Layar yang Jadi Cermin Jiwa
Media sosial kini seperti pasar malam yang buka 24 jam. Semua orang berkumpul di sana, dari kawan lama sampai orang asing yang kita tak pernah jumpai. Kita bisa bersua lewat layar, tapi juga bisa saling melukai tanpa tatap muka. Jadilah media sosial zikir atau gosip digital.
Dalam al-Futūḥāt al-Makkiyyah, Ibn ʿArabī menulis tentang hati sebagai cermin:
القلب مرآة، فإن صقل بالذكر رأى الحق، وإن غطي بالغفلة رأى الباطل
“Hati adalah cermin: bila dipoles dengan zikir, ia memantulkan kebenaran; bila ditutupi kelalaian, ia memantulkan kebatilan.”
Mungkin media sosial adalah perpanjangan cermin itu. Apa yang kita tulis, bagikan, dan sukai, sesungguhnya adalah pantulan isi hati kita.
Antara Pahala dan Dosa yang Sama-sama Viral
Media sosial bisa jadi ladang zikir: berbagi ayat, menebar ilmu, menyalurkan doa. Tapi bisa juga jadi kubangan gosip, caci maki, bahkan fitnah.
Allah berfirman:
مَا يَلۡفِظُ مِن قَوۡلٍ إِلَّا لَدَيۡهِ رَقِيبٌ عَتِيدٞ
“Tiada suatu kata pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu siap mencatat.” (QS. Qāf [50]: 18).
Di zaman digital, kata bukan hanya ucapan, tapi juga status, caption, dan komentar. Semuanya masuk ke dalam catatan.
“Mas, medsos itu tempat pahala atau dosa?”
“Tergantung jempolmu digerakkan ke mana.”
“Kalau cuma scroll-scroll, apa salahnya?”
“Scroll itu juga pilihan: zikir atau gosip, syukur atau iri.”
Kadang percakapan sederhana bisa menggedor hati lebih keras daripada seminar panjang.
Fenomena Kita Hari Ini
Indonesia termasuk negara dengan pengguna media sosial terbesar di dunia. Menurut Datareportal (2024), lebih dari 167 juta orang Indonesia aktif di platform digital. Angka ini seperti lautan. Tapi apakah lautan ini diisi doa, atau justru dipenuhi sampah digital?
Ibn ʿArabī menulis:
اللسان بريد القلب، فإن صدق دل على صفائه، وإن كذب دل على فساده
“Lisan adalah utusan hati: jika jujur menunjukkan kejernihannya, jika dusta menunjukkan kerusakannya.”
Kalau lisan adalah utusan hati, maka jempol di media sosial adalah pena zaman. Ia bisa menulis kebaikan, bisa juga menyebar racun.
Pilihan di Ujung Jempol
Kita sering lupa, setiap klik “share” bisa jadi amal jariyah atau dosa jariyah. Ibn ʿArabī memperingatkan:
الكلمة سهم، إن خرجت من فمك لم تعد إليك، إما أن تصيب خيرًا أو شرًا
“Kata adalah anak panah, bila lepas dari mulutmu ia tak akan kembali: bisa mengenai kebaikan, bisa juga keburukan.”
Begitu pula di media sosial: status yang terlanjur viral tak bisa ditarik kembali.
Langkah Praktis: Menjadikan Medsos Sebagai Ladang Zikir
Saring sebelum sharing: tanya dulu, “Kalau Allah baca status ini, ridha atau murka?”
Buat konten yang menyejukkan: doa, ilmu, kisah inspiratif, bukan kebencian.
Batasi waktu: jangan sampai scroll lebih lama dari tilawah Qur’an.
Latih diri berzikir digital: biasakan tulis “Alhamdulillah”, “MasyaAllah”, atau doa sederhana di kolom komentar.
Jalan Pulang untuk Dunia Digital
Media sosial tak salah. Yang salah adalah cara kita memakainya. Ia bisa jadi sajadah panjang tempat kita berzikir bersama, atau bisa jadi kubangan gosip yang menenggelamkan hati.
Nabi ﷺ bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari Muslim).
Kalau ucapan saja begitu dijaga, apalagi jempol yang menulis ke seluruh dunia.
Ya Allah, jadikan media sosial kami ladang kebaikan, bukan ladang keburukan. Ajari jempol kami menulis zikir, bukan gosip.
Apakah kita sudah cukup berani menjadikan media sosial sebagai sajadah digital, bukan pasar gosip tanpa akhir?
* Reza Andik Setiawan
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
