Khazanah
Beranda » Berita » Kewajiban Ayah Saat Anak Lalai Shalat

Kewajiban Ayah Saat Anak Lalai Shalat

Ilustrasi ayah dan anak. Sumber: canva.com

SURAU.CO – Peran seorang ayah dalam Islam jauh melampaui sekadar mencari nafkah. Sebaliknya, ia adalah seorang gembala (ra’in), dan amanah terbesar dari gembalaan itu adalah iman anak-anaknya. Di antara semua pilar iman, shalat adalah tiang utamanya. Oleh karena itu, ketika tiang ini mulai goyah pada diri seorang anak, sesungguhnya alarm bahaya sedang berbunyi nyaring. Alarm ini secara langsung ditujukan kepada sang ayah.

Lantas, apa yang harus seorang ayah lakukan ketika ia melihat anaknya mulai meremehkan shalat? Apakah cukup dengan menasihati? Ataukah ada langkah-langkah lain yang lebih tegas? Syariat Islam tidak membiarkan kita dalam kebingungan. Sebaliknya, ia memberikan sebuah kurikulum pendidikan yang sangat jelas dan bertahap.

Fondasi Amanah: Perintah Langit untuk Menyelamatkan Keluarga

Sebelum membahas metodenya, kita harus memahami fondasinya terlebih dahulu. Kewajiban ayah mendidik shalat bukanlah inisiatif pribadi, melainkan sebuah mandat langsung dari Allah SWT. Perintah ini terukir dalam sebuah ayat yang seharusnya membuat setiap ayah terjaga di malam hari:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6)

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Ayat ini ibarat surat tugas bagi setiap pemimpin keluarga. Tujuan akhirnya adalah “Menjaga dari api neraka”. Lantas, bagaimana cara utamanya? Para ulama menafsirkan bahwa caranya adalah dengan mengajarkan mereka pondasi agama, di mana shalat adalah pondasi yang paling utama. Dengan demikian, jika seorang ayah membiarkan anaknya tidak shalat, ia secara tidak langsung sedang membiarkan keluarganya berjalan menuju api neraka.

Kurikulum Nabawi: Tiga Tahapan Pendidikan Shalat

Rasulullah SAW memberikan kita sebuah metodologi pendidikan yang brilian. Metodologi ini terbagi menjadi tiga tahapan seiring dengan perkembangan usia anak.

Tahap 1: Penanaman (Usia 7 Tahun)
Ini adalah fase pengenalan dan pembiasaan. Di sini, peran ayah adalah sebagai seorang “motivator”. Rasulullah SAW bersabda:

مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat ketika mereka berusia tujuh tahun.” (HR. Abu Dawud)

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Kata kunci di sini adalah murru (perintahkanlah). Namun, perintah ini bukanlah perintah militer yang kaku. Sebaliknya, ia adalah perintah yang penuh dengan ajakan, bujukan, dan teladan. Misalnya, ayah mengajak anaknya ke masjid. Ia juga membelikannya sajadah yang indah. Selain itu, ayah memujinya setiap kali ia menyelesaikan shalat. Tujuannya adalah menanamkan asosiasi positif antara shalat dan kebahagiaan.

Tahap 2: Penegasan (Usia 10 Tahun)
Tiga tahun kemudian, pendekatan pun mulai berubah. Jika anak masih lalai, maka ketegasan mulai diperkenalkan. Hadits di atas berlanjut:

وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ

“Dan pukullah mereka (jika meninggalkannya) pada usia sepuluh tahun.”

Pukulan di sini tentu bukanlah pukulan untuk menyakiti. Para ulama sepakat bahwa ia adalah dharban ghaira mubarrih (pukulan yang tidak menyakitkan). Tujuannya bukan untuk melukai fisik, melainkan untuk mengirimkan sebuah pesan psikologis yang tegas. Pesan itu berbunyi: “Shalat bukan lagi permainan, melainkan sebuah kewajiban yang sangat serius.”

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Tahap 3: Konsekuensi (Setelah Baligh)
Inilah tahap yang paling berat dan seringkali disalahpahami. Ketika seorang anak telah mencapai usia baligh, ia menjadi seorang mukallaf, artinya ia telah menanggung beban syariatnya sendiri. Lalu, apakah peran ayah selesai? Jawabannya adalah tidak. Justru, perannya menjadi lebih krusial.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah memberikan fatwa yang sangat tegas mengenai hal ini:

“Jika anak tersebut sudah baligh dan berakal, lalu ia tidak mau shalat, maka tidak ada hak baginya untuk tetap tinggal di rumah. Wajib bagi sang ayah untuk mengusirnya. Karena ia tidak berhak mendapatkan perlindungan dan pembiayaan.”

Fatwa ini mungkin terdengar keras. Akan tetapi, ia lahir dari pemahaman yang sangat dalam. Meninggalkan shalat secara sengaja adalah dosa terbesar setelah syirik. Maka dari itu, sikap tegas seorang ayah di sini adalah bentuk nahi munkar yang paling akhir sebagai “terapi kejut”.

Hakikat Tindakan: Penyelamatan, Bukan Hukuman

Penting untuk kita pahami hakikat di balik setiap tahapan ini. Semua tahapan ini, dari perintah lembut hingga pengusiran, semuanya berakar pada satu hal: cinta dan keinginan untuk menyelamatkan. Seorang ayah yang tegas tentang shalat bukanlah ayah yang kejam. Sebaliknya, ia laksana seorang dokter yang memaksa pasiennya meminum obat pahit. Prosesnya mungkin tidak menyenangkan. Namun, tujuannya adalah kesembuhan dan keselamatan abadi.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement