Opinion
Beranda » Berita » Perbedaan Agama: Allah Senyum Liat Kita Ribut Hal yang Sama

Perbedaan Agama: Allah Senyum Liat Kita Ribut Hal yang Sama

Harmoni perbedaan agama di pasar tradisional Indonesia
Ilustrasi harmoni kehidupan lintas agama di Indonesia, tercermin dari aktivitas pasar sebagai ruang perjumpaan sehari-hari.

Di warung kopi kampung, aku sering mendengar obrolan yang ujung-ujungnya soal perbedaan agama. Ada yang keras, ada yang lembut, ada pula yang diam-diam menyimpan luka. Kata kuncinya jelas: perbedaan agama. Kata ini muncul dalam keseharian kita, di televisi, media sosial, bahkan di meja makan keluarga. Yang menarik, semakin sering dibicarakan, semakin terasa bahwa manusia lebih suka memperdebatkan apa yang berbeda daripada merayakan apa yang sama.

Dalam Al-Futūḥāt al-Makkiyah, Ibn ‘Arabi tidak pernah bosan mengingatkan bahwa setiap perbedaan hanyalah pintu menuju pengenalan yang lebih dalam pada Allah. Ia menulis:

كُلُّ مَا تَفَرَّقَ النَّاسُ فِيهِ إِنَّمَا هُوَ مَجَالٌ لِتَجَلِّي الْحَقِّ فِي وُجُوهٍ مُخْتَلِفَةٍ

“Segala yang manusia berselisih di dalamnya hanyalah arena tempat Allah menampakkan diri-Nya dalam wajah-wajah yang berbeda.”

Senyum di Balik Pertengkaran

Pernah ada seorang sahabat bercerita:
“Mas, aku capek lihat debat agama di media sosial. Seolah-olah Allah itu kecil, bisa direbut oleh kelompok tertentu.”
Aku hanya tersenyum, lalu menjawab pelan:
“Mungkin Allah sedang tersenyum juga lihat kita ribut soal hal yang sama.”

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Allah menegaskan dalam Al-Qur’an:

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ

“Dan kalau Tuhanmu menghendaki, niscaya Dia menjadikan manusia umat yang satu; tetapi mereka senantiasa berselisih.”

Maknanya sederhana: perbedaan adalah kehendak, bukan kebetulan. Ribut boleh, asal tidak lupa esensi: semua dari Allah, semua menuju Allah.

Jalan yang Sama, Pintu yang Berbeda

Ibn ‘Arabi melanjutkan renungannya:

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

الدِّيَانَاتُ طُرُقٌ مُخْتَلِفَةٌ إِلَى بَابٍ وَاحِدٍ، فَمَنْ أَغْلَقَ بَابَ غَيْرِهِ فَقَدْ أَغْلَقَ بَابَ نَفْسِهِ

“Agama-agama adalah jalan yang berbeda menuju satu pintu. Siapa yang menutup pintu orang lain, ia sejatinya menutup pintu dirinya sendiri.”

Di Nusantara, kita sering menyaksikan harmoni tersembunyi. Tetangga yang Muslim membantu tetangga Kristen mengangkat kursi hajatan. Umat Hindu dan Buddha sama-sama gotong royong saat bersih desa. Itulah bukti bahwa jalan berbeda tidak menghalangi hati untuk saling menyapa.

Penelitian sosial oleh Robert Hefner tentang Indonesia menyebutkan, kearifan lokal dan budaya gotong royong lebih efektif menjaga kerukunan daripada aturan formal. Artinya, harmoni tumbuh bukan dari perdebatan teologis, tapi dari rasa kebersamaan yang dijalani sehari-hari.

Saat Hati Diuji oleh Perbedaan

Namun, kenyataan tidak selalu indah. Masih ada diskriminasi, konflik rumah ibadah, atau ujaran kebencian yang menyelinap di kolom komentar. Ibn ‘Arabi pernah menulis dengan getir tapi teduh:

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

إِذَا نَظَرْتَ إِلَى الْخِلَافِ بِعَيْنِ الْحَقِّ رَأَيْتَهُ وَحْدَةً، وَإِذَا نَظَرْتَ بِعَيْنِ النَّفْسِ رَأَيْتَهُ فِتْنَةً

“Jika engkau melihat perbedaan dengan mata Tuhan, engkau akan melihatnya sebagai kesatuan; namun jika dengan mata nafsu, engkau akan melihatnya sebagai fitnah.”

Mungkin di sinilah kunci sabar: mengubah cara pandang dari ego ke kasih.

Allah menciptakan perbedaan sebagai kehendak, bukan kesalahan.

Perdebatan bisa jadi jalan mengenal diri, bukan memusuhi sesama.

Harmoni lahir dari gotong royong dan kasih, bukan sekadar wacana.

Di pasar, seorang ibu penjual sayur menawari pelanggan tetapnya:
“Bu, saya tambahin cabainya ya, mumpung lagi murah.”
Pelanggan itu tersenyum, meski berbeda keyakinan, “Wah, matur nuwun. Gusti Allah sing mbales.”
Percakapan kecil ini menunjukkan, kasih tidak pernah menanyakan agama. Ia hanya mengalir.

Membaca Senyum Allah

Ibn ‘Arabi dalam Al-Futūḥāt menutup salah satu babnya dengan kalimat yang menenangkan:

إِنَّ الْحَقَّ لَا يَغْضَبُ مِنْ اخْتِلَافِكُمْ، بَلْ يَسْرُرُ بِكَيْفِيَّةِ طَلَبِكُمْ لَهُ

“Sesungguhnya Allah tidak murka karena perbedaan kalian, justru Dia bergembira dengan cara kalian masing-masing mencari-Nya.”

Kalau begitu, mungkin benar bahwa Allah tersenyum saat kita ribut. Senyum itu bukan restu untuk bertengkar, melainkan pengingat agar kita belajar dari kegaduhan dan kembali pada inti: cinta.

Biasakan memandang orang lain sebagai sesama pencari Tuhan, bukan lawan debat.

Cari titik temu dalam aksi nyata: gotong royong, berbagi makanan, saling membantu.

Gunakan media sosial untuk menyebarkan kisah harmoni, bukan memperuncing perbedaan.

Doakan pemeluk agama lain dengan tulus, sebab doa adalah energi yang tidak mengenal batas keyakinan.

Perbedaan agama adalah ruang latihan jiwa. Ia bisa melahirkan marah, bisa juga melahirkan sabar. Pilihan ada di tangan kita: terus ribut di permukaan, atau masuk lebih dalam, menemukan senyum Allah yang tersembunyi.

Ya Allah, jadikanlah hati kami luas seperti samudera-Mu. Jangan sempitkan dengan ego yang mengira Engkau hanya milik satu kelompok.

Apakah kita siap melihat perbedaan sebagai jendela menuju kasih-Nya, bukan tembok yang memisahkan kita?

 

* Sugianto al-Jawi

Budayawan Kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement