Opinion
Beranda » Berita » Kemerdekaan: Dari Penjajahan Luar ke Penjajahan Dalam Diri

Kemerdekaan: Dari Penjajahan Luar ke Penjajahan Dalam Diri

ilustrasi manusia merdeka batin dengan cahaya
Seorang manusia berdiri di tengah padang luas, tangannya terangkat, rantai patah di kakinya, dan cahaya matahari menyinari dada.

Ketika mendengar kata kemerdekaan, pikiran kita sering langsung melayang pada perjuangan melawan penjajah, bendera berkibar, dan sorak kemenangan. Namun, Ibn ‘Arabi dalam Al-Futūḥāt al-Makkiyah mengajak kita masuk lebih dalam: setelah bebas dari penjajahan luar, apakah kita sungguh lepas dari penjajahan dalam diri? Pertanyaan ini tidak hanya filosofis, tetapi juga merambah ranah spiritual, sosial, dan psikologis.

Belenggu yang Tak Terlihat

Saya pernah berbincang dengan seorang kawan setelah upacara tujuh belasan. Ia berkata lirih:
“Kalau bangsa kita merdeka, kenapa hati saya masih terikat? Saya bebas di luar, tapi di dalam penuh belenggu.”

Dialog sederhana itu menampar kesadaran. Banyak orang hidup merdeka secara politik, tetapi jiwa mereka tetap terkurung nafsu, keserakahan, iri, dan ketakutan. Ibn ‘Arabi menyinggung hal ini:

وَإِنَّ الْعَبْدَ إِذَا تَحَرَّرَ عَنْ نَفْسِهِ صَارَ حُرًّا وَلَوْ كَانَ فِي أَسْرٍ

“Seorang hamba jika terbebas dari dirinya sendiri, maka ia benar-benar merdeka, meskipun secara lahir masih dalam penjara.” (Al-Futūḥāt al-Makkiyah)

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Menurut Ibn ‘Arabi, merdeka berarti lepas dari tirani ego, bukan hanya dari rantai besi.

Nafas yang Tak Lagi Ditawan

Fenomena sosial hari ini memberi pelajaran penting: masyarakat bebas berbicara, tetapi algoritma media sosial sering membatasi arah pandang. Kita merasa memilih, padahal likes, views, dan komentar yang mengendalikan langkah. Itulah penjajahan halus, penjajahan dalam diri.

Ibn ‘Arabi menulis:

إِنَّ الْحُرِّيَّةَ فِي الْعُبُودِيَّةِ، فَمَنْ عَرَفَ رَبَّهُ لَمْ يَكُنْ لِلْخَلْقِ عَلَيْهِ سُلْطَانٌ

“Sesungguhnya kebebasan sejati ada dalam penghambaan. Barang siapa mengenal Rabb-nya, maka makhluk tidak memiliki kuasa atasnya.” (Al-Futūḥāt al-Makkiyah)

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Semakin kita menundukkan diri kepada Allah, semakin rapuh pula jerat penjajahan batin.

Ketika Nafsu Menjadi Kolonialis Baru

Hadis terkenal para sufi mengingatkan:

أَعْدَى عَدُوِّكَ نَفْسُكَ الَّتِي بَيْنَ جَنْبَيْكَ

“Musuh terbesarmu adalah nafsumu yang ada di antara dua sisimu.” (HR. al-Bayhaqi)

Ibn ‘Arabi menambahkan renungan:

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

إِذَا غَلَبَتْ عَلَيْكَ نَفْسُكَ، فَأَنْتَ مَسْبِيٌّ وَلَوْ دَعَوْتَ نَفْسَكَ مَلِكًا

“Jika nafsumu menguasaimu, engkau tawanan, meskipun engkau menyebut dirimu raja.” (Al-Futūḥāt al-Makkiyah)

Banyak orang mengaku berkuasa, tetapi nafsu yang justru mengendalikan mereka. Inilah kolonialisme batin, bentuk penjajahan paling canggih yang hanya bisa dikalahkan dengan kesadaran rohani.

Langkah Kecil Menuju Kebebasan Batin

  • Muroqabah diri – sisihkan 5–10 menit sehari untuk hening, menengok isi hati.

  • Puasa bukan sekadar lapar – kendalikan bukan hanya perut, tetapi juga lidah dan niat yang curang.

  • Dzikir pelarut belenggu – lafadz lā ilāha illā Allāh bukan sekadar bacaan, tetapi revolusi batin.

  • Bersyukur atas kesederhanaan – rasa cukup sering menghadirkan kebebasan lebih besar dibanding ambisi tanpa henti.

Menyelami Makna Kemerdekaan Hakiki

Perjuangan bangsa melawan penjajah hanya membuka pintu awal. Ibn ‘Arabi mengingatkan bahwa perjuangan melawan diri sendiri jauh lebih berat. Ia menulis:

الْحَقُّ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِ الْعِبَادِ، فَإِذَا كَانَتْ حُرَّةً أَشْرَقَ فِيهَا نُورُهُ

“Allah memandang ke dalam hati para hamba. Jika hati itu merdeka, maka cahaya-Nya akan memancar di dalamnya.” (Al-Futūḥāt al-Makkiyah)

Merdeka berarti hati tidak dikuasai kebencian, tidak terikat amarah, dan tidak tunduk pada bisikan dunia yang menipu.

Seorang petani sederhana mungkin hidup dengan tanah sedikit, tetapi ia merasa tenang dan bahagia. Sebaliknya, seorang pejabat mungkin bergelimang harta, namun setiap malam ia gelisah karena takut kehilangan jabatan. Siapa yang lebih merdeka?

Ibn ‘Arabi menegaskan, kemerdekaan sejati tidak hanya milik bangsa berdaulat, melainkan milik jiwa yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah. Setiap orang berhak menghirup nafas merdeka, dari penjajahan luar maupun tirani dalam diri.

اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنَ الْأَحْرَارِ فِي دُنْيَانَا وَأُخْرَانَا

“Ya Allah, jadikanlah kami termasuk hamba-Mu yang merdeka di dunia dan akhirat.”

Dan kini, setelah bendera berkibar dan lagu kebangsaan usai, mari kita bertanya: apakah hati kita sudah benar-benar merdeka?

* Sugianto al-Jawi

Budayawan Kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement