cuka itu dan memakannya bersama roti. Beliau lalu bersabda, ‘Sebaik-baik lauk adalah cuka. Sebaik-baik lauk adalah cuka.’” (HR. Muslim)

Mari kita bedah interaksi ini lapis demi lapis:

  1. Inisiatif: Rasulullah SAW yang memulai percakapan dengan bertanya.

  2. Dialog: Terjadi tanya jawab antara beliau dan keluarganya.

    Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

  3. Apresiasi: Beliau bukan hanya berbicara, tetapi berbicara dengan kalimat yang positif. Beliau memuji lauk sederhana yang ada.

Hadits ini meruntuhkan mitos diam saat makan. Ia menunjukkan bahwa berbicara bukan hanya boleh. Berbicara yang baik justru menjadi sebuah sunnah yang dicontohkan langsung oleh Nabi. Imam An-Nawawi rahimahullah menegaskan:

“Hadits ini menunjukkan dianjurkannya berbicara ketika makan untuk membuat suasana menjadi akrab.”

Dimensi Kedua: Berbicara Sebagai Perekat Hubungan

Di sinilah letak keindahan syariat. Momen makan bersama adalah waktu berkualitas. Terutama bagi sebuah keluarga di zaman modern yang sibuk. Di meja makan inilah seorang ayah bisa bertanya tentang hari anaknya. Seorang suami bisa mengapresiasi masakan istrinya. Anggota keluarga bisa berbagi cerita dan tawa.

Berbicara saat makan menjadi “lem” yang merekatkan ikatan emosional. Keheningan justru bisa menciptakan jarak. Ia mengubah momen kebersamaan menjadi sekadar rutinitas individual.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Filter Pembicaraan (Kalam Hasan)

Tentu, izin untuk berbicara ini bukanlah sebuah cek kosong. Ia datang dengan sebuah filter yang sangat penting. Pembicaraan yang dianjurkan adalah kalam hasan (pembicaraan yang baik). Apa pun yang baik di luar waktu makan, maka ia juga baik di waktu makan.

Sebaliknya, apa pun yang haram di luar waktu makan, maka ia menjadi lebih haram di waktu makan. Karena ia merusak keberkahan nikmat yang sedang kita santap. Contoh pembicaraan yang buruk adalah ghibah (menggunjing), fitnah, atau keluh kesah yang berlebihan.

Kesimpulan: Hidupkan Sunnah di Meja Makan Kita

Pada akhirnya, kita mendapatkan sebuah pemahaman yang utuh. Hukum berbicara saat makan tidak hanya boleh, tetapi dianjurkan jika isinya baik. Ia adalah sunnah yang sering terlupakan. Sebuah sunnah yang memiliki dampak psikologis dan sosial yang sangat besar.

Mari kita ubah kebiasaan kita. Jangan lagi jadikan meja makan sebagai tempat yang sunyi. Jadikan ia sebagai “madrasah” kecil bagi keluarga kita. Madrasah untuk belajar bersyukur. Madrasah untuk belajar berkomunikasi. Dan madrasah untuk meneladani akhlak mulia dari Rasulullah SAW. Dengan begitu, setiap suapan kita tidak hanya akan mengenyangkan perut, tetapi juga akan mengisi jiwa.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement