SURAU.CO. Korban selalu menjadi pihak yang paling menderita dalam setiap tindak pidana. Mereka menanggung luka fisik, trauma psikologis, hingga kerugian sosial yang tidak ringan. Namun, proses hukum di Indonesia sering kali lebih fokus pada pelaku dibanding korban. Akibatnya, korban merasa terpinggirkan dan tidak memperoleh perlindungan yang memadai. Padahal, hukum seharusnya hadir untuk menjamin keamanan, pemulihan, dan keadilan bagi korban. Oleh karena itu, pembahasan tentang perlindungan korban dalam proses hukum menjadi sangat penting, baik dari perspektif regulasi negara maupun nilai-nilai keadilan dalam Islam.
Korban sebagai Pusat Proses Hukum
Korban selalu hadir sebagai inti dari proses hukum. Mereka melapor, memberi keterangan, serta menanggung beban akibat kejahatan. Karena itu, korban membutuhkan jaminan keamanan sejak awal. Selain itu, mereka menuntut kepastian hukum dan akses informasi yang jelas.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, lalu revisinya melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014, memberikan dasar perlindungan. Regulasi ini menempatkan korban sebagai subjek utama, bukan sekadar pelengkap. Kemudian, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) hadir untuk menjalankan mandat tersebut.
Dalam pandangan Islam, perlindungan terhadap korban juga menjadi prinsip keadilan. Allah berfirman dalam QS. An-Nahl ayat 90:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
Ayat ini menunjukkan bahwa hukum harus menempatkan korban sebagai prioritas. Oleh karena itu, perlindungan korban tidak boleh berhenti pada teori hukum semata.
Hak Pemulihan dan Keadilan Restoratif
Korban berhak menerima kompensasi, restitusi, serta rehabilitasi. Namun, banyak korban menghadapi hambatan karena jalur perdata yang panjang. Akibatnya, mereka merasa enggan menuntut ganti rugi. Negara kemudian wajib memberi jalan pintas melalui kompensasi agar korban tidak terjebak dalam birokrasi berbelit.
Konsep keadilan restoratif juga memperkuat hak pemulihan. Restorasi menekankan penyembuhan korban, pemulihan sosial, dan keharmonisan. Selain itu, Islam menegaskan prinsip serupa. Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan kalian adalah suci, sebagaimana sucinya hari kalian ini, di negeri kalian ini, di bulan kalian ini.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis tersebut menegaskan kewajiban menjaga martabat korban. Dengan demikian, masyarakat, negara, dan aparat hukum harus bersinergi untuk memulihkan korban.
Tantangan dalam Implementasi Perlindungan
Korban masih menghadapi tantangan besar dalam praktik. Pertama, aparat sering melakukan pemeriksaan berulang sehingga korban mengalami retraumatisasi. Kemudian, korban harus menceritakan ulang peristiwa pahit berkali-kali. Akibatnya, luka psikologis mereka semakin dalam.
Selain itu, banyak aparat belum memahami pendekatan trauma-informed. Tanpa pendekatan ini, korban merasa aparat mengadili mereka kembali. Dengan demikian, kepercayaan korban terhadap sistem hukum semakin menurun.
Di sisi lain, fasilitas perlindungan belum merata. Korban kekerasan seksual atau anak di daerah terpencil sering kesulitan mencari rumah aman dan layanan rehabilitasi. Sementara itu, ketimpangan fasilitas membuat perlindungan hukum terasa diskriminatif.
Media massa juga menambah beban korban. Banyak media menampilkan identitas korban secara sensasional. Bahkan, mereka menjadikan penderitaan korban sebagai tontonan. Padahal, Islam melarang membuka aib sesama. Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa menutupi aib seorang muslim, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat.” (HR. Muslim).
Oleh karena itu, media harus menerapkan prinsip etis dalam setiap pemberitaan agar korban tidak semakin tertekan.
Agenda Reformasi dan Harapan Korban
Reformasi hukum harus menempatkan korban sebagai pusat. Negara wajib mengevaluasi aparat, kebijakan, serta anggaran perlindungan secara berkala. Selain itu, korban membutuhkan rumah aman, bantuan hukum, layanan kesehatan, serta mekanisme kompensasi yang cepat.
Masyarakat juga berperan. Mereka harus menghormati korban, bukan menghakimi. Media pun perlu menjaga martabat korban dengan pemberitaan yang etis. Dengan demikian, perlindungan korban berjalan secara menyeluruh.
Islam menegaskan keadilan yang tegas. QS. An-Nisa ayat 135 menyatakan:
“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, sekalipun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu…”
Ayat ini menegaskan bahwa perlindungan terhadap korban menjadi kewajiban moral dan hukum. Oleh karena itu, hukum Indonesia harus mewujudkan perlindungan yang nyata agar korban tidak lagi dipandang sebagai pihak kedua. Pada akhirnya, hukum akan benar-benar menghadirkan keadilan substantif sesuai prinsip negara hukum dan ajaran Islam.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
