SURAU.CO – Di zaman yang serba cepat ini, kita dibanjiri oleh informasi. Setiap orang ingin berbicara dan didengar, namun sedikit sekali yang benar-benar mau mendengarkan. Kita seringkali mengobrol sambil menatap layar ponsel atau memotong pembicaraan orang lain. Akibatnya, komunikasi menjadi dangkal dan tidak bermakna.
Padahal, jika kita menengok kembali kepada suri teladan kita, kita akan menemukan sebuah seni yang hilang, yaitu seni mendengarkan. Rasulullah adalah pendengar yang baik. Kemampuan beliau untuk mendengarkan bukan sekadar adab sosial biasa. Sebaliknya, ia adalah pilar dari akhlak beliau yang agung dan salah satu kunci paling efektif dalam dakwah beliau.
Pertama: Cermin dari Dialog Keseharian
Keahlian mendengarkan Nabi SAW justru bersinar paling terang dalam interaksi beliau sehari-hari. Salah satu contoh terbaik adalah percakapan beliau dengan sahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan:
Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Jabir, “Apakah engkau sudah menikah, wahai Jabir?”
Jabir menjawab, “Sudah, wahai Rasulullah.”
Beliau bertanya lagi, “Dengan gadis atau janda?”
Jabir menjawab, “Dengan janda.”
Beliau kembali bertanya, “Kenapa tidak menikah dengan gadis saja? Engkau bisa bercanda dengannya dan ia pun bisa bercanda denganmu.”
Jabir pun menjelaskan, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku telah wafat… dan ia meninggalkan tujuh… anak perempuan. Maka, aku pun menikahi seorang janda agar ia bisa mengurusi mereka.”
Mendengar itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan, “Semoga Allah memberkahimu.” (HR. Bukhari & Muslim)
Dalam dialog singkat ini, kita bisa melihat beberapa elemen penting dari seni mendengarkan:
-
Inisiatif: Rasulullah yang memulai percakapan sebagai bentuk perhatian.
-
Pertanyaan Terbuka: Beliau bertanya untuk memahami (“Kenapa tidak gadis saja?”), bukan untuk menghakimi.
-
Mendengarkan Penuh: Beliau memberikan Jabir ruang untuk menjelaskan alasannya yang personal.
-
Validasi dan Doa: Setelah memahami konteksnya, beliau memberikan validasi dan doa penutup yang menenangkan.
Kedua: Mendengarkan Sebagai Bentuk Penghargaan
Lantas, mengapa kemampuan mendengarkan ini begitu dahsyat dampaknya? Karena ketika kita mendengarkan seseorang dengan saksama, kita sedang mengirimkan sebuah pesan yang sangat kuat: “Engkau berharga. Ceritamu penting.”
Penghargaan inilah yang membuka hati seseorang. Sebelum lisan Nabi SAW menyampaikan wahyu, telinga beliau terlebih dahulu memenangkan hati para sahabatnya. Mereka merasa dilihat, dipahami, dan dihargai. Inilah fondasi dari loyalitas mereka yang luar biasa. Dengan kata lain, mendengarkan adalah cara Nabi memuliakan manusia.
Ketiga: Mendengarkan Sebagai Cermin Kerendahan Hati
Lebih jauh lagi, sikap ini merupakan cerminan dari kerendahan hati (tawadhu) beliau yang luar biasa. Beliau adalah seorang Nabi yang menerima wahyu dari langit. Logikanya, perkataan beliau jauh lebih penting daripada perkataan siapa pun. Namun, beliau justru memilih untuk lebih banyak mendengar.
Sikap ini mengajarkan kita sebuah pelajaran spiritual. Mendengarkan adalah bentuk jihad melawan ego yang selalu ingin mendominasi. Dengan memilih diam dan menyimak, kita sedang melatih jiwa kita untuk rendah hati dan mengakui bahwa kita tidak selalu menjadi pusat dari percakapan.
Keempat: Jihad Melawan Distraksi di Era Modern
Kini, mari kita bawa teladan agung ini ke konteks kita hari ini. Musuh utama dari kemampuan mendengarkan di zaman kita adalah distraksi digital. Notifikasi yang terus berbunyi dan keinginan untuk memeriksa media sosial membuat perhatian kita terpecah belah.
Oleh karena itu, mempraktikkan sunnah mendengarkan di era ini menjadi sebuah jihad tersendiri. Menyingkirkan ponsel saat orang tua berbicara adalah sebuah bentuk bakti. Memberikan perhatian penuh saat pasangan berkeluh kesah adalah wujud mu’asyarah bil ma’ruf. Mendengarkan keluhan anak tanpa memotong adalah inti dari pendidikan yang efektif.
Hidupkan Kembali Sunnah yang Terlupakan
Pada akhirnya, menjadi pendengar yang baik seperti Rasulullah SAW bukanlah tentang menguasai teknik komunikasi. Sebaliknya, ini adalah tentang menghidupkan kembali sebuah akhlak mulia yang berakar pada penghargaan, kerendahan hati, dan cinta.
Mari kita mulai dari orang-orang terdekat kita. Dengarkan mereka dengan telinga dan hati kita. Dengan begitu, kita tidak hanya sedang memperbaiki hubungan kita dengan manusia, tetapi juga menghidupkan salah satu sunnah terindah dari manusia yang paling kita cintai.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
