SURAU.CO – Wafatnya seorang pemimpin selalu meninggalkan duka mendalam, apalagi jika sosok tersebut adalah pribadi yang sangat dihormati dan dicintai umat. Begitulah yang terjadi ketika Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, pemimpin pertama umat Islam setelah Rasulullah SAW, menghembuskan napas terakhirnya. Kisah wafatnya Abu Bakar bukan hanya tentang akhir hayat seorang individu, melainkan juga cerminan kekuatan iman, keteladanan, dan transisi kepemimpinan penting dalam sejarah Islam.
Awal Mula Sakitnya Sang Khalifah
Kesehatan Abu Bakar mulai menurun setelah ia kembali dari memandikan jenazah Rasulullah SAW. Peristiwa tersebut merupakan pukulan berat bagi dirinya, dan kesedihan yang mendalam tampak membekas pada raut wajahnya. Namun, kondisi fisiknya yang melemah secara signifikan terjadi pada awal Jumadil Akhir tahun ke-13 Hijriah. Khalifah Abu Bakar jatuh sakit setelah mandi pada hari yang sangat dingin. Tubuhnya demam tinggi selama kurang lebih lima belas hari. Penyakit ini menggerogoti tubuhnya yang telah menua, hingga akhirnya ia tidak mampu lagi menghadiri salat berjamaah di masjid.
Umar bin Khattab, yang kelak akan menggantikannya, menjadi imam salat selama masa sakitnya. Ini merupakan indikasi awal bahwa Abu Bakar sedang mempersiapkan suksesi kepemimpinan, sebuah langkah bijaksana yang menunjukkan visinya untuk masa depan umat. Ketika sakitnya semakin parah, para sahabat dan kerabat datang menjenguknya. Mereka melihat kondisi Abu Bakar yang sangat lemah, namun jiwanya tetap teguh dan imannya tak tergoyahkan.
Wasiat Sang Khalifah: Penunjukan Umar bin Khattab
Menyadari ajalnya semakin dekat, Abu Bakar memikirkan siapa yang paling tepat untuk memimpin umat Islam selanjutnya. Setelah melalui pertimbangan matang dan konsultasi dengan para sahabat senior, hatinya mantap memilih Umar bin Khattab. Keputusan ini ia sampaikan kepada Abdurrahman bin Auf dan Utsman bin Affan, dua sahabat terkemuka.
“Demi Allah, aku tidak akan mengatakan kepadamu kecuali kebaikan. Demi Allah, dia adalah yang terbaik di antara kalian,” ucap Abu Bakar kepada Abdurrahman bin Auf, merujuk pada Umar. Ketika Abdurrahman bin Auf menyampaikan beberapa kekhawatiran tentang kerasnya watak Umar, Abu Bakar memberikan pembelaan yang kuat. “Itu karena ia melihat kelemahanku. Jika ia menjadi penguasa, niscaya akan menjadi lebih lembut. Wahai Abdurrahman, sungguh demi Allah, aku memilihnya karena ia adalah yang terbaik bagimu.”
Ia kemudian memanggil Utsman bin Affan untuk menuliskan wasiat penunjukan Umar sebagai khalifah penggantinya. Wasiat ini menjadi dokumen penting yang menjamin kelangsungan kepemimpinan dan stabilitas umat.
“Bismillahirrahmanirrahim. Ini adalah wasiat Abu Bakar bin Abi Quhafah yang terakhir kepada kaum Muslimin, ketika ia sedang meninggalkan dunia dan akan memasuki akhirat, di mana pada waktu itu orang kafir beriman, orang fajir menjadi yakin dan orang yang berdusta menjadi jujur. Sesungguhnya aku telah mengangkat Umar bin Khattab sebagai khalifah penggantiku. Dengarkanlah dan taatilah ia. Demi Allah, aku telah berusaha semampuku untuk berbuat kebaikan. Aku tidak menghendaki selain kebaikan bagimu dan aku tidak akan meninggalkanmu kecuali yang terbaik. Jika Umar berlaku adil, maka itu adalah apa yang kuinginkan. Jika ia menyimpang, maka setiap orang akan menanggung akibatnya sendiri. Aku tidak bermaksud lain kecuali kebaikan. Dan setiap orang yang zalim akan mengetahui ke mana ia akan kembali.”
Wasiat ini menunjukkan kebijaksanaan Abu Bakar yang luar biasa. Ia tidak hanya menunjuk pengganti, tetapi juga memberikan nasihat dan mengingatkan umat akan pentingnya ketaatan dan keadilan.
Detik-Detik Terakhir dan Kepergiannya
Di hari-hari terakhirnya, Abu Bakar masih menunjukkan keteguhan iman yang luar biasa. Siti Aisyah, putrinya yang juga istri Rasulullah SAW, meriwayatkan bahwa ketika Abu Bakar terbaring sakit, ia ditanya, “Apa yang dokter katakan kepadamu?” Abu Bakar menjawab, “Ia mengatakan: ‘Sesungguhnya aku adalah Maha Pencipta segala yang aku kehendaki.'” Ini menunjukkan keyakinannya yang teguh kepada Allah SWT, bahkan di ambang kematian.
Pada hari Senin, tanggal 22 Jumadil Akhir tahun 13 Hijriah, setelah memimpin umat Islam selama dua tahun tiga bulan dan sepuluh hari, Abu Bakar Ash-Shiddiq berpulang ke rahmatullah. Usianya saat itu 63 tahun, sama dengan usia Rasulullah SAW ketika wafat. Kabar duka ini menyelimuti kota Madinah. Umat Islam merasakan kehilangan yang amat sangat mendalam.
Jenazah Abu Bakar dimandikan oleh istrinya, Asma binti Umais. Lalu ia disalatkan oleh Umar bin Khattab, dan dimakamkan di samping makam Rasulullah SAW, di kamar Siti Aisyah. Prosesi pemakaman berlangsung sederhana namun penuh haru, mencerminkan kerendahan hati sang khalifah yang sepanjang hidupnya selalu mengedepankan kepentingan umat di atas kepentingan pribadinya.
Warisan Kepemimpinan Abu Bakar
Meskipun singkat, masa kepemimpinan Abu Bakar Ash-Shiddiq sangat krusial bagi kelangsungan Islam. Ia berhasil menjaga persatuan umat setelah wafatnya Rasulullah SAW, memerangi kaum murtad, dan mengumpulkan mushaf Al-Qur’an. Keputusannya menunjuk Umar bin Khattab juga menjadi landasan bagi masa keemasan Islam di bawah kepemimpinan Khulafaur Rasyidin berikutnya.
Kisah wafatnya Abu Bakar Ash-Shiddiq mengingatkan kita akan fana-nya kehidupan dunia dan pentingnya menyiapkan bekal untuk akhirat. Ia adalah teladan pemimpin yang adil, bijaksana, dan teguh dalam iman, yang warisannya terus menginspirasi umat Islam hingga kini.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
