Opinion
Beranda » Berita » Uang Digital: Alat Boleh Baru, Tapi Nafsu Tetap Lama

Uang Digital: Alat Boleh Baru, Tapi Nafsu Tetap Lama

Ilustrasi uang digital dan nafsu lama manusia
Ilustrasi simbolik tentang uang digital sebagai alat baru, tapi nafsu manusia tetap hadir.

Uang digital hari ini menjadi buah bibir di hampir setiap ruang. Dari obrolan ibu-ibu arisan hingga diskusi mahasiswa di kedai kopi, semua sibuk membicarakan e-wallet, QRIS, dan transaksi tanpa dompet. Frasa uang digital bukan hanya alat bayar, ia sudah menjelma menjadi gaya hidup. Namun, seperti kata orang tua kita: “Alat boleh baru, tapi nafsu tetap lama.”

Uang berubah bentuk, tapi manusia tetap sama: ingin lebih, takut kehilangan, khawatir miskin, dan sering lupa berbagi. Ibn ‘Arabi dalam al-Futūḥāt al-Makkiyyah pernah menulis,

‏اَلْمَالُ مِفْتَاحٌ لِكُلِّ قَلْبٍ وَيَكْشِفُ عَنْ مَا فِيهِ

“Harta adalah kunci setiap hati, ia membuka apa yang tersembunyi di dalamnya.”

Artinya, uang—apakah koin kuno, kertas lusuh, atau saldo digital—selalu menjadi cermin isi hati manusia.

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Gairah teknologi, wajah lama manusia

Suatu sore di stasiun, saya menyaksikan seorang bapak muda terburu-buru. Ia panik karena saldo e-wallet tak cukup untuk bayar tiket. Padahal, di dompetnya terselip uang tunai. “Mas, bisa pakai cash nggak?” tanyanya cemas pada petugas.

Petugas hanya tersenyum, “Sekarang semua serba digital, Pak.”
Bapak itu menghela napas panjang, “Ya Allah… ketinggalan jaman juga bisa jadi cobaan.”

Dialog singkat itu seolah menampar kita. Teknologi berlari kencang, tapi hati manusia tetap berjuang dengan kecemasan yang sama: takut ketinggalan, takut tersisih.

Dalam Al-Qur’an, Allah mengingatkan:

الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ (الكهف: 46)

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

“Harta dan anak-anak hanyalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amal-amal saleh yang kekal itu lebih baik pahalanya.”

Ayat ini seakan berkata: uang digital hanya kosmetik, yang sejati tetap amal saleh.

Antara nafsu dan cahaya

Ibn ‘Arabi menulis,

‏إِذَا تَغَيَّرَتِ الْأَدَوَاتُ لَمْ تَتَغَيَّرِ الْحَقَائِقُ

“Jika alat berubah, hakikat tidak ikut berubah.”

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

E-wallet mungkin menggantikan dompet kulit, tapi nafsu tamak tak pernah pensiun. Orang tetap bisa menumpuk saldo untuk dipamerkan, atau meminjam lewat aplikasi hanya demi citra. Bedanya, dulu orang meminjam ke rentenir, kini meminjam ke fintech.

Fenomena “paylater” adalah contoh nyata. Studi Bank Indonesia (2023) mencatat lebih dari 15% transaksi digital anak muda menggunakan skema cicilan instan. Indah di awal, menjerat di belakang. Nafsu lama memakai baju aplikasi.

Pasar, masjid, dan wajah keseharian

Di pasar dekat rumah saya, pedagang tempe sudah menempel QRIS. “Mas, sekarang pembeli jarang bawa cash,” katanya sambil tertawa. Lucunya, meski transaksi serba digital, tetap ada tawar-menawar seru. “Masa beli dua ribu nggak diskon, Bu?”

Itulah wajah Indonesia: uang digital masuk, tapi hati manusia tetap meriah dengan guyonan dan kelakar. Dalam suasana seperti itu, saya teringat sabda Nabi ﷺ:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya.” (HR. Bukhari Muslim)

Apakah kita pakai uang digital untuk mempermudah silaturahmi atau sekadar memperturutkan gengsi?

Nafsu yang disindir para arif

Dalam al-Futūḥāt, Ibn ‘Arabi menyindir halus:

‏النَّفْسُ تُحِبُّ الْجَمْعَ وَلَا تَسْأَلُ عَنِ الْمَصَارِفِ

“Nafsu suka mengumpulkan, tanpa peduli ke mana ia mengalirkan.”

Apakah saldo digital kita jadi alat berbagi, atau sekadar menambah jumlah angka tanpa makna?

Sungguh tepat jika kita berhenti sejenak dan merenung.

Uang digital bukan malaikat, ia bisa jadi berkah atau jebakan.

Nafsu manusia lebih cepat dari algoritma, hati harus lebih tajam dari notifikasi.

Amal saleh tetap ukuran, bukan jumlah saldo.

Menjadi pengguna yang bijak

Islam tidak menolak teknologi. Ibn ‘Arabi justru mengajarkan,

‏الْعَالَمُ كِتَابٌ مَفْتُوحٌ وَكُلُّ أَدَاةٍ فِيهِ آيَةٌ

“Alam ini adalah kitab terbuka, dan setiap alat di dalamnya adalah ayat.”

Artinya, uang digital adalah tanda zaman. Tugas kita bukan alergi, melainkan membaca maknanya. Jika ia mempermudah zakat, infak, dan transaksi halal, maka ia menjadi jalan kebaikan.

Gunakan e-wallet bukan sekadar untuk belanja, tapi juga untuk sedekah.

Batasi fitur “paylater” agar tidak terjerat utang konsumtif.

Ingatkan diri: saldo bukan ukuran derajat, amal yang ikhlaslah yang mengangkat.

Penutup: doa di tengah notifikasi

Di tengah riuh notifikasi transaksi, mari kita bisikkan doa kecil:

“Ya Allah, jadikan uang digital kami alat untuk memudahkan kebaikan, bukan jalan bagi nafsu menipu kami.”

Lalu kita bertanya ke dalam hati: apakah kita sudah benar-benar jadi pengguna bijak, atau sekadar budak baru dari mesin lama bernama nafsu?

 

* Reza Andik Setiawan


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement