Opinion
Beranda » Berita » Gotong Royong: Tasawuf yang Sejak Lama Hidup di Kampung

Gotong Royong: Tasawuf yang Sejak Lama Hidup di Kampung

ilustrasi gotong royong kampung dalam cahaya tasawuf
Ilustrasi warga kampung bergotong royong membangun jembatan bambu di bawah cahaya matahari pagi, dengan wajah penuh senyum.

Gotong royong bukan sekadar tradisi sosial, tetapi juga bentuk kemerdekaan batin. Dalam kitab Al-Futūḥāt al-Makkiyah, Ibn ‘Arabi menyinggung tentang hubungan manusia yang tidak hanya dibangun di atas transaksi, melainkan atas dasar kasih sayang dan penyatuan hati. Konsep ini ternyata sejalan dengan budaya kampung kita, di mana warga bersama-sama membangun jalan, memperbaiki masjid, atau sekadar membantu tetangga yang punya hajat.

Kisah Pagi di Balik Cangkul dan Senyum

Suatu pagi di desa, saya melihat para petani gotong royong memperbaiki tanggul sawah yang jebol. Ada yang membawa cangkul, ada yang menyiapkan kopi, ada yang sekadar menyumbang tenaga seadanya. Tak ada yang dibayar, tak ada yang menuntut imbalan. Salah seorang bapak berkata sambil tertawa,
“Kalau bukan kita yang bantu, siapa lagi? Wong sawah ini hidup kita bersama.”

Dialog itu mengingatkan saya pada tulisan Ibn ‘Arabi:

فِي خِدْمَةِ الْخَلْقِ تَكْمُلُ عُبُودِيَّةُ الْحَقِّ

“Dalam melayani sesama makhluk, sempurnalah penghambaan kepada Allah.” (Al-Futūḥāt al-Makkiyah)

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Gotong royong, dalam kacamata tasawuf, bukan hanya kerja sosial. Ia adalah ibadah, sebab di sanalah Allah hadir melalui wajah saudara-saudara kita.

Ketulusan yang Menyatukan Hati

Budaya gotong royong bukanlah ajang pamer kebaikan. Ia lahir dari ketulusan. Ibn ‘Arabi menggambarkan hubungan manusia ibarat cermin:

الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ أَخِيهِ، فَإِذَا نَظَرَ فِيهِ رَأَى نَفْسَهُ

“Seorang mukmin adalah cermin bagi saudaranya. Jika ia menatapnya, ia melihat dirinya sendiri.” (Al-Futūḥāt al-Makkiyah)

Ketulusan gotong royong adalah cermin. Kita melihat diri sendiri dalam kesulitan orang lain. Maka, menolong tetangga yang sakit, memperbaiki rumah warga yang roboh, atau menyumbang bahan makanan ketika ada pesta pernikahan, sejatinya adalah menolong diri sendiri.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Jejak Religius dalam Gerak Sosial

Al-Qur’an pun mengisyaratkan pentingnya kolaborasi:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Māidah: 2)

Ayat ini adalah fondasi gotong royong dalam Islam: kerja sama yang dibangun di atas kebaikan dan takwa, bukan sekadar kepentingan pribadi.

Ibn ‘Arabi menambahkan dalam renungannya:

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

إِذَا اجْتَمَعَتِ الْقُلُوبُ عَلَى نِيَّةٍ صَالِحَةٍ، فَذَلِكَ مَجْلِسُ الْحَقِّ فِي الْأَرْضِ

“Apabila hati-hati berkumpul dengan niat yang baik, maka itulah majelis Allah di bumi.” (Al-Futūḥāt al-Makkiyah)

Bayangkan sebuah dusun yang warganya berkumpul untuk membangun jembatan kecil tanpa menunggu dana proyek. Sesungguhnya, itu bukan hanya kerja sosial, melainkan majelis Allah yang menyatu dalam bentuk amal nyata.

Gotong Royong di Tengah Modernitas

Fenomena hari ini menunjukkan adanya tantangan: di kota besar, gotong royong perlahan terkikis oleh individualisme. Setiap orang sibuk dengan dunianya sendiri, seolah tak punya waktu untuk peduli. Padahal, riset sosiologi modern (Putnam, Bowling Alone, 2000) menunjukkan bahwa menurunnya modal sosial—termasuk gotong royong—berpengaruh langsung pada meningkatnya kesepian, stres, dan ketidakpercayaan sosial.

Artinya, gotong royong bukan hanya urusan kampung, tapi kebutuhan universal manusia agar tetap sehat lahir batin.

Langkah Praktis

Mulai dari lingkar kecil – bantu tetangga tanpa menunggu acara besar.

Sumbangkan waktu, bukan hanya uang – kehadiran sering lebih berharga dari materi.

Hidupkan kembali budaya kerja bakti – sekecil membersihkan selokan bersama bisa menghidupkan solidaritas.

Doakan bersama – setiap gotong royong ditutup doa, agar bukan hanya tenaga yang menyatu, tapi juga hati.

Hati yang Merdeka dengan Kebersamaan

Gotong royong adalah latihan melepaskan ego. Di situ kita belajar menahan keinginan pribadi demi kebaikan bersama. Ibn ‘Arabi menulis dengan lembut:

مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فِي إِخْوَانِهِ، فَقَدْ نَجَا مِنْ أَسْرِهَا

“Barang siapa mengenal dirinya dalam saudara-saudaranya, maka ia selamat dari tawanan egonya.” (Al-Futūḥāt al-Makkiyah)

Bukankah ini yang kita lihat di kampung-kampung? Orang rela bangun subuh untuk menolong tetangga yang punya hajat. Mereka bahu-membahu tanpa tanda tangan kontrak, tanpa foto dokumentasi. Yang tersisa hanya rasa lega, tawa, dan hati yang lapang.

Seorang pemuda bertanya kepada kakeknya,
“Kenapa kita harus repot-repot gotong royong, Kek?”
Sang kakek tersenyum,
“Karena di setiap tenaga yang kita keluarkan, ada doa yang kembali pada kita. Gotong royong itu menolong diri sendiri lewat orang lain.”

Gotong royong adalah tasawuf yang sejak lama hidup di kampung. Ia mengajarkan cinta, kerendahan hati, dan penghambaan sejati kepada Allah melalui sesama manusia. Jika kampung kita masih bergotong royong, berarti masih ada cahaya tasawuf yang terjaga di bumi.

اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِمَّنْ يَتَسَاعَدُونَ فِي الْبِرِّ وَيَتَوَاصَوْنَ بِالْحَقِّ

 

“Ya Allah, jadikanlah kami hamba-hamba-Mu yang saling membantu dalam kebaikan dan saling menasihati dalam kebenaran.”

Apakah gotong royong di kampung kita masih hidup, atau hanya tinggal cerita di masa lalu?

 

* Sugianto al-Jawi

Budayawan Kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement