Khazanah
Beranda » Berita » Larangan Mencela Makanan

Larangan Mencela Makanan

Larangan Mencela Makanan. Sumber: canva.com

SURAU.CO – Bayangkan sebuah adegan yang akrab. Seseorang menyajikan hidangan untuk kita. Mungkin itu istri kita yang memasak dengan cinta, atau seorang teman yang menjamu dengan tulus. Namun, rasa makanan itu ternyata tidak sesuai dengan selera kita. Seketika, lidah kita ingin melontarkan kritik: “Terlalu asin,” “kurang matang,” atau “tidak enak.” Di sinilah, kita berada di sebuah persimpangan akhlak yang sangat krusial. Sebab, di sinilah cermin iman dan adab kita diuji.

Melalui teladan Rasulullah SAW, Islam mengajarkan kita sebuah etika ketika sedang di meja makan. Etika ini bukan sekadar tentang sopan santun. Sebaliknya, ia adalah sebuah jalinan kompleks yang menghubungkan makanan di piring kita, hati orang yang memasak, dan rasa syukur kita kepada Sang Pemberi Rezeki. Dengan demikian, memahami larangan mencela makanan akan mengubah cara kita memandang setiap hidangan.

Fondasi Adab: Cetak Biru dari Sunnah Nabi

Landasan dari adab ini sangatlah sederhana namun mendalam. Ia terekam dalam sebuah hadits yang menjadi pedoman utama. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sahabat yang paling banyak merekam kehidupan Nabi, bersaksi:

مَا عَابَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم طَعَامًا قَطُّ، إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ، وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mencela makanan sama sekali. Apabila beliau berselera (suka), maka beliau memakannya. Apabila beliau tidak suka, maka beliau meninggalkannya.” (HR. Bukhari & Muslim)

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Hadits ini ibarat sebuah cetak biru (blueprint) akhlak. Ia memberikan dua pilihan yang sangat elegan dan penuh hikmah, tanpa adanya pilihan ketiga berupa “mencela”.

Dimensi Pertama: Menghubungkan Makanan dengan Ar-Razzaq

Pertama-tama, mengapa mencela makanan menjadi begitu tercela? Karena pada hakikatnya, setiap butir nasi dan setiap potong lauk adalah nikmat langsung dari Allah SWT. Dialah Ar-Razzaq, Sang Maha Pemberi Rezeki. Oleh karena itu, ketika lisan kita mencela sebuah hidangan, secara tidak langsung kita sedang menunjukkan kurangnya rasa syukur atas nikmat tersebut.

Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan dimensi teologis ini:

“Karena makanan adalah ciptaan Allah Ta’ala, maka tidak sepantasnya untuk dicela.”

Dengan kata lain, mencela makanan bisa dimaknai sebagai mencela takdir Allah pada hari itu. Seolah kita berkata, “Ya Allah, mengapa rezeki yang Engkau berikan hari ini tidak sesuai seleraku?” Tentu, ini adalah sebuah sikap yang sangat berbahaya.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Dimensi Kedua: Menjaga Hati Sang Pemberi Hidangan

Selanjutnya, mari kita turun dari level teologis ke level sosial. Di balik setiap hidangan, ada tangan yang telah bekerja dan hati yang berharap jerih payahnya dihargai. Dengan demikian, mencela makanan adalah seperti menikam hati orang yang telah bersusah payah memasaknya.

Bayangkan perasaan seorang istri yang telah menghabiskan waktu di dapur. Lalu, suaminya pulang dan mengkritik masakannya dengan tajam. Tentu, kritikan itu akan merusak keharmonisan. Padahal, menjaga perasaan sesama muslim adalah bagian inti dari akhlak Islam. Dan Rasulullah SAW adalah orang yang paling pandai menjaga perasaan orang lain.

Dimensi Ketiga: Solusi Elegan dan Penuh Kontrol Diri

Hadits di atas tidak hanya memberikan larangan. Lebih dari itu, ia juga memberikan solusi yang sangat praktis dan penuh wibawa, yaitu “diam dan tinggalkan”. Tindakan “meninggalkannya” bukanlah sikap yang pasif. Sebaliknya, ia adalah sebuah tindakan aktif yang membutuhkan kontrol diri yang luar biasa.

Ia mengajarkan kita untuk:

  1. Mengendalikan Lisan: Menahan diri dari ucapan yang menyakitkan adalah sebuah jihad.

    Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

  2. Menunjukkan Qana’ah: Menerima apa yang ada dengan lapang dada.

  3. Menjaga Kehormatan Tuan Rumah: Diamnya kita adalah bentuk penghormatan tertinggi.

Sikap ini sangat kontras dengan budaya modern, di mana orang begitu mudah memberikan ulasan pedas. Sunnah ini mengajak kita untuk kembali kepada keanggunan dalam berekspresi.

Transformasi Meja Makan Menjadi Majelis Zikir

Pada akhirnya, larangan mencela makanan adalah sebuah kurikulum akhlak yang lengkap. Ia mengajarkan kita tentang tauhid, muamalah, dan juga penyucian jiwa.

Oleh karena itu, mari kita hidupkan sunnah yang mulia ini. Jadikan setiap momen di meja makan sebagai kesempatan untuk bersyukur. Jika kita menyukainya, makanlah sambil memuji Allah. Namun, jika kita tidak menyukainya, diamlah sambil tetap bersyukur atas nikmat lain yang tak terhitung jumlahnya. Dengan begitu, meja makan kita akan berubah dari sekadar tempat mengisi perut, menjadi sebuah majelis zikir dan syukur.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement