Opinion
Beranda » Berita » Politik Itu Penting, Tapi Jangan Sampai Nyolong Akal Sehat

Politik Itu Penting, Tapi Jangan Sampai Nyolong Akal Sehat

Rakyat membawa lentera akal sehat di panggung politik.
Ilustrasi rakyat menjaga akal sehat di tengah

Kekuasaan yang Sering Membius Pikiran

Politik itu penting. Ia bukan sekadar rebutan kursi, melainkan cara mengatur arah hidup bersama. Namun politik sering kali menjadi candu. Kita terlalu mudah terbius janji-janji, slogan indah, atau narasi yang menggelegar di panggung televisi.

Ibn ʿArabī dalam al-Futūḥāt al-Makkiyyah pernah menulis:

السلطان ظل الله في الأرض، إن عدل دام ظله، وإن جار زال أمره

“Penguasa adalah bayangan Allah di bumi. Jika ia adil, bayangannya akan bertahan; jika ia zalim, kekuasaannya akan lenyap.”

Keadilan adalah inti. Tapi kadang, yang muncul bukan keadilan, melainkan permainan kata-kata yang merampas akal sehat rakyat.

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Ketika Janji Lebih Manis dari Realita

Di warung kopi, seorang bapak nyeletuk,
“Dulu katanya listrik gratis, sekarang bayar malah naik.”
“Politik ya begitu, Pak. Janjinya manis, kenyataannya getir.”
“Kalau begitu, buat apa percaya?”
“Kalau nggak percaya, nanti kita yang dipermainkan.”

Kisah sederhana itu menggambarkan fenomena umum: politik sering jadi arena pertunjukan retorika. Padahal Ibn ʿArabī mengingatkan:

الكلمة أمانة، فإذا خرجت من فم صاحبها كانت دينًا عليه

“Kata adalah amanah. Jika telah keluar dari lisan seseorang, maka ia menjadi utang atas dirinya.”

Janji politik, menurut pandangan ini, bukan sekadar kata-kata. Ia adalah hutang moral dan spiritual.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Fenomena Sosial Kita Hari Ini

Indonesia adalah salah satu negara dengan partisipasi politik rakyat terbesar di dunia. Menurut survei LSI (2024), lebih dari 80% masyarakat menyatakan akan ikut memilih. Tapi yang jadi pertanyaan: apakah memilih dengan akal sehat, atau karena iming-iming amplop, sembako, atau slogan-slogan kosong?

Ibn ʿArabī mengingatkan:

العقل نور، إذا استضاء به القلب ميز بين الحق والباطل

“Akal adalah cahaya. Bila hati bersinar dengannya, ia bisa membedakan antara kebenaran dan kebatilan.”

Artinya, politik membutuhkan cahaya akal sehat. Jika akal dipadamkan oleh nafsu atau kepentingan sempit, rakyat hanya jadi penonton sandiwara kekuasaan.

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Antara Kepentingan Umum dan Nafsu Pribadi

Banyak politisi berbicara tentang rakyat, tapi ujungnya memperjuangkan kepentingan kelompok. Ibn ʿArabī menulis tajam:

من طلب الملك لنفسه فقد عبدها، ومن طلبه للحق فقد خدمه

“Siapa yang mengejar kekuasaan untuk dirinya sendiri, ia telah menyembah nafsunya. Siapa yang mengejarnya demi kebenaran, ia sedang melayaninya.”

Kalimat ini menohok. Politik yang tulus adalah ibadah. Politik yang egois hanyalah perbudakan nafsu.

Wajah Politik di Mata Rakyat

Rakyat sering kali seperti anak kecil yang disuguhi permen. Kita diperebutkan, diberi janji, tapi setelah itu dilupakan. Namun rakyat juga punya kekuatan: akal sehat.

Bayangkan jika seluruh rakyat tidak bisa dibeli, tidak bisa dibohongi, tidak bisa ditakut-takuti. Politik akan berubah drastis.

Renungan Singkat: Menjaga Akal Sehat di Tengah Hiruk Pikuk Politik

Ingat janji adalah amanah – pilih pemimpin yang konsisten.

Gunakan akal sehat, bukan emosi – bedakan retorika dengan bukti nyata.

Jangan terjebak fanatisme – partai, tokoh, dan sistem hanyalah alat, bukan tujuan.

Berpolitik sebagai ibadah – jangan sekadar dukung-mendukung, tapi niatkan demi kemaslahatan bersama.

Politik sebagai Ladang Kebaikan

Politik bukan kotor, manusialah yang membuatnya kotor. Ia bisa jadi jalan menuju kebaikan jika dijalankan dengan akal sehat, keadilan, dan niat tulus.

Rasulullah ﷺ bersabda:

سَيِّدُ القَوْمِ خَادِمُهُم

“Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (HR. Abu Dawud).

Jika pemimpin itu pelayan, maka politik adalah seni melayani. Jika politik justru menindas, berarti ia telah mencuri akal sehat rakyat.

Ya Allah, bimbinglah pemimpin kami agar jujur dan adil. Jangan biarkan politik menutup akal sehat kami. Ajari kami membedakan antara janji palsu dan amanah sejati.

Apakah kita siap menjaga akal sehat di tengah badai politik, atau masih rela membiarkannya dicuri oleh retorika kosong?

 

* Sugianto al-Jawi

Budayawan Kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement