Khazanah
Beranda » Berita » Dari Kejayaan Menuju Keterpecahan: Sejarah Dinasti-Dinasti Islam

Dari Kejayaan Menuju Keterpecahan: Sejarah Dinasti-Dinasti Islam

Dari Kejayaan Menuju Keterpecahan: Sejarah Dinasti-Dinasti Islam
Ilustrasi AI (sumber gambar:chatgpt.com)

SURAU.CO – Sejarah selalu memberikan pelajaran berharga bahwa setiap kerajaan, betapapun kuat dan luas wilayahnya, pada akhirnya akan menghadapi masa kemunduran. Kelemahan itu seringkali bukan akibat oleh serangan dari luar, melainkan lahir dari suatu keserakahan, perebutan kekuasaan, dan terpecahnya persatuan yang dahulu menjadi sumber kekuatan. Fenomena ini terlihat jelas dalam perjalanan panjang kerajaan-kerajaan Islam, dari Dinasti Umayyah, Abbasiyah, hingga kekuasaan di Maghrib dan Andalusia.

Faktor penyebab  kemunduran

Menurut Ibnu Khaldun, penyebab lemahnya suatu dinasti Islam adalah terbaginya kerajaan. Hal ini terjadi karena kekuasaan, ketika telah besar dan mencapai puncak kemewahan serta kenikmatan, membuat pemimpin kerajaan memegang otoritas kemuliaan dan ingin memonopolinya. Ia tidak suka keterlibatan orang lain dan memutus hal-hal yang dapat memberi peluang untuk itu sedapat mungkin, bahkan dengan cara membinasakan kerabat-kerabat yang dicurigai mengancam kedudukannya. Maka terkadang orang-orang yang selama ini ikut berperang bersamanya mulai mengkhawatirkan diri mereka sendiri. Mereka pun pergi ke daerah yang jauh. Orang-orang yang merasa dikhianati dan dicurigai dengan hal yang sama pun menyusul mereka ke sana. Wilayah kerajaan pun mulai menyempit dan berhenti pada tempat jauh itu. Lalu orang yang melepaskan diri itu memisahkan diri dari kekerabatan di sana.

Kenyataan itu terjadi pada dinasti Islam Arab ketika telah kokoh dan wilayahnya membentang luas. Ashabiyyah Bani Abdi Manaf adalah yang terkuat dan mengalahkan Bani Mudhar lainnya. Tidak ada satu pun kekuatan yang mampu menggoyahkan kekhalifahan mereka, kecuali bid‘ah para pemberontak Khawarij yang siap mati membela bid‘ah mereka. Itu pun dilakukan bukan untuk merebut kekuasaan atau kepemimpinan, karena mereka memang tidak mampu menyaingi ashabiyyah yang kuat.

Transisi Bani Umayyah ke Bani Abbasiyah

Kemudian ketika kekuasaan Bani Umayyah berpindah kepada Bani Abbasiyah dan kerajaan Arab telah mencapai puncak kemenangan serta kemewahan, mulailah mereka tidak mampu memantau wilayah jauh. Maka Abdurrahman ad-Dakhil melepaskan diri ke Andalusia, wilayah terjauh dari kerajaan Islam. Di sana ia mendirikan suatu kekuasaan baru dan mengambil sebagian dari kerajaan mereka. Dengan itu, ia memecah kerajaan menjadi dua.

Kemudian Idris melepaskan diri ke Maghrib dan membangun kekuasaannya di sana. Setelah itu putranya memerintah orang-orang Barbar dari Eropa, Mughilah, dan Zanatah, sehingga menguasai wilayah Maghrib.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Kerajaan pun semakin menyusut. Aghalibah terdesak dalam mempertahankan wilayahnya. Lalu muncul kelompok Syiah yang dipimpin oleh Kutamah dan Shanhajah. Mereka menguasai Afrika, Maghrib, kemudian Mesir, Syam, dan Hijaz, mengalahkan Bani Idris, dan kembali membagi kerajaan menjadi dua.

Terbaginya kerajaan Arab

Ibnu Khaldun menjelaskan  kerajaan Arab akhirnya terbagi menjadi tiga:Kerajaan Bani Abbasiyah yang merupakan pusat dan asal orang Arab, dengan fondasi Islam. Kerajaan Bani Umayyah Baru Andalusia, setelah kerajaan lama mereka berpusat di Masyriq. SelanjutKerajaan Ubaidiyyah di Afrika, Mesir, Syam, dan Hijaz, yang masih bertahan hingga mendekati kehancuran secara berdekatan atau bersamaan.

Kerajaan  Abbasiyah pun kemudian terpecah lagi menjadi kerajaan-kerajaan baru. Di wilayah jauh berdiri Bani Sasan di Wara’ an-Nahr dan Khurasan, lalu Alawiyyah di Dailam dan Thabaristan. Kondisi ini berakhir dengan kekuasaan Dailam atas Irak dan Baghdad serta para khalifah. Setelah itu muncullah dinasti Saljuk yang menguasai semua itu. Namun kemudian, kerajaan mereka pun terbagi setelah mencapai puncaknya, sebagaimana tercatat dalam sejarah mereka.

Perpecahan kerajaan Maghrib dan Afrika

Hal serupa terjadi pada kerajaan Shanhajah di Maghrib dan Afrika, ketika mencapai puncaknya pada masa Badis bin Manshur. Pamannya, Hammad, memisahkan diri dan mengambil sebagian dari kerajaan Arab di antara gunung Uras sampai gunung Tilmisan dan Malawiyah. Ia membangun benteng di gunung Kutamah yang dikelilingi parit, tinggal di sana, dan menguasai markas mereka, yaitu Asyir di gunung Tithara. Ia mendirikan suatu kerajaan baru yang menyaingi kerajaan Bani Badis. Bani Badis sendiri tetap tinggal di Qairawan dan sekitarnya, hingga akhirnya kekuasaan keduanya berakhir.

Demikian pula kerajaan Muwahhidun. Ketika wilayah kekuasaannya melemah, di Afrika bangkit Bani Abi Hafsh yang memisahkan diri dan mendirikan kerajaan tersendiri. Kekuasaan mereka pun membesar hingga muncul keturunan mereka, Amir Abu Zakaria Yahya bin Sultan Abu Ishaq Ibrahim, khalifah keempat. Ia mendirikan kerajaan di Bijayah dan Qasanthinah serta mewariskannya kepada putranya, lalu membagi kerajaan menjadi dua. Setelah itu, mereka menguasai Kursi al-Khadhrah (Singgasana Hijau) di Tunis, dan kemudian kerajaan itu terbagi lagi di antara keturunan mereka, meski pada akhirnya kekuasaan kembali ke tangan mereka.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Terbaginya kerajaan Andalusia dan Masyriq

Terkadang keterbagian itu lebih dari dua atau tiga kerajaan, bahkan muncul dari pihak luar keluarga kerajaan, sebagaimana yang terjadi pada raja-raja Thawaif di Andalusia, pada raja-raja non-Arab di Masyriq, dan pada kerajaan Shanhajah di Afrika. Pada akhir masa mereka, di masing-masing benteng Afrika muncul kekuatan baru yang memisahkan diri. Demikian pula keadaan di al-Jarid dan az-Zab dari Afrika sesaat sebelum masa ini.

Demikianlah kondisi setiap kerajaan: pasti mengalami pelemahan akibat kemewahan dan kemakmuran, serta hilangnya bayang-bayang kemenangan. Lalu akar-akar kekuasaannya pun terpecah, atau tokoh-tokoh kerajaan saling mengalahkan hingga memunculkan banyak kerajaan baru.

Keterpecahan kerajaan-kerajaan Islam menjadi bukti bahwa kejayaan memerlukan persatuan, keadilan, dan kepemimpinan yang bijak. Hal ini menjadi fondasi utama  agar peradaban tidak runtuh dari dalam. Sejarah mengingatkan kita bahwa keruntuhan adalah konsekuensi alami dari kelalaian, sementara persatuan dan amanah adalah kunci keberlanjutan kejayaan.(St.Diyar)

Referensi: Al-Allamah Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun.Muqaddimah Ibnu Khaldun, 2011

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement